Koalisi Gerindra - PKB dan Pasang Surut Elektabilitas Prabowo Subianto
Walau cenderung sepi, koalisi Gerindra-PKB bukanlah kontestan politik yang ringan. Kombinasi massa nasionalis dan religius bisa menemukan momentum jika berhasil mengonsolidasi loyalitas umat dan simpatisan.

Logo Partai Gerindra dan PKB di Sekretariat Bersama Gerindra-PKB, Jakarta (23/1/2023). Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meresmikan Sekretariat Bersama Gerindra-PKB.
Sama-sama berkoalisi di dalam pemerintahan Jokowi-Amin, Partai Gerindra dan PKB kini berkomitmen lebih jauh menghadapi Pemilu 2024. Pada 23 Januari 2023, kedua petinggi partai mendeklarasikan sekretariat bersama di Menteng, Jakarta Pusat.
Disebutkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pembukaan sekretariat bersama (sekber) ini membuat kedua partai semakin solid, terutama dalam semangat, tekad, dan optimisme. Sementara Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berharap, dengan peresmian sekber ini, kerja sama kedua partai bisa semakin maju untuk menghadapi pemilu tahun depan.
”PKB dan Gerindra yang saling percaya adalah kekuatan yang bisa diamanati untuk menata Indonesia menjadi lebih baik, melanjutkan kesuksesan yang ada, dan melompat lebih maju lagi,” tuturnya, sebagaimana diberitakan Kompas.com (23/1/2023).
Peresmian sekber ini merupakan langkah terbaru membangun jalinan koalisi yang lebih erat antara Gerindra dan PKB setelah pada 13 Agustus 2022 kedua parpol telah resmi membentuk koalisi untuk menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Pengukuhan kerja sama itu dilakukan melalui penandatanganan piagam deklarasi koalisi oleh Prabowo dan Muhaimin di Sentul, Bogor. Deklarasi itu terpaut dua bulan dengan deklarasi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dilakukan tiga parpol, yakni Partai Golkar, PAN, dan PPP, pada 4 Juni 2022.
Sulit dimungkiri, agak berbeda dengan deklarasi KIB yang setelahnya riuh rendah dengan sorotan publik terhadap bursa nama capres, seperti Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, Erick Thohir, dan Sandiaga Uno, koalisi Gerindra dan PKB cenderung kurang kuat direspons publik terkait rekomendasi capres. Padahal, di sana ada nama Prabowo yang merupakan salah satu capres paling potensial hasil survei hingga akhir tahun 2022.

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar seusai meresmikan sekretariat bersama koalisi kedua parpol di Jakarta (23/1/2023).
Sejauh ini, figur capres atau cawapres dari koalisi PKB-Gerindra dapat diamati sebagaimana tertulis dalam poin keempat piagam deklarasi parpol. Bunyinya, ”calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung oleh kerja sama politik Partai Gerindra dan PKB akan ditentukan secara bersama-sama oleh Ketua Dewan Pembina/Ketua Umum Partai Gerindra H Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB H Abdul Muhaimin Iskandar”.
Periode awal hingga pertengahan tahun 2022, komposisi politik tampak relatif aman bagi elektabilitas Prabowo. Namun, setelah mendekati akhir tahun 2022, mulai tampak terganggu dengan dinamika keunggulan elektabilitas Ganjar dan Anies Baswedan. Koalisi PKB-Gerindra pun mulai menunjukkan tanda-tanda goyah.
Berbagai dinamika politik di internal koalisi mulai terjadi, terutama dari ngototnya kedua kader parpol untuk mencapreskan ketua umum masing-masing. Muncul pula isu Prabowo bakal bersanding dengan Ganjar dalam Pilpres 2024. Isu tersebut disambut sinyal hengkangnya PKB dari koalisi dan membuka peluang kerja sama PKB dengan Partai Nasdem.
