Netanyahu dan Babak ”Endgame” Konflik Israel-Palestina
Kembalinya Benjamin Netanyahu ke gelanggang politik Israel membawa babak baru dalam konflik Israel-Palestina. Netanyahu dan partainya harus “memanaskan” isu konflik untuk kembali meraih simpati publik.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
AFP/AHMAD GHARABLI
Warga Israel keturunan Arab, Karim Younes, membawa bendera Palestina usai dibebaskan setelah menjalani masa tahanan dari sebuah penjara Israel, di Kota Ara, Kamis (5/1/2023).
Sepanjang sejarah Israel, sosok Netanyahu memang nampak sangat dominan. Dalam satu seperempat dekade terakhir, posisinya sebagai Perdana Menteri Israel tak tergantikan. Namun, masa jabatan sebagai perdana menteri bagi politikus senior Israel, Benjamin Netanyahu, tak semudah di periode-periode sebelumnya.
Hal ini disebabkan dugaan serangkaian kasus korupsi yang menjeratnya pada pertengahan 2020 lalu. Saat itu, dokumen resmi Jaksa Agung menunjukkan, Netanyahu dan istrinya menerima suap dari para pebisnis.
Sebagai timbal balik, Netanyahu akan melakukan intervensi terhadap proses pembentukan peraturan perundangan, yang sekiranya bisa merugikan bisnis mereka, di parlemen (Knesset) Israel.
Sepanjang sejarah Israel, sosok Netanyahu memang nampak sangat dominan.
Kasus yang hingga kini belum selesai ini menjadi beban politik bagi sang veteran. Meskipun partainya, Likud, menjadi partai mayoritas dan ia tetap menjabat sebagai perdana menteri, kepercayaan publik yang telah tercederai tentu tak mudah untuk disembuhkan.
Alih-alih meningkatkan akuntabilitas, Netanyahu bersama aliansi politiknya menggunakan rumusan berbeda untuk meraih simpati publik Israel. Daripada menjadi ”samsak”, mereka pun mencari musuh bersama yang bisa untuk dihajar oleh masyarakat. Sudah barang tentu, isu konflik dengan Palestina menjadi komoditas politik yang paling pas dalam situasi seperti ini.
Pilihan politik ini pun menjadikan agresivitas Israel terhadap Palestina kian menjadi selama 2022. Bahkan, PBB sendiri menyatakan 2022 menjadi tahun yang paling ”berdarah” dalam sejarah konflik Israel-Palestina selama 16 tahun terakhir. Selama setahun, sekitar 170 orang meninggal akibat konflik tersebut.
Artinya, tahun lalu menjadi titik terpanas konflik setelah peristiwa Intifada II sepanjang 2000-2005. Saat itu, selama periode lima tahun terdapat lebih dari 4.300 orang meninggal dan ribuan lainnya luka-luka. Rasio korban antara kedua pihak pun terlampau jauh, yakni 3 banding 1. Jumlah ini belum termasuk peristiwa operasi militer ”Summer Rain” oleh militer Israel yang mematikan setahun setelahnya.
Makin agresifnya Israel dalam menyerang Palestina ini dapat dilihat dari enam hal selama 2022. Empat hal tersebut adalah peningkatan ketegangan di Gaza, operasi ”Break the Wave”, pembunuhan Shireen Abu Akleh, dan percepatan serta intensifikasi pemukim Israel di Tepi Barat.
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri sidang istimewa guna pemungutan suara untuk pembentukan pemerintahan baru di Knesset, Yerusalem, Minggu (13/06/2021). Dalam sidang tersebut, aliansi delapan partai yang dipersatukan oleh permusuhan terhadap Netanyahu akhirnya memenangkan pemungutan suara dengan margin tipis. Kader dari sayap kanan, Naftali Bennett, ditetapkan sebagai perdana menteri selama dua tahun menggantikan Netanyahu.
Pertama, sama seperti dengan tahun-tahun sebelumnya, Gaza menjadi salah satu titik paling panas dalam konflik Israel–Palestina. Setelah sekitar setahun relatif tenang, Israel mulai meningkatkan aktivitas militernya di kawasan tersebut pada awal Agustus 2022. Selama tiga hari, serangan udara pasukan Israel menewaskan setidaknya 49 warga Palestina, 17 di antaranya anak-anak.
Serangan ini pun dibalas oleh pasukan Jihad Islami Palestina (PIJ) dengan serangan roket ke wilayah Israel. Untungnya, eskalasi konflik yang ditakutkan tak terjadi. Hal ini karena Mesir hadir sebagai penengah. Melalui perjanjian yang dibrokeri oleh Mesir, gencatan senjata antara Israel dan Palestina pun berhasil disepakati.
Selain menghidupkan kembali bara di Gaza, Israel juga melancarkan operasi ”Break the Wave”. Operasi militer ini sendiri dijustifikasi oleh Pemerintah Israel karena munculnya serangkaian serangan individual terhadap warganya di beberapa wilayah, seperti Bnei Brak, Khdeira, dan Negev. Akibat serangan ini, sekitar 11 warga dan petugas keamanan Israel meninggal.
Sebagai balasan atas aksi-aksi sporadis tersebut, Israel berupaya untuk memecah ombak (Break the Wave) kekerasan oleh warga Palestina. Hal ini dilakukan dengan melakukan penggerebekan, penangkapan paksa, hingga pembunuhan bagi warga Palestina. Aksi brutal ini dilakukan oleh pasukan Israel secara reguler, terfokus di beberapa area, yakni Jenin dan Nablus.
Brutalitas pasukan Israel ini tak pandang bulu. Siapa pun yang melawan, baik anak-anak maupun orang tua, akan dihabisi di tempat. Bahkan, mereka yang menyaksikan atau menolong korban juga akan diganjar nasib yang sama. Ratusan warga Palestina di kawasan Tepi Barat pun tewas akibat operasi tersebut. Tak hanya itu, lebih dari 9.000 lainnya mengalami luka-luka.
Salah satu yang menjadi korban dari keganasan pasukan Israel adalah jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh. Abu Akleh tewas ditembak oleh pasukan Israel ketika sedang meliput penggerebekan yang tengah dilakukan di kamp pengungsian Jenin. Meninggalnya sosok jurnalis kawakan ini memantik reaksi keras dari publik internasional.
Terlebih lagi, Pemerintah Israel nampaknya tak rela Abu Akleh untuk beristirahat dengan tenang. Pasalnya, prosesi pemakaman Abu Akleh pun diwarnai dengan tindakan represif oleh aparat keamanan Israel. Bahkan, para pengusung peti matinya pun tak luput dari gebukan pentungan aparat keamanan.
Jika ditarik benang merahnya, perkembangan situasi konflik Israel-Palestina ini tidak lepas dari pemerintahan Israel yang semakin ”kanan”. Pemerintahan berbau fasis ini nyatanya mendapat dukungan yang besar dari masyarakat Israel. Tren ini membuat pemerintah mendapatkan insentif politik ketika meningkatkan tensi ketegangan dengan Palestina.
Tak heran, salah satu kebijakan yang didorong oleh pemerintahan baru Netanyahu adalah ekspansi para pemukim Israel di Tepi Barat. Bahkan, sehari sebelum dilantik, Netanyahu mendeklarasikan dalam sebuah konferensi pers bahwa hal ini akan menjadi prioritas pertama koalisi pemerintahannya. Beberapa wilayah yang akan dipenetrasi oleh pasukan serta warga Israel adalah Galilee, Negev, Dataran Tinggi Golan, serta Yudea dan Samaria.
Langkah ini sangat kontroversial. Dilihat dalam konteks hukum internasional, hal yang dilakukan oleh Israel ini dapat dikatakan ilegal karena melanggar pasal empat konvensi Geneva yang melarang adanya pemindahan warga sipil ke wilayah konflik.
Selain itu, kebijakan ini juga akan memutarbalikkan upaya resolusi konflik yang telah puluhan tahun dibangun. Bahkan, Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel saja sangat menentang kebijakan ekspansi pemukim.
AFP/MOHAMMED ABED
Seorang anak Palestina melihat dari balik kain saat kampanye vaksinasi Covid-19 untuk warga di Kota Gaza, Kamis (2/12/2021).
Lebih lanjut, langkah Pemerintah Israel tersebut kemungkinan besar akan memantik perlawanan dari sisi Palestina. Besar kemungkinan, resiko perlawanan ini telah dikalkulasi oleh Netanyahu dan koalisi politiknya. Artinya, dengan mengeluarkan kebijakan ini, Israel telah siap untuk hal yang paling buruk, termasuk konflik terbuka.
Tak ayal, perkembangan yang terjadi selama 2022 bisa jadi menandakan babak baru dalam lintasan sejarah konflik Israel-Palestina. Tak tertutup kemungkinan, konflik kini tengah memasuki babak akhir (end game).
Dengan semakin banyaknya warga Israel beserta pasukan militer yang mengamankannya bermukim di Tepi Barat, akan semakin sempit wilayah bagi warga Palestina. Pada akhirnya, apabila tidak ada langkah apa pun di forum internasional, bisa jadi Palestina akan ”selesai” dalam waktu yang tak lama lagi. (LITBANG KOMPAS)