Analisis Litbang ”Kompas”: Menjaga Pamor dan Netralitas Presiden
Presiden diharapkan tetap kokoh menjaga konstitusi, terutama terkait pembatasan dua periode masa jabatannya. Menjelang Pemilu 2024, presiden juga diharapkan menjaga netralitasnya, berdiri di semua kelompok.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode semakin meneguhkan agenda tahapan Pemilu 2024.
Putusan ini semestinya juga mengakhiri wacana soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Hasil jajak pendapat Kompas merekam, presiden juga diharapkan menjaga netralitasnya di Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Putusan Mahkamah Konstitusi pada akhir Januari 2023 makin menegaskan bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 harus tetap berjalan sebagai amanah konstitusi.
Agenda pemilu tersebut harus menjadi fokus semua pemangku kepentingan. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden maupun upaya penundaan pemilu semestinya dihentikan.
Termasuk dengan wacana soal mengusung nama Presiden Joko Widodo sebagai salah satu bakal calon wakil presiden pun semestinya meredup. Sebab, dalam putusannya, MK juga menegaskan, presiden yang sudah dua periode tidak bisa menjadi calon wakil presiden.
Putusan MK ini semestinya menjadi babak akhir dari orkestrasi wacana perpanjangan periode jabatan presiden, mulai dari melempar isu penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, sampai pada membuka peluang Presiden Jokowi maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres.
Setidaknya respons pemerintah terkait putusan MK ini menjadi angin segar sebab melalui pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah sudah menegaskan tetap berkomitmen untuk menjamin Pemilu 2024 diselenggarakan sesuai jadwal.
Namun, sebagai wujud jaminan, pemerintah juga perlu memastikan dukungan anggaran serta stabilitas politik dan keamanan (Kompas, 2/2/2023).
Meskipun demikian, putusan MK ini tidak serta-merta dengan mudah menghilangkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Wacana ini masih berpeluang bergulir.
Apalagi Menko Polhukam Mahfud MD sendiri menyatakan wacana ini sah-sah saja sebagai bagian kebebasan berpendapat karena itu tidak bisa dihalangi.
Pernyataan Menko Polhukam ini tentu memberi sinyal bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bisa saja terus bermunculkan. Setidaknya sudah satu tahun terakhir ini isu penundaan pemilu digulirkan, bahkan dimulai dari dalam istana sendiri dengan pernyataan sejumlah menteri.
Pada Januari 2022, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengawali isu ini dengan menyerukan usulan penundaan pemilu dengan alasan ada masukan dari pengusaha. Kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dianggap menjadi alasan penundaan pemilu.
Bak gayung bersambut, sebulan kemudian, yakni pada 23 Februari 2022, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam keterangan pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan kemudian tidak terjadi freeze (pembekuan ekonomi) untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.
Baca juga: Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024
Orkestrasi
Pernyataan dua sosok elite di atas disambut negatif oleh publik, terutama oleh para pegiat pemilu dan sejumlah kelompok sipil di masyarakat.
Namun, wacana ini menjadi orkestrasi karena sehari setelah pernyataan Muhaimin, pada 24 Februari 2022 Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan akan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tahun 2027 atau bahkan 2028. Hal ini berpijak dari aspirasi para petani sawit di Kabupaten Siak, Riau, saat bertemu Airlangga.
Tidak butuh waktu lama, besoknya, yakni 25 Februari 2022, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan mendukung penundaan pemilu karena kondisi pandemi Covid-19 dan biaya pemilu yang besar. Ia berdalih persetujuan atas usulan itu setelah mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Reaksi publik cenderung negatif terhadap usulan ini. Hasil jajak pendapat Kompas yang dimuat pada 14 Maret 2022 merekam penolakan terhadap usulan penundaan pemilu tersebut.
Publik tetap berharap penyelenggaraan pemilihan umum digelar sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, yakni pada 14 Februari 2024. Bagi publik, wacana usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden diyakini hanya sekadar ekspresi dari kepentingan politik sesaat dari elite politik.
Setelah muncul penolakan publik ini, wacana penundaan pemilu dan upaya perpanjangan masa jabatan sempat meredup. Namun, upaya tersebut belum sepenuhnya hilang. Menteri Bahlil dalam sejumlah kesempatan masih melempar gagasan penundaan pemilu, termasuk wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
Wacana ini kembali menguat di publik karena kemudian diorkestrasi kembali di Desember 2022 lalu. Salah satunya melalui pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet yang meminta penyelenggaraan Pemilu 2024 dipikirkan ulang.
Bamsoet menilai ada berbagai persoalan bangsa yang mesti dipikirkan. Salah satunya pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19. Selain itu, Bamsoet pun khawatir atas ancaman yang akan terjadi karena situasi global yang tak menentu sehingga ia mengusulkan pemilu ditinjau ulang.