Gerindra mengaku mempertimbangkan sejumlah nama selain Muhaimin untuk menjadi cawapres Prabowo. Terbaru, Prabowo melakukan komunikasi politik dengan berbagai tokoh, termasuk yang terbaru menemui keluarga Presiden Joko Widodo, yakni Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Bobby Nasution.
Di sisi lain, Muhaimin telah beberapa kali menekankan soal perlunya mematuhi hasil Ijtima Ulama Nusantara yang digelar Dewan Syuro PKB pada 12-13 Januari 2023. Dalam Ijtima Ulama Nusantara itu disebutkan, Cak Imin harus menentukan capres-cawapres sebelum bulan Ramadhan 2023.

Kader Partai Gerindra dan PKB berjoget sembari membawa poster dukungan di Sekretariat Bersama Gerindra-PKB, Jakarta (23/1/2023).
Loyalis Prabowo
Untuk menghitung peluang kemenangan koalisi PKB-Gerindra, salah satu aspek yang harus diperhitungkan adalah besaran pemilih Prabowo jika betul maju sebagai calon presiden. Harus diingat bahwa Prabowo adalah satu-satunya capres yang pernah mengikuti kontestasi pilpres dibandingkan dengan Ganjar dan Anies yang merupakan kandidat baru di Pemilu 2024.
Sebagai mantan lawan Joko Widodo di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, keuntungan Prabowo adalah sudah memiliki pemilih dan simpatisan dari pemilu-pemilu sebelumnya. Para pemilih Prabowo ini diharapkan memiliki loyalitas lebih tinggi kepada Prabowo. Namun, benarkah demikian?
Masuknya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi setelah Pilpres 2019 menjadi variabel yang cukup mengejutkan bagi pemilih Prabowo. Dinamika politik tersebut belum sepenuhnya menghapus keterbelahan publik yang mendukung Prabowo dan publik yang mendukung Jokowi.
Hasil survei berbagai lembaga riset menunjukkan, hingga hari ini keterbelahan di publik pemilih masih terpantau besar sekalipun Prabowo sudah masuk bergabung di kabinet. Meski situasi keterbelahan ini tidak ideal untuk persatuan bangsa, dari sisi kontestasi hal ini menjadi modal politik bagi Prabowo.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional Kompas, misalnya, menunjukkan, sejak Oktober 2019 hingga Oktober 2022, komposisi pemilih Prabowo di Pemilu 2019 yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin hanya bergerak di angka sekitar 39 persen, 56 persen, dan 44 persen. Jumlah tersebut secara nominal jauh lebih kecil dari jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019 yang menyatakan puas akan kinerja pemerintahan Jokowi-Amin.
Meski angka tersebut tidak mencerminkan jumlah loyalis langsung Prabowo, dari garis tren yang tetap terbelah selama periode pemerintahan Jokowi-Amin menggambarkan bahwa potensi kapital sosial politik bagi Prabowo itu nyata adanya.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin (keempat dari kanan) dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kelimad dari kiri) berfoto bersama jajaran pengurus partai setelah membuka acara Ijtima' Ulama Nusantara di Hotel Millennium, Jakarta (13/1/2023).
Sebagai catatan, keterbelahan publik pemilih pemilu itu juga bermakna sebagai antitesis politik Jokowi yang tentu tak bisa diklaim milik Prabowo semata. Apalagi saat ini berkembang narasi yang semakin kuat bahwa antitesis itu juga mulai bergeser ke sosok Anies. Secara narasi politik, pergeseran simbolik antitesis politik ini merupakan perkembangan baru yang menarik dicermati karena cenderung menggerogoti elektabilitas Prabowo.
