Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Partai Jadi Garda Terdepan Penentu Kualitas Caleg
Apa pun sistem pemilu yang diterapkan, partai politik menjadi pintu penentu bagi kualitas calon anggota legislatif. Menjaga otoritas pemilih sebagai penentu wakil rakyat yang mengemban aspirasi menjadi sebuah kebutuhan.

Sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem pemilu proporsional tertutup sama-sama punya kelemahan dan kekuatan. Apa pun sistem pemilu yang dipilih, partai politik tetap menjadi garda terdepan dalam menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas.
Pemilih mestinya tetap punya otoritas terhadap mandat yang akan diberikan kepada kontestan yang ia percaya, apa pun sistem yang dipakai di pemilu.
Wacana antara pilihan tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka dan upaya mengembalikan penerapan sistem pemilu proporsional tertutup semestinya tidak perlu diperdebatkan kembali.
Keduanya tetap memiliki titik kelemahan dan kekuatan. Kecenderungan publik yang lebih memilih untuk mencoblos partai politik dan calon legislator (caleg) sekaligus menjadi sinyal proporsional terbuka masih lebih cocok untuk dipertahankan, setidaknya untuk saat ini.
Sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem pemilu proporsional tertutup sama-sama punya kelemahan dan kekuatan.
Kecenderungan ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas pada awal pekan kedua Januari 2023. Separuh lebih responden (55,5 persen) lebih menginginkan mencoblos gambar parpol dan nama caleg sekaligus pada pemilu nanti. Peluang memilih keduanya ini menjadi praktik dari sistem pemilu proporsional terbuka yang selama ini sudah dijalankan.
Jajak pendapat juga menangkap, parpol dan caleg menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya menjadi pertimbangan oleh separuh lebih responden dalam jajak pendapat.
Caleg juga memiliki porsi yang relatif lebih banyak menjadi faktor pertimbangan pemilih menentukan pilihannya, setidaknya lebih tinggi jika dibandingkan hanya faktor partai politik itu sendiri.
Kecenderungan sikap publik ini tentu tidak lepas dari praktik sistem pemilu proporsional terbuka yang selama ini sudah dijalankan. Setidaknya model ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004 meskipun masih setengah terbuka, yakni pemilih tetap mengutamakan mencoblos partai politik, tapi diberi kesempatan memilih calon legislator.

Namun, saat itu pilihan terhadap caleg tidak otomatis menjadi suara bagi caleg tersebut dalam meraih kursi. Kursi tetap ditentukan berdasarkan nomor urut caleg di parpol masing-masing.
Praktik sistem pemilu proporsional terbuka secara utuh dijalankan mulai Pemilu 2009. Hal ini terutama mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 yang memutuskan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka.
MK juga memutuskan penentuan siapa yang berhak menduduki kursi yang diraih partai politik, yakni merujuk pada siapa calon legislator di partai tersebut yang meraih suara terbanyak.
Praktis, sejak Pemilu 2009 kampanye pemilu disemarakkan oleh kontestasi antarcaleg. Pusat persaingan lebih bertumpu pada calon legislatif (candidate-centered politics).

Bendera dua partai politik beserta nomor urutnya dalam Pemilu 2024 terpasang pada pagar jalan layang di kawasan Slipi, Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Tidak hanya antar partai politik yang berbeda, namun kontestasi juga terjadi di antara para calon legislatif di dalam partai politik yang sama. Maka, tidak jarang terjadi kolaborasi antara calon legislatif di tingkat DPR dengan calon legislatif di tingkat DPRD, baik yang berlatar belakang partai politik yang sama maupun yang berbeda.
Hal ini mengindikasikan koalisi politik yang dibangun di tingkat nasional, berpeluang tidak sama dengan yang dilakukan calon legislatif di tingkat daerah.
Pemandangan seperti partai A dan B melakukan koalisi di tingkat nasional, bisa jadi calon legislatif dari Partai A akan lebih bekerja sama dengan calon legislatif Partai C. Hal ini terjadi terutama antar calon legislatif yang berbeda tingkatan, yakni antara caleg DPR dan caleg DPRD.
Tidak heran kemudian efek samping dari penerapan sistem proporsional terbuka dengan sistem perolehan suara terbanyak bagi calon legislatif untuk menduduki kursi partai ini membuka kompetisi politik lebih bebas dan kurang terkendali. Apalagi disinyalir praktik politik transaksional akan lebih kental terjadi di sistem pemilu proporsional terbuka ini.

Jika di sistem pemilu proporsional tertutup, potensi politik uang lebih terlokalisir, di sistem pemilu proporsional terbuka, potensi transaksi politik uang lebih terbuka dan menyebar.
Studi Burhanuddin Muhtadi yang terangkum dalam buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia (Bawaslu, 2018) menjelaskan soal fenomena persaiangan antar caleg yang ketat, termasuk di internal partai politik yang sama. Burhanuddin menuliskan, rata-rata margin kemenangan yang membedakan seorang caleg yang lolos dengan yang tidak hanya 1,65 persen.
Hal ini yang menjelaskan mengapa politik uang menjadi masif karena setiap caleg hanya memerlukan selisih 1,65 persen untuk bisa lolos ke Senayan. “Jadi, jika praktik jual beli suara bisa memengaruhi pilihan hingga 10,2 persen dari total pemilih, maka tidak heran banyak caleg yang masih bisa berharap meraih kemenangan dengan menggunakan strategi politik uang, “ tulisnya.
Baca juga : Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Mendekatkan Pilihan Rakyat
Mendekatkan pemilih
Terlepas dari fenomena kompetisi yang lebih meluas dan terbuka, khususnya di antara para calon legislatif, sistem pemilu proporsional terbuka dinilai lebih mendekatkan antara pemilih dengan wakil rakyat yang dipilihnya.
Penilaian ini tertangkap juga dari hasil jajak pendapat. Sebanyak 69,4 persen responden mengakui dengan mencoblos calon legislatif di surat suara, bisa membangun kedekatan anggota legislatif yang dipilih dengan pemilihnya.
Meskipun demikian, baik sistem pemilu proporsional terbuka maupun sistem tertutup sama-sama tidak bisa menjamin akan menghasilkan wakil rakyat yang merakyat.

Jajak pendapat menangkap, sikap yang cenderung terbelah soal kepuasan responden terhadap wakil rakyat yang dipilihnya di pemilu sebelumnya. Sepertiga bagian responden menyatakan kepuasannya, namun dengan angka yang kurang lebih sama, sepertiga lainnya menyatakan ketidakpuasannya.
Hal ini bisa jadi menjadi potret, apapun sistem pemilu yang dipilih tetap bergantung pada partai politik secara kelembagaan. Partai politik tetap menjadi pintu dan garda terdepan dalam menghasilkan calon legislatif yang kapabel dan berintegritas.
Seperti yang ditulis oleh Moch Nurhasim, Direktur Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan DKP BRIN, pada prinsip dan filosofinya, semua sistem pemilu sama-sama memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pembelajaran dari praktik pemilu di dunia dan juga Indonesia, tak ada sistem pemilu yang sempurna (Kompas, 13/1/2023).
Baca juga : Survei ”Kompas”: Calon Anggota Legislatif Beri Insentif Elektoral ke Partai
Penolakan
Meskipun demikian, wacana penolakan terhadap perubahan sistem pemilu, dari proporsional terbuka kembali pada sistem peorporsional tertutup, cenderung lebih masif.
Setidaknya penolakan paling mencuat dilakukan oleh delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR, yakni Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Penolakan kemudian dinyatakan dalam pernyataan bersama pada 3 Januari 2023 lalu yang meminta Mahkamah Konstitusi konsisten pada putusan sebelumnya dengan mempertahankan Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Sikap ini kemudian diperkuat dengan pertemuan delapan ketua umum partai politik dari delapan fraksi di atas pada 8 Januari 2023. Mereka bersua untuk mengonsolidasikan gerakan penolakan terhadap penggunaan sistem proporsional tertutup alias coblos gambar partai.

Para pimpinan partai politik parlemen yaitu Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali (dari kiri ke kanan) bergandengan tangan seusai berkumpul dalam Silaturahmi Politik Awal Tahun di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023). Sebanyak 8 partai politik parlemen menyatakan penolakan wacana penerapan sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut mereka, wacana KPU menerapkan sistem proposional tertutup ini justru merupakan kemunduran demokrasi. Sistem yang hendak diterapkan pada Pemilu 2024 ini juga dinilai hanya menguntungkan partai politik tertentu sehingga tidak berkeadilan bagi seluruh parpol peserta Pemilu 2024, terutama partai-partai baru.
Namun, sikap ini dibayangi oleh sikap PDI Perjuangan yang cenderung lebih setuju jika kembali pada sistem pemilu proporsional tertutup. Bahkan, PP Muhammadiyah melalui sekretaris umumnya, Abdul Mu’ti, juga cenderung setuju jika diterapkan kembali sistem pemilu proporsional tertutup. Menurut Mu’ti, sistem proporsional tertutup bisa mengurangi kanibalisme politik yang berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Pada akhirnya, sistem pemilu apapun yang dipilih semestinya tetap mempertahankan dan memfasilitasi pemilih untuk turut menentukan secara langsung wakil rakyat yang nanti akan mewakili mereka. Mencoblos partai politik sekaligus calon legislatif sudah menjadi kebutuhan bagi pemilih.
Meskipun demikian, mengurangi efek samping dari sistem pemilu proporsional terbuka tetap bisa menjadi agenda. Sistem pemilu apapun yang dipilih semestinya tetap menjadikan pemilih punya otoritas penuh terhadap mandat yang akan diberikan kepada kontestan pemilu yang ia percaya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Parpol Perlu Mendekati Rakyat