Pangan yang dikonsumsi masyarakat belum semuanya memiliki kualitas nutrisi yang memadai sehingga masih menimbulkan sejumlah persoalan kesehatan.
Oleh
Budiawan Sidik A
Β·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penjual makanan.
Konsumsi makanan merupakan salah satu sektor terpenting pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Upaya setiap insan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya membuat kontribusi sektor pangan ini sangat besar artinya bagi perekonomian Indonesia. Namun, pangan yang dikonsumsi masyarakat belum semuanya memiliki kualitas nutrisi yang memadai sehingga masih menimbulkan sejumlah persoalan kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2018-2021, produk domestik bruto (PDB) dari sisi pengeluaran sebagian besar disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Dari PDB rata-rata senilai Rp 15.600 triliun per tahun, sekitar Rp 8.800 triliun atau 56 persen di antaranya berasal dari konsumsi rumah tangga. Artinya, belanja masyarakat menjadi faktor yang sangat penting dalam mendorong kemajuan perekonomian nasional.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, konsumsi masyarakat tersebut terbagi ke dalam dua hal, yaitu konsumsi makanan dan non-makanan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS pada Maret 2022, terlihat bahwa konsumsi kedua bidang itu cukup berimbang. Setiap bulan, pengeluaran masyarakat untuk berbagai keperluan kelompok makanan rata-rata sekitar Rp 665.000 per kapita. Nilai ini hampir setara dengan belanja pengeluaran per bulan untuk pos non-makanan senilai Rp 662.000 per kapita.
Secara akumulatif, belanja masyarakat untuk kebutuhan makanan dan non-makanan setiap bulan rata-rata berkisar Rp 1,32 juta per kapita. Dari berbagai jenis belanja itu, ada sejumlah kebutuhan yang komposisi pengeluarannya relatif besar dibandingkan jenis lainnya.
Khusus untuk kelompok makanan, ada tiga besar pengeluaran yang mendominasi belanja masyarakat secara nasional. Terbanyak adalah belanja makanan dan minuman jadi yang tiap bulan menguasai sekitar 31 persen pengeluaran rutin kelompok makanan. Selanjutnya, disusul oleh belanja rokok dan tembakau yang menyumbang sekitar 12 persen serta belanja pangan padi-padian yang dialokasikan hampir 11 persen. Urutan belanja berikutnya disusul ikan, sayuran, telur, daging, buah-buahan, minyak, dan lain-lain dengan besaran nilai belanja masing-masing berkisar 1-8 persen.
Dari proporsi belanja kelompok makanan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai konsumsi makanan dan minuman jadi. Baik itu makanan-minuman instan kemasan yang dijual di toko dan warung-warung ataupun mengudap sajian makanan-minuman di rumah makan, restoran, maupun kaki lima. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih suka mengonsumsi makan yang sifatnya praktis dan cepat.
Selain menyukai konsumsi secara instan, masyarakat Indonesia juga sangat konsumtif terhadap komoditas rokok dan olahan tembakau lainnya. Belanja masyarakat terjadap produk ini tergolong besar, yakni hingga sekitar Rp 82.000 per kapita sebulan. Nominal ini mengalahkan alokasi pengeluaran untuk bahan makanan pokok seperti beras dan komoditas komplementer lainnya yang mengandung nutrisi, seperti lemak, protein, vitamin, dan mineral lainnya.
Deskripsi tersebut menunjukkan pemenuhan asupan gizi berimbang belum menjadi prioritas sebagian besar masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung memilih membeli makanan yang cepat saji dan tidak mau repot-repot mengolah bahan makanan secara mandiri. Padahal, makanan jadi tersebut kandungan nilai gizinya belum tentu tinggi dan sebagian besar justru relatif rendah. Kebiasaan kurang baik ini kian diperparah dengan prioritas alokasi anggaran bahan makanan bernutrisi yang posisinya justru berada di bawah pos anggaran konsumsi rokok. Akibatnya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mendapat asupan gizi berimbang secara cukup.
Tim Jurnalisme Data Kompas pada 9 Desember 2022 menerbitkan artikel yang mengulas tentang keterjangkauan makanan gizi berimbang masyarakat Indonesia. Hasil analisa menunjukkan bahwa sekitar 68 persen populasi Indonesia atau 183,7 juta jiwa tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian.
Angka itu diperoleh dengan menghitung biaya makanan yang perlu dikeluarkan masyarakat Indonesia berdasarkan standar komposisi gizi Healty Diet Basket (HBD) yang juga menjadi acuan Organisasi Pangan dan Petanian (FAO). Hasil penghitungan HDB menunjukkan kebutuhan biaya untuk membeli makanan bergizi seimbang sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan.