Hal ini terbukti dari sejumlah survei yang menunjukkan bahwa penurunan elektabilitas Prabowo dalam sejumlah survei pada akhir 2022 terjadi berbarengan dengan kenaikan elektabilitas Anies. Komposisi pemilih yang kontra terhadap narasi pemerintah kini mendapat kendaraan baru yang memiliki keunggulan tertentu sesuai kapasitas dan latar belakang politik Anies. Sementara itu, ketatnya pengelompokan publik akibat narasi pro kontra politik saat ini membuat pertumbuhan kelompok itu menjadi lembam ketimbang dinamis.
Merunut survei Kompas, keunggulan Prabowo sebagai capres peringkat pertama berlangsung cukup panjang sejak awal periode pemerintahan Jokowi-Amin hingga Juni 2022. Prabowo unggul sejak Oktober 2019 hingga Juni 2022. Namun, dalam hasil survei Oktober 2022, peringkat Prabowo mulai tergeser oleh kenaikan elektabilitas Ganjar.
Keunggulan Prabowo dibandingkan dengan Ganjar dan Anies, selain karena memiliki pemilih dengan karakteristik khas yang bersifat oposan pemerintah, juga karena karakteristik personal Prabowo yang relatif lebih sama dengan harapan publik. Sosok yang dipandang tegas, berwibawa, memiliki pengalaman memimpin, dan berlatar belakang militer cenderung menjadi favorit publik sebagai pemimpin bangsa saat ini.
Dari segi demografi, Prabowo juga memiliki keunggulan dengan komposisi pemilih luar Jawa yang cenderung lebih tebal ketimbang Ganjar. Prabowo juga memiliki basis pemilih yang relatif tebal di semua generasi usia serta dukungan kelas bawah dan menengah yang lebih kuat. Meski demikian, komposisi pemilih perempuan cenderung agak kurang ideal bagi elektabilitas Prabowo.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kelima dari kiri) berfoto bersama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka (keenam dari kiri) saat tengah melakukan kunjungan kerjanya di Kota Surakarta, Jawa Tengah (24/1/2023). Dalam kesempatan itu, Prabowo membagikan kendaraan dinas bagi babinsa dan sembako pada sejumlah warga.
Loyalis partai
Khusus di Jawa Timur, perolehan suara Gerindra semakin solid dengan total perolehan sekitar 2,4 juta suara. Jumlah yang tetap selama dua kali pemilu (2014-2019) itu menyiratkan telah mulai terbentuknya karakteristik pemilih Gerindra yang beraliran nasionalis dan potensial memperkuat elektabilitas Prabowo.
Selain loyalitas dari simpatisan dan pemilih Gerindra, loyalitas pemilih PKB tak bisa dianggap enteng. Partai ini bahkan memiliki loyalitas yang tinggi dan saat ini semakin memantapkan pijakannya di Jawa Timur. Selama dua pemilu terkini, PKB telah mampu menyamai perolehan PDI-P sebagai partai pemenang pemilu di Jatim.
Di Pemilu 2014, PKB menang dengan meraih 3,533 juta suara (17,7 persen), hanya terpaut 0,2 persen jumlah suara dari raihan PDI-P di Jawa Timur. Sementara di Pemilu 2019 raihan PKB meningkat menjadi 4,209 juta suara (19,4 persen), hampir setara dengan PDI-P yang menjadi pemenang.
Jumlah suara PKB tersebut merupakan kebangkitan kembali (revival) dari dominasi PKB pada Pemilu 1999 dan 2004 di mana PKB mampu mendominasi perolehan suara dengan komposisi 35,5 persen dan 30,6 persen.

Suasana konferensi pers setelah pertemuan antara Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid di Sekretariat Bersama Partai Gerindra dan PKB di Menteng, Jakarta (26/1/2023).
Ini bisa diartikan, pemilih PKB telah semakin menemukan bentuk loyalitasnya dan potensi meningkatnya pemilih PKB di Jawa Timur masih terbuka jika melihat raihan suara di Pemilu 1999 dan 2004 yang dapat mencapai 7,034 juta suara dan 6,297 juta suara. Pada saat itu, penguasaan PKB meliputi separuh Jawa Timur, membentang dari Madura, Gresik, Lamongan, hingga Jember dan Banyuwangi.
Tentu saja, penambahan suara yang masif bagi PKB merupakan kondisi dinamis yang tarik-menarik dengan PDI-P yang menjadi pemenang pemilu. Sebagaimana terekam dari pergeseran peta geopolitik penguasaan parpol di pemilu, di mana basis loyal PKB semakin terkonsolidasi di Sumenep, Tuban, Bojonegoro, Sidoarjo, Pasuruan, serta Jember, Bondowoso, dan Situbondo.
Spirit pemilih PKB yang dinilai banyak terafiliasi dengan ormas Nahdlatul Ulama dan pemilih PDI-P yang dinilai banyak terafiliasi dengan ideologi ”sekuler-abangan” merupakan dua kekuatan yang menyusun peta penguasaan pemilu legislatif Jawa Timur di pemilu era reformasi. Satu kelompok baru yang terafiliasi dengan paham nasionalisme religius (Partai Demokrat) ada di Pemilu 2009 pada masa kejayaan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Hasil survei
Survei reguler yang dilaksanakan Litbang Kompas pada Oktober 2022 menunjukkan, PKB juga merupakan partai dengan pemilih paling loyal di mana 54,5 persen pemilihnya menyatakan akan tetap memilih PKB meski capres yang diajukan partai tidak mereka sukai. Bandingkan dengan loyalitas pemilih Gerindra di angka 33,3 persen dan pemilih PDI-P di angka 35,6 persen.
Demikian juga jika diukur dari pilihan partai pada pemilu sebelumnya, loyalitas pemilih PKB tetap tertinggi, mencapai 82,1 persen. Pada ukuran ini, loyalitas pemilih Gerindra tercatat hanya 60,7 persen. Dilihat dari survei-survei sebelumnya, terpantau angka loyalitas pemilih PKB tersebut relatif sudah berlangsung cukup lama yang mengindikasikan tingkat kepekatan memilih parpol.
Secara demografi, PKB juga saling melengkapi dengan Gerindra di mana mayoritas pemilih PKB (70,1 persen) tinggal di desa, sedangkan Gerindra sebaliknya, 53,3 persen tinggal di kota.
Menggabungkan pemilih Gerindra dan PKB untuk mendukung capres Prabowo mungkin tidak semudah menjodohkan partai-partai yang sealiran dalam ideologi politik. Namun, hal itu tampaknya berupaya diatasi dengan kekuatan sosok Prabowo dan kepatuhan kaum nahdliyin.
Tengok saja keunikan antara pemilih PKB dan Gerindra. Meski pemilih kedua parpol sama-sama hanya sedikit puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi (53,7 persen; 60,5 persen), mayoritas pemilih PKB cenderung yakin terhadap kinerja pemerintah ke depan, yakni sebesar 61,2 persen.
Baca juga Kompaspedia: Profil Partai Gerindra
Bandingkan angka tersebut dengan pemilih Gerindra yang lebih kritis, yaitu hanya 44,1 persen yang yakin kondisi akan membaik ke depan. Dalam hal yang terakhir ini, pemilih PKB lebih mirip dengan karakteristik pemilih PDI-P, sedangkan pemilih Gerindra lebih mirip dengan pemilih Demokrat.
Pada akhirnya, soliditas pemilih Gerindra bertumpu pada sosok dan PKB bertumpu pada loyalitas pemilih ideologis. Soliditas dan loyalitas tersebut akan menjadi batu tumpuan yang kuat dan mendukung elektabilitas Prabowo jika koalisi yang sedang digalang saat ini benar-benar efektif dijalankan dan tidak berhenti sebatas manuver politik. Namun, bangunan koalisi kedua parpol ini masih akan terus diuji soliditasnya hingga masa pendaftaran calon presiden tiba. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga Kompaspedia: Profil Partai Kebangkitan Bangsa