Analisis Litbang “Kompas”: Populasi China Menyusut dan Artinya bagi Indonesia
Periode pertumbuhan populasi negatif sedang melanda China. Dalam hitungan beberapa dekade ke depan, Indonesia bisa mengalami krisis demografi serupa.
China kini telah memulai periode penurunan populasi yang diperkirakan berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Pergeseran demografi yang sedang berlangsung di China disebabkan oleh banyak faktor dan berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan. Fenomena tersebut dapat pula terjadi di Indonesia.
Kabar cukup mengejutkan datang dari China, tempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia itu kini mengalami penurunan jumlah penduduk. Pada 17 Januari 2023 lalu, Biro Pusat Statistik Nasional China menyebutkan selama tahun 2022 penduduk China berkurang 850.000 jiwa, yakni dari 1,412 miliar jiwa susut menjadi 1,411 miliar orang. Hal ini kemungkinan menjadi pertanda awal periode penurunan populasi negeri ”Tirai Bambu” tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya besar Pemerintah China untuk membalikkan tren penurunan tersebut belum berhasil diwujudkan.
Sebelumnya, pada 29 April 2021, Biro Statistik Nasional China menepis isu yang dilontarkan Financial Times terkait populasi penduduk China akan terus menurun sejak 2020. Financial Times melaporkan bahwa populasi China turun hingga di bawah 1,4 miliar jiwa pada tahun 2020 itu merupakan peristiwa penurunan yang pertama selama lima dekade terakhir. Fenomena ini menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi China yang bertumpu pada industri padat karya.
Merujuk laporan Bank Dunia pada 2021, China masih menjadi negara populasi terbesar saat ini. Urutan kedua ditempati India yang berbeda tipis jumlah populasinya dengan China. Posisi ketiga dihuni oleh Amerika Serikat dengan total jumlah penduduk sebesar 331,89 juta jiwa. Urutan berikutnya adalah Indonesia dengan jumlah populasi sebanyak 273,75 juta jiwa.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar, mengatur pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran memang menjadi persoalan krusial bagi China sejak beberapa dekade lalu. Pada 1979, Partai Komunis China (PKC) menerapkan kebijakan kontroversial soal pembatasan kelahiran atau diperbolehkan satu anak tiap keluarga untuk menahan laju pertumbuhan penduduk. Keluarga yang melanggar aturan harus siap menerima denda, melakukan aborsi paksa, dan kehilangan pekerjaan.
Kebijakan tersebut tentu memengaruhi tingkat kesuburan penduduk (fertility rate) atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia subur. Pada 1963, tingkat kesuburan penduduk China menyentuh titik tertinggi di angka 7,5. Lalu seiring kebijakan satu anak itu berjalan secara menyeluruh, angka tersebut kemudian turun perlahan dan mencapai titik terendahnya hingga 1,3 di tahun 2020.
Baca juga: Angka Pertumbuhan Penduduk China Terendah sejak Tahun 1961
Badan Kependudukan PBB (UNFPA) memproyeksikan penurunan jumlah penduduk akan terus dialami China hingga 2100. Diperkirakan setiap tahun gap atau celah antara angka kematian dan angka kelahiran akan terus membesar. Proyeksi UNFPA menunjukkan angka kematian yang kian tinggi dan angka kelahiran yang semakin rendah di China akan membentuk titik persilangan pada tahun 2025 nanti. Artinya, tingkat kelahiran penduduk tidak akan mampu mengimbangi tingkat kematian hingga lebih dari tujuh dekade ke depan.
Berpusat di ekonomi
Sejak 2010, China tampaknya mulai sadar bahwa dengan penurunan jumlah penduduk tampaknya akan mengancam pertumbuhan ekonominya di masa depan. Oleh sebab itu, kebijakan satu anak akhirnya dihentikan sejak 2015. Hanya saja, dampak kebijakan pembatasan jumlah keluarga secara ketat ini masih cukup berimbas pada era setelah 2015. Pasalnya, masih banyak keluarga yang hanya memiliki satu anak pada periode 2016-2018.
Akibatnya, pelonggaran aturan kepemilikan anak itu tetap tidak mengarah pada peningkatan kelahiran yang berkelanjutan. Beberapa pengamat menilai kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan upaya meringankan beban pengasuhan anak, seperti lebih banyak membuka lapangan pekerjaan bagi para ibu dan akses pendidikan terjangkau. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China juga menawarkan keringanan pajak dan perawatan kesehatan ibu yang lebih baik. Upaya ini setidaknya untuk memperlambat penurunan angka kelahiran.
Salah satu contoh penerapan kebijakan itu berada di Provinsi Jilin yang memiliki tingkat fertilitas terendah di China. Pemerintah memberikan kredit pinjaman sebesar 31.400 dollar AS dengan bunga terendah bagi pasangan yang memiliki anak. Pemerintah China juga menutup klinik-klinik aborsi yang sempat menjamur sebelumnya. Di lingkup daerah, pemerintah setempat juga banyak yang menjanjikan uang tunai dan memperpanjang masa cuti melahirkan. Hanya saja, insentif dari pemerintah ini tetap saja kurang berjalan secara efektif.