Baca juga: Menakar Wacana Penundaan Pemilu
Pamor presiden
Sejauh ini presiden tegas menghormati konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden selama dua periode. ”Yang ngomong presiden itu tiga periode artinya tiga. Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi dalam sebuah kesempatan
Komitmen ini juga diulang di sejumlah kesempatan di mana presiden menegaskan tidak ada niat atau berminat menjadi presiden tiga periode. ”Orang, menteri, dan partai politik boleh-boleh saja mengusulkan karena negara demokrasi. Tapi saat pelaksanaan, kita harus tunduk pada konstitusi. Bukan hanya tunduk, melainkan harus patuh untuk tidak mengamendemen konstitusi demi satu atau dua kepentingan sesaat,” begitu pernyataan Presiden Jokowi pada 4 Maret 2022 menanggapi riuhnya wacana penundaan pemilu yang dilontarkan sejumlah menteri.
Tentu saja, di akhir masa periodenya, pamor presiden menjadi kunci untuk menentukan arah politik. Hasil survei nasional Kompas merekam bagaimana ada tren penurunan citra presiden meskipun citranya relatif masih besar.
Survei Oktober 2022 mencatatkan, citra presiden berada di angka 75,1 persen. Angka ini relatif menurun dibandingkan saat awal-awal presiden Jokowi menjabat yang pernah berada di angka 89,9 persen.
Menjelang perhelatan Pemilu 2024, terutama pemilihan presiden, publik lebih berharap presiden menjaga pamornya sebagai kepala negara yang tidak terlibat langsung dalam kontestasi di pemilu. Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat di akhir tahun 2022.
Sebagian besar responden (76,5 persen) menyatakan setuju jika presiden sebaiknya tidak menunjukkan pilihan politiknya di Pemilu 2024. Artinya, sebagian besar responden ini berharap Presiden Jokowi netral di pemilihan presiden nanti. Sikap ini tidak saja ditunjukkan oleh kelompok responden yang bukan pemilih Jokowi di pemilihan presiden, melainkan juga para pemilih Jokowi.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan yang cenderung menunjukkan dukungan politiknya kepada calon tertentu. Sebut saja pada 21 Mei 2022 saat menghadiri Rapat Kerja Nasional V Projo di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Magelang, Jawa Tengah.
Saat itu presiden hadir didampingi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. ”Ojo kesusu, jangan tergesa-gesa. Jangan tergesa-gesa. Meskipun, mungkin yang kita dukung ada di sini,” ujar presiden menyoal siapa calon presiden yang didukung Projo. Banyak pihak kemudian menangkap pesan tersebut sebagai sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar.
Terakhir, saat menghadiri pertemuan sukarelawan pendukung Jokowi bertajuk ”Nusantara Bersatu: Satu Komando untuk Indonesia” di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 26 November 2022, Presiden Jokowi melemparkan kode ciri pemimpin yang memikirkan rakyat, yakni wajahnya yang penuh kerutan dan rambutnya yang memutih.
Sekali lagi, banyak pihak kemudian menilai pernyataan ini juga mengarah pada dukungan Jokowi kepada Ganjar yang memang ciri khasnya memiliki rambut putih.
Pertanyaannya kemudian, apakah arah dan pernyataan Jokowi yang cenderung mendukung salah satu nama ini memberikan efek elektoral pada tokoh yang didukung? Jajak pendapat mencatat, ada sinyal keraguan publik bahwa arah dan pilihan Jokowi ini akan berdampak elektoral.
Keraguan ini setidaknya tampak dari terbelahnya sikap responden dalam jajak pendapat Desember 2022 tersebut. Sebanyak 48,4 persen responden yakin pernyataan Jokowi akan diikuti pemilihnya, tetapi sebagian responden yang lain (47,1 persen) tidak meyakininya. Namun, jika dilihat dari latar belakang pilihan politik responden, responden pemilih Jokowi lebih banyak yang yakin dibandingkan responden bukan pemilih Jokowi.
Pada akhirnya, dengan putusan MK yang cenderung menguatkan batasan konstitusi yang mengatur masa jabatan dua periode, termasuk larangan presiden dua periode maju menjadi cawapres, publik berharap elite berhenti mengumandangkan wacana penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Menjaga pamor presiden sebagai kepala negara yang berdiri dan menjadi garda terdepan dalam menjaga konstitusi, termasuk menjaga netralitasnya, dan berdiri di atas semua golongan menjadi hal utama bagi presiden, jauh melebihi urusan kontestasi politik di pemilu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pemilu Menyatukan, Bukan Memilukan