Mengacu pada penghitungan tersebut, maka wajar apabila pos pengeluaran bahan makanan masyarakat Indonesia secara umum belum memenuhi standar gizi berimbang. Berdasarkan data dari Susenas BPS Maret 2022, anggaran bahan makanan secara rata-rata nasional sebesar Rp 665.757 per kapita per bulan. Setelah dikurangi belanja konsumsi rokok dan tembakau, tersisa alokasi pos makanan senilai Rp 583.574.
Dengan alokasi tersebut, tentu hitungan berdasarkan HBD gizi berimbang tidaklah cukup karena hanya teralokasi anggaran makanan sebesar Rp 19.450 per kapita per hari. Nominal ini terpaut sekitar Rp 2.600 dari hitungan HBD yang dilakukan oleh tim Jurnalisme Data Kompas.
Dalam jangka panjang, fenomena kurangnya asupan gizi berimbang itu dapat berdampak luas pada generasi yang akan datang. Salah satunya adalah penurunan kualitas sumber daya manusia karena mengalami kekurangan nutrisi sejak awal pertumbuhannya. Daerah yang sebagian besar masyarakatnya mengalami kekurangan gizi cenderung memiliki tingkat prevalensi stunting atau tengkes yang juga tinggi.
Dari hasil analisa tim Jurnalisme Data Kompas menujukkan bahwa prevalensi tengkes secara nasional rata-rata sebesar 24 persen di tiap-tiap provinsi. Dari 34 provinsi di Indonesia, setidaknya ada 15 provinsi di antaranya yang memiliki prevalensi tengkes di atas rata-rata nasional. Bahkan, untuk provinsi Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur, prevelansinya berkisar 28-38 persen dan menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Tingginya prevalensi tengkes di kedua provinsi itu linear dengan minimnya tingkat asupan gizi berimbang bagi masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat NTT dan Maluku Utara diperkirakan tidak mampu mengonsumsi gizi berimbang masing-masing hingga lebih dari 80 persen dari total jumlah penduduknya.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan masyarakat di kedua provinsi tersebut tidak mampu membeli makanan bernutrisi seimbang, di antaranya karena kemiskinan sehingga masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, juga karena rantai pasok pangan yang relatif panjang sehingga mendorong harga pangan menjadi lebih mahal. Hal berikutnya yang juga turut melemahkan ketahanan pangan di kedua provinsi tersebut adalah kian rendahnya pemanfaatan pangan-pangan lokal untuk konsumsi masyarakat setempat sehingga tergantung dari suplai dari daerah lainnya. Minimnya ketahanan pangan ini membuat masyarakat harus mengalokasikan anggaran biaya yang cenderung tidak menentu dan fluktuatif.
Berbagai fenomena minimnya asupan gizi berimbang tersebut harus segera diantisipasi, di antaranya pemerintah harus menjaga distribusi barang kebutuhan pokok secara lancar ke sejumlah daerah di Indonesia. Tujuannya agar harga pangan dapat terkendali secara stabil dan dapat terus ditekan harganya seiring dengan peningkatan suplai komoditas pangan.
Pemerintah juga harus mendorong daya beli masyarakat golongan ekonomi bawah agar optimal mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Pemerintah harus menyalurkan bantuan program sosial secara tepat sasaran sehingga golongan yang berhak ini terbantu secara optimal untuk meningkatkan kualitas taraf hidupnya dalam jangka panjang.
Selain dari sisi pemerintah, akan lebih optimal lagi seandainya masyarakat juga turut berpartisipasi dalam upaya mendorong asupan gizi ini. Salah satunya melalui pemanfaatan pangan-pangan lokal.
Masyarakat dapat mengoptimalkan pekarangannya untuk budidaya pangan mulai dari tanaman pangan, hortikultura, hingga hewan ternak. Selain itu, juga dapat mengambil berbagai tanaman-tanaman liar yang dapat dikonsumsi yang ada di sekitaran hutan atau sekeliling rumah. Dengan demikian, masyarakat dapat meningkatkan asupan gizinya tanpa harus menambah alokasi biaya belanja dalam jumlah besar.
Dengan upaya bersama dari kedua belah pihak tersebut, harapannya asupan gizi berimbang masyarakat Indonesia dapat terus ditingkatkan. Dengan semakin baiknya kualitas asupan pangan, sejumlah manfaat positif dapat terwujud di masa depan. Salah satunya memiliki sumber daya manusia berkualitas unggul yang mampu mendorong kemajuan sosial-ekonomi bangsa lebih optimal lagi. (LITBANG KOMPAS)