Konflik Geopolitik Meresahkan Semua Warga Dunia
Terbatasnya kepemilikan sumber daya energi fosil membuat komoditas ini rentan terimbas berbagai peristiwa geopolitik dunia.

Tentara Ukraina menembakkan mortar derek senapan MO-120-RT-61 120 mm Perancis ke posisi Rusia di garis depan dekat Bakhmut, wilayah Donetsk, Ukraina, Selasa, 6 Desember 2022. (Foto AP/LIBKOS)
Dalam sejarah peradaban dunia, konflik geopolitik memiliki dampak negatif bagi masyarakat global. Konflik yang bermula dari perseteruan segelintir negara atau kawasan, nyatanya juga meresahkan seluruh warga dunia. Berkali-kali konflik terjadi dan memicu lonjakan harga energi yang mendorong lonjakan inflasi di seantero dunia.
Energi menjadi salah satu komoditas yang sangat rentan terimbas berbagai gejolak sosial dan politik global. Selain karena tingginya ketergantungan terhadap energi fosil, fenomena ini juga karena keterbatasan sumber daya energi yang tersedia. Komoditas energi fosil secara masif hanya terkumpul di sejumlah negara tertentu.
Hal ini mendorong suatu negara menjadi memiliki kekuatan absolut dibandingkan negara lain yang tidak memiliki sumber daya energi. Kekuatan absolut ini dalam skala makro dapat menjadi kekuatan geopolitik yang mampu menjadi daya tawar negara bersangkutan dengan negara lainnya untuk berbagai kepentingan.
Secara umum, geopolitik itu merujuk pada hubungan antara politik dan sejumlah fenomena yang terjadi di suatu teritorial wilayah, baik skala lokal maupun internasional. Dalam konteks energi, negara yang memiliki sumber daya energi fosil yang besar sangat potensial memengaruhi situasi di negara sekitarnya dan bahkan dunia secara luas. Bahkan, konflik politik yang terjadi di internal negara itu pun dapat berdampak pada negara lainnya.
Ada sejumlah konflik geopolitik yang berimbas pada perekonomian global karena mendorong tingginya lonjakan harga energi dunia. Berdasarkan data Bp Statistical Review of World Energy 2022, setidaknya ada tiga peristiwa geopolitik pascatahun 1900 yang berdampak pada tingginya harga minyak dunia. Pertama, perang Yom Kippur tahun 1973 yang melibatkan Mesir dan Suriah melawan Israel.
Dalam perang itu, negara-negara pengekspor minyak bumi yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksi minyak dan melakukan embargo terhadap beberapa negara pendukung Israel. Akibat kebijakan itu, harga minyak global meroket dari yang sebelumnya kurang dari 5 dollar AS per barel menjadi lebih dari 10 dollar AS per barel.
Negara-negara importir minyak dunia yang tidak terlibat konflik itu turut merasakan dampak kebijakan geopolitik negara-negara OPEC. Salah satu efek instannya adalah terjadi lonjakan inflasi yang mengancam pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia.
Peristiwa geopolitik berikutnya yang berdampak terhadap situasi perekonomian global adalah revolusi Iran. Gerakan internal di dalam negeri Iran yang berupaya mengubah sistem monarki menjadi Republik Islam itu memicu sejumlah pergolakan politik dan konflik horizontal. Konflik geopolitik dalam negeri Iran yang bermula sekitar tahun 1978 itu turut berimbas pada melonjaknya harga minyak dunia.
Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia turut terbelah dalam revolusi Iran ini. Ada yang mendukung revolusi, tetapi ada juga yang tetap mempertahankan model konservatif kerajaan. Konflik ini akhirnya mendorong munculnya organisasi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang terdiri dari Oman, Bahrain, UEA, Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait.
Pembentukan GCC pada tahun 1981 ini merupakan upaya untuk membendung meluasnya pengaruh revolusi Iran. Revolusi Iran dan ketegangan di kawasan Timur Tengah itu turut berdampak pada melonjaknya harga minyak dunia dari sebelumnya sekitar 15 dollar AS per barel menjadi sekitar 38 dollar AS per barel.
Baca juga: Energi, Kekuatan Politik Internasional Rusia

