Menyikapi Isu Penculikan Anak, Tidak Panik tetapi Tetap Waspada
Kasus penculikan anak menjadi momentum untuk saling peduli satu sama lain. Keluarga menjadi benteng pertama yang membekali edukasi pada anak untuk bisa melindungi diri dalam segala situasi.

Peristiwa penculikan anak menjadi gambaran, anak-anak belum merdeka dari rasa aman yang menjadi hak sebagaimana diamanatkan undang-undang. Peduli pada lingkungan sekitar turut berperan memberikan rasa aman bagi anak-anak terhadap ancaman tindak kejahatan.
Isu penculikan anak yang menyebar luas melalui media sosial, seperti Tiktok dan pesan berantai Whatsapp, akhir-akhir ini telah meresahkan masyarakat di sejumlah daerah.
Meski beberapa berita, video, dan rekaman suara yang viral tentang penculikan tersebut telah dipastikan merupakan informasi hoaks (tidak benar), kekhawatiran masih menghantui orangtua.
Hingga sejumlah pemerintah daerah, melalui dinas pendidikan dan kebudayaan, merespons keresahan masyarakat tersebut dengan mengeluarkan surat yang berisi imbauan bagi sekolah dan orangtua murid agar meningkatkan kewaspadaan.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan. Hal ini mengingat peristiwa penculikan anak bernama Malika menjadi pemberitaan yang disorot media di awal tahun 2023.
Bocah berusia 6 tahun yang diculik di sekitar rumahnya di Gunung Sahari, Sawah Besar, Jakarta Pusat, akhirnya ditemukan setelah diculik hampir sebulan lamanya. Selama itu Malika mendapat kekerasan dari penculiknya dan dipaksa untuk memulung.
Selain itu, muncul kasus penculikan yang berakhir dengan pembunuhan terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan (10/01/2023). Nasib naas menimpa Dewa (11) yang menjadi korban penculikan dua remaja Al (17) dan Fa (14) yang tergiur iming-iming mendapat banyak uang dengan menjual organ tubuh. Meski tidak jadi diambil organ tubuhnya, kedua penculik menghabisi nyawa korban.
Motif eksploitasi ekonomi, kekerasan seksual, hingga pencurian organ tubuh sering kali menjadi alasan tindak penculikan, bahkan pelaku bisa jadi adalah orang-orang yang dikenal korban.
Seperti kasus penculikan di Kota Cilegon, Banten, yang dilakukan oleh paman korban. FR (3) diculik pamannya sendiri, Herdiansyah (32), dan selama 23 hari menjadikan korban sebagai alat mengemis (Kompas, 25/1/2023).

Dua tersangka penculikan anak, Al (17) dan Fa (14), dihadirkan dalam jumpa pers yang digelar Polrestabes Makassar, Selasa (10/1/2023). Kedua pelaku mengaku menculik karena ingin menjual organ tubuh.
Ketiga peristiwa yang sudah ditangani pihak kepolisian tersebut bisa jadi menginspirasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja menyebarkan informasi bohong tentang penculikan anak yang membuat masyarakat resah. Bisa dimaklumi jika orangtua menjadi resah, khawatir, bahkan panik.
Apalagi data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, laporan atau pengaduan terkait anak sebagai korban penculikan mengalami peningkatan pada tahun 2022 dibandingkan 2021.
Dari 15 kasus menjadi 28 kasus yang dilaporkan. Dalam lima tahun terakhir, kasus penculikan anak terpantau berfluktuasi, tetapi laporan tahun 2022 tercatat tertinggi sejak 2018.
Demikian pula data pada Komisi Nasional Perlindungan Anak. Lembaga itu menerima 21 laporan kasus penculikan anak pada 2022, meningkat dari 11 kasus pada 2021. Mayoritas kasus yang dilaporkan terjadi di wilayah Jabodetabek.
Baca juga: Optimalkan Perlindungan Khusus Anak
Perampasan kemerdekaan
Data terkait kejahatan penculikan juga terekam dalam Statistik Kriminal yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik yang bersumber dari data registrasi Polri, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan Potensi Desa (Podes).
Penculikan merupakan satu dari 22 jenis kejahatan dari 9 klasifikasi kejahatan. Penculikan dan mempekerjakan anak di bawah umur adalah jenis kejahatan yang masuk klasifikasi kejahatan yang merampas kemerdekaan orang. Dari data Statistik Kriminal 2022 tersebut terlihat tren kejahatan terhadap kemerdekaan orang cenderung mengalami penurunan dari 2017 hingga 2021.
Terkait jenis kejahatan penculikan, meski menunjukkan kenaikan kasus sebesar 35 persen (65 kasus) dari 189 kasus di tahun 2019 menjadi 254 kasus yang tercatat pada 2020, pada 2021 mengalami penurunan menjadi 206 kasus. Provinsi Sulawesi Utara tahun 2021 paling banyak mencatatkan kasus penculikan (90 kasus), diikuti Sumatera Utara (28 kasus), Aceh (11 kasus), dan DKI Jakarta (10 kasus).