Para anak muda yang terlahir dari “generasi anak tunggal” secara pola pikir enggan untuk menikah muda dan memiliki anak. Idealisme untuk tidak memiliki anak (child free) kini menjadi fenomena yang sedang bertumbuh. Selain itu, tingginya biaya hidup, persaingan lapangan pekerjaan, dan makin mahalnya harga hunian menjadi pertimbangan besar dari segi ekonomi masyarakat. Jadi, sulitnya mendorong pertumbuhan jumlah penduduk ini, kemungkinan besar karena situasi ekonomi masyarakat yang kian berat dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Apabila hal tersebut berlangsung terus, maka China pun akan menghadapi fenomena usia penduduk yang kian menua. Populasi yang menua akan mengurangi pendapatan pajak negara dan menambah beban dana pensiun. Rasio ketergantungan kerja pun naik, yang semula 37 persen di 2010 menjadi 45 persen di 2021. Artinya tiap 100 orang, ada 45 orang lainnya yang membutuhkan dukungan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, angka ketergantungan hidup akibat usia yang menua akan semakin besar.
Baca juga: Pacu Tingkat Kelahiran Penduduk, China Gelontorkan Ragam Insentif
Meskipun demikian, di tengah ancaman krisis demografi tersebut, Pemerintah China masih dapat bernapas lega. Wabah Covid-19 yang sempat memperburuk situasi ekonomi global, tetapi nyatanya PDB China mampu menyentuh 17,73 triliun dolar AS pada 2021 atau naik lebih dari 100 persen dibandingkan 2012. Pada tahun yang sama, rata-rata pendapatan per kapita naik mencapai 11.890 AS dollar per tahun dengan pertumbuhan yang signifikan tiap tahunnya.
Persoalan demografi yang dialami China tersebut akan selalu dikaitkan dengan hitungan ekonomi makro negara bersangkutan. Kebijakan satu anak hasil inisiasi Partai Komunis Tiongkok yang bertujuan mencegah ledakan populasi dan mengurangi beban negara nyatanya kontraproduktif bagi kemajuan ekonomi China di masa depan. Kini, situasi pertumbuhan penduduk yang surut dan kian banyaknya populasi yang menua menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Tiongkok. Pasalnya, kebijakan masa silam itu telah membentuk pola pikir masyarakat untuk mengedepankan motif ekonomi pribadi yang cenderung bersifat praktis dan hemat. Semakin sedikit anggota keluarga akan semakin efisien.
Empat dekade
Persoalan demografi umumnya dialami oleh negara maju, seperti Jerman dan Jepang, yang dihadapkan pada penduduk berusia tua yang terus meningkat dibandingkan penduduk usia produktif. Negara berkembang, seperti Indonesia dan India, belum berada dalam ancaman bahaya serupa karena masih stabilnya tingkat kelahiran dan tingkat kesuburan penduduk. Bahkan menurut UNFPA, India diproyeksikan akan mengambil alih posisi China sebagai negara dengan populasi terbanyak pada tahun ini.
Merujuk proyeksi populasi yang dilakukan UNFPA, China akan mengalami titik perpotongan antara tingkat kematian dan tingkat kelahiran pada 2025. Untuk Indonesia akan mengalami fenomena serupa pada periode 2060-2065 nanti. Dengan kata lain, masih ada waktu sekitar empat dekade hingga ancaman demografi akhirnya berada di depan mata.
Meski demikian, proyeksi UNFPA juga menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk cenderung meningkat dan tingkat kelahiran makin menurun pada periode 2005-2025 di Indonesia. Persoalan ekonomi masyarakat China seperti tingginya biaya hidup dan mahalnya harga hunian yang turut mendorong rendahnya tingkat kelahiran, kini juga sudah terasa di Indonesia. Bedanya dengan China, secara nasional, Indonesia masih bisa bertumpu pada sumber daya alam di samping sumber daya manusia terutama penduduk usia produktif.
Di tingkat nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah mencanangkan empat program prioritas 2023. Terdiri dari percepatan penurunan stunting, percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, optimalisasi kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB), dan program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana). Dari keempat program tersebut, BKKBN masih belum terlihat upaya konkretnya dalam mencegah proyeksi pertumbuhan penduduk yang akan dihadapi ke depan.
Baca juga: Implikasi Makroekonomi dari Ledakan Penduduk Dunia
Bagaimanapun juga, persoalan demografi akan bertautan dengan aspek ekonomi secara nasional ataupun individu. Persoalan krisis demografi solusinya tidak semudah dengan mendorong pernikahan usia muda atau meningkatkan tingkat kelahiran anak per keluarga. Idealnya, proporsi penduduk usia produktif yang lebih banyak dibandingkan usia tua juga diimbangi dengan meningkatnya pendapatan per kapita secara nasional.
Di tingkat nasional, pemenuhan hunian layak yang terjangkau dapat menjadi antisipasi jangka panjang yang terus diupayakan pemerintah. Usaha ini tidak terlepas dari pemerataan infrastruktur agar masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan akses memadai, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan pekerjaan. Masih ada ruang empat dekade bagi Indonesia untuk bersiap diri. (LITBANG KOMPAS)