Gejala Penghindaran Berita akibat Informasi Tak Terkurasi
Derasnya arus informasi ditambah konten-konten berita yang tak terkurasi menambah kesesakan publik. Hal ini menjadi tantangan bagi pers untuk tetap menarik minat pembaca di tengah keruhnya persaingan industri media.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·3 menit baca
Cepat dan mudahnya penyebaran informasi di era digital dewasa ini memuat sisi problematik. Hoaks atau berita bohong berkelindan ikut dalam arus kemudahan informasi yang disebarkan melalui internet. Banjir informasi yang tidak terkurasi ini memunculkan gejala penghindaran berita (news avoidance).
Meskipun terus diperangi, nyatanya berita bohong tak dapat dengan mudah dibendung. Hal ini menimbulkan kecemasan hingga kebencian dalam masyarakat yang terpapar berita bohong tersebut. Fenomena yang paling kentara ialah di tengah kegagapan Indonesia menghadapi Covid-19, berita bohong terkait virus ini terus tumbuh.
Sejak Maret 2020 hingga awal Februari 2023, laman covid.go.id mencatat sedikitnya 1.488 konten berita bohong terkait virus Covid-19. Artinya, selama hampir tiga tahun terakhir ini, minimal ada satu konten berita bohong yang berhubungan dengan Covid-19 per hari.
Jika ditarik sebelum pandemi Covid-19, berita bohong sebenarnya sudah mulai merebak. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat dari Agustus 2018 hingga 31 Maret 2020, ada 5.156 temuan isu hoaks. Artinya, dalam kurun waktu 20 bulan tersebut sekurangnya ada 257 berita hoaks per bulan atau sekitar delapan berita bohong muncul per hari.
Hingga awal 2023, berita bohong masih terus mengancam. Pada Januari 2023 ada 134 temuan konten berita bohong. Isu politik dan pemerintahan paling banyak dijadikan berita bohong, yakni 63 temuan. Berikutnya, kategori penipuan yang terkait dengan hadiah dan uang sebanyak 28 temuan, isu kriminal atau kejahatan 21 temuan, dan isu kesehatan 15 temuan.
Adapun konten-konten tak terkurasi yang cenderung mengarah ke hoaks atau disinformasi ini sebenarnya dapat diketahui ciri-cirinya. Ketika disebar mengakibatkan kecemasan, permusuhan, dan kebencian pada masyarakat yang terpapar, hal ini merupakan ciri utama hoaks. Selanjutnya, sumber berita tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Ciri berikutnya adalah isi pemberitaan yang cenderung menyudutkan pihak-pihak tertentu.
Peliknya, asumsi bahwa informasi yang tak terkurasi hanya ada dalam media-media baru pun keliru. Pada Agustus 2022, Dewan Pers melaporkan temuannya bahwa media arus utama menyiarkan berita bohong. Dewan pers menyebutkan, meskipun pada akhirnya menyebutkan bahwa berita tersebut tidak benar, disinyalir hal ini dilakukan demi mendatangkan banyak pengunjung (clickbait).
Menghindari berita
Dalam situasi demikian ini, tidak mengherankan muncul gejala news avoidance dalam diri masyarakat. Fenomena ini dapat dicermati dalam Reuters Digital News Report 2022. Secara global, 38 persen publik menyatakan memilih menghindari berita. Dengan selisih yang tidak terlalu jauh, sebanyak 35 persen publik Indonesia menghindari berita.
Dibandingkan dengan negara tetangga, angka ini sedikit lebih tinggi. Sebanyak 34 persen publik Malaysia menunjukkan sikap menghindari berita. Sementara publik Singapura menunjukkan hal yang sama pada angka 22 persen.
”Saya sudah tidak lagi banyak membaca berita-berita langsung. Di media sosial, saya juga memilih tidak mengikuti akun-akun pemberitaan. Terlalu ramai dan gaduh. Kalaupun ingin membaca konten di media, saya pilih seperti opini, editorial, dan cerpen,” ujar Patrick Ardina (31), seorang guru di Bali.
Selain adanya gejala penghindaran berita, konten-konten masif dan cepat yang tidak terkurasi juga memberikan kecemasan terhadap pola pikir dan kehidupan sosial. ”Yang menjadi kecemasan dengan adanya berita tak terkurasi adalah semakin tumpulnya kemampuan menalar dan berpikir kritis. Selain itu, takutnya muncul tindakan anarkistis tak terkendali dari masyarakat sebagai reaksi atas paparan hoaks,” ujar Mariana Setyorini (39), seorang pekerja lepas di Yogyakarta.
Skeptisisme yang ditunjukkan oleh Patrick dan kecemasan yang muncul dalam diri Mariana ini menjadi cermin kejengahan publik menghadapi tak terbendungnya arus informasi. Belum lagi konten-konten pemberitaan yang tak terkurasi menambah kesesakan publik dalam mencerna informasi. Hal ini menjadi tantangan bagi pelaku media dan perusahaan pers untuk tetap menarik hati dan minat pembaca di tengah keruhnya persaingan industri media. (LITBANG KOMPAS)