Konflik geopolitik lainnya yang juga mendorong lonjakan harga minyak bumi adalah Revolusi Musim Semi Arab atau Arab Spring. Peristiwa yang dimulai tahun 2011 itu menjadi semacam transisi, di mana masyarakat negara-negara Arab menuntut perbaikan taraf hidup, pemberantasan korupsi, dan perubahan struktur politik yang jauh lebih demokratis.
Muncul sejumlah gerakan di beberapa negara di sekitar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, Jordania, Irak, dan Suriah yang berupaya melakukan reformasi pada pemerintahan yang memimpin. Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertentangan dan dukungan di kawasan tersebut.
Sama seperti konflik-konflik sebelumnya, kemelut di kawasan penghasil minyak terbesar itu segera memicu kenaikan harga minyak. Kala itu harga minyak meroket hingga hampir mencapai 130 dollar AS per barel atau tertinggi sepanjang sejarah dunia. Kenaikan harga ini membuat sejumlah negara di dunia berada dalam bayang-bayang resesi ekonomi, terutama bagi negara-negara importir energi skala besar.
Konflik ”dorman”
Ibarat penyakit, konflik geopolitik itu dapat kambuh dan hadir kembali secara tiba-tiba karena pertentangan kepentingan politik suatu negara. Setelah ”dorman” sekitar satu dekade pasca-peristiwa Musim Semi Arab, kini konflik geopolitik muncul kembali.
Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada Februari 2022 telah membawa berbagai efek negatif bagi warga dunia. Apalagi, konflik itu menyeret keberpihakan NATO atau negara-negara sekutu kuat Amerika Serikat untuk mendukung Ukraina dalam melawan Rusia. Berbagai kebijakan dikeluarkan Sekutu untuk meredam kekuatan aksi militer Rusia, mulai dari embargo ekonomi, pembatasan impor energi, hingga menarik atau menghentikan sejumlah industri negara-negara Sekutu yang beroperasi di Rusia.
Rusia sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia tak kalah cerdik dengan memainkan strategi politik energinya hingga memberikan efek yang berat bagi negara-negara anggota NATO. Apalagi sebagian negara maju di Eropa selama ini mendapatkan suplai gas alam (LNG) dari Rusia. Belgia, Perancis, Spanyol, Inggris, dan negara Eropa lainnya mendapat suplai gas alam dari Rusia sekitar 17,4 miliar kubik meter per tahun. Ketergantungan energi ini dimanfaatkan Rusia sebagai ruang berdiplomasi. Hanya saja, ruang perundingan masih menemui jalan buntu hingga kini.
Baca juga: Embargo Minyak Rusia Mengancam Ketahanan Energi Eropa

Seorang aktivis jaringan kampanye global independen Greenpeace memegang spanduk bertuliskan 'Berdiri untuk perdamaian bukan untuk minyak' di depan gedung parlemen di Budapest, Hongaria pada 30 Mei 2022, untuk menuntut pemerintah Hongaria agar tidak menentang sanksi Uni Eropa terhadap minyak Rusia . - Dengan para pemimpin UE yang akan bertemu pada 30 Mei untuk mencoba menyegel paket sanksi Rusia keenam yang mencakup embargo minyak, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban telah menunjukkan pembangkangan terbarunya. Paket yang diusulkan awal bulan ini oleh Komisi Eropa, badan eksekutif blok tersebut, membutuhkan dukungan bulat dari semua 27 negara anggota UE. Tapi Orban yang agresif, yang terpilih untuk masa jabatan keempat berturut-turut bulan lalu, menggambarkan embargo sebagai "garis merah" dan "bom atom" yang akan menghancurkan ekonomi negara Eropa tengah itu. Budapest - yang di bawah Orban mencari hubungan dekat dengan Moskow sampai invasi ke Ukraina - menegaskan larangan akan memicu resesi, kelangkaan dan meroketnya harga, dan merusak keamanan energi Hungaria. (Foto oleh ATTILA KISBENEDEK/AFP)
Meski sejumlah embargo ekonomi dan energi diterapkan secara ketat, tidak menyurutkan langkah Rusia dalam menginvasi Ukraina. Pasokan energi yang berlimpah yang tidak terserap pasar Eropa pun dialihkan oleh Rusia dan dijual dengan harga di bawah harga pasaran dunia. Cara ini untuk mengoptimalkan produksi energi dalam negeri Rusia sekaligus untuk mendorong stabilisasi pasar energi global.
Akibat terberat dari konflik Rusia-Ukraina adalah lonjakan harga minyak hingga di atas 120 dollar AS per barel pada Maret 2022 lalu. Tingginya harga minyak ini turut mendorong lonjakan harga pangan global karena biaya pengangkutan menjadi kian mahal.
Negara-negara berkembang kelas ekonomi bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah sangat terdampak kenaikan harga energi ini. Pemerintah di sejumlah negara lalu mengalokasikan anggaran subsidi energi yang lebih besar untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Kini, berbagai upaya untuk menjaga stabilitas pasokan energi dunia terus dilakukan. Salah satunya meminta negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC untuk meningkatkan pasokan minyak ke pasar global. Dengan demikian, ketimpangan pasokan akibat pembatasan suplai dari Rusia ke sejumlah negara Eropa dapat diatasi dari negara produsen lainnya.
Meski belum terlalu besar, lambat laun harga minyak dunia terus turun. Pada 31 Januari 2023, harga minyak bumi jenis WTI sudah turun menjadi sekitar 77 dollar AS per barel, sedikit lebih rendah dibandingkan harga tertinggi selama Januari 2023 yang berkisar 81 dollar AS. Apabila perang Rusia-Ukraina kian terkendali, tidak mustahil harga energi dunia akan terus turun.
Oleh karena itu, upaya menciptakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina harus terus dilakukan karena konflik itu berdampak negatif dalam jangka waktu lama. Dalam peristiwa Yom Kippur, Revolusi Iran, dan Arab Spring, harga energi butuh waktu hingga lebih dari lima tahun untuk kembali mendekati posisi seperti sebelum konflik itu terjadi.
Tanpa terciptanya perdamaian, niscaya perekonomian global akan terus bergejolak. Jadi, perdamaian adalah solusi terbaik yang harus diwujudkan sesegera mungkin. (LITBANG KOMPAS)