Sementara kejahatan terhadap kemerdekaan orang paling banyak terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan (375 kasus), berikutnya Papua (148 kasus), Kalimantan Barat (135 kasus), Jawa Timur (110 kasus), dan Sumatera Selatan (107 kasus) yang didominasi oleh kejahatan karena mempekerjakan anak di bawah umur.
Secara umum, selama periode 2019-2021, lebih dari 90 persen penduduk yang menjadi korban berbagai macam jenis kejahatan berasal dari kelompok umur dewasa, sisanya sekitar 10 persen adalah kelompok umur anak-anak (di bawah 17 tahun). Namun, meskipun kecil, persentase kelompok rentan ini terpantau kembali meningkat.
Setelah mengalami penurunan dari 6,86 persen pada tahun 2019 menjadi 5,68 persen pada tahun 2020, persentase anak-anak yang menjadi korban kejahatan kembali meningkat menjadi 6,94 persen pada tahun 2021.
Provinsi dengan persentase penduduk korban kejahatan pada kelompok umur anak-anak terbesar berturut-turut adalah Provinsi Maluku Utara (17,41 persen), Jambi (12,00 persen), dan DKI Jakarta (11,70 persen).
Baca juga: Sudahkah Anak Indonesia Terlindungi?
Rasa aman
Data tersebut menggambarkan bahwa anak-anak belum merdeka dari rasa aman. Sementara UUD 1945 Pasal 28G Ayat 1 menyebutkan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.
Disebutkan pula, anak berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Artinya, negara harus hadir memberikan rasa aman bagi setiap warganya.
Abraham Maslow, dalam teori hierarki kebutuhan manusia (Maslow, 1943), menyebutkan, rasa aman berada pada tingkatan kedua di bawah kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Hal ini menunjukkan, rasa aman merupakan kebutuhan manusia yang penting.

Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020).
Melalui sejumlah regulasi, pemerintah sudah menjalankan perannya dengan menjamin perlindungan anak, seperti Undang-Undang Dasar 1945, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hingga Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.
Tak dapat dimungkiri, anak-anak karena usia, kepolosan, dan fisiknya menjadi rentan akan ancaman tindak kejahatan. Pelaku memanfaatkan kelemahan tersebut dengan berpura-pura baik memberikan iming-iming makanan, mainan, atau uang untuk mengelabui korban. Malika yang dibujuk akan dibelikan ayam goreng dan Dewa yang dijanjikan akan diberi uang Rp 50.000 dengan mudah mau mengikuti ajakan penculik.
Menyikapi isu penculikan ini, masyarakat tidak perlu panik apalagi setelah mengetahui banyak informasi hoaks disebarkan terkait isu tersebut. Paling tidak, hal ini membuat orangtua dan masyarakat luas semakin waspada terhadap apapun yang terjadi di lingkungan sekitar.

Sejumlah anggota gerakan peduli anak longmarch untuk mengampanyekan kepedulian terhadap anak kepada warga yang mengikuti hari bebas kendaraan bermotor di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023).
Kondisi ini menjadi momentum untuk saling peduli satu sama lain, di samping memberikan bekal informasi dan edukasi pada anak untuk bisa melindungi diri dalam segala situasi.
Keluarga menjadi benteng pertama bagi perlindungan anak, lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal turut menjaga dan cepat tanggap jika mengetahui ada hal yang mencurigakan. Bagaimanapun penculikan masih bisa terjadi di masyarakat dan kelengahan dan lemahnya pengawasan membuka kesempatan terjadinya tindak kejahatan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sejak Dini Cegah Penculikan Anak