Kinerja DPR dalam membahas rancangan undang-undang menimbulkan pertanyaan sejauh mana para wakil rakyat sudah bersikap aspiratif dan kritis dalam menjalankan fungsi legislasi maupun pengawasannya.
Oleh
GIANIE/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Di negara demokrasi mana pun di dunia, parlemen mengemban cita-cita menjadi kekuatan penyeimbang untuk pemerintahan yang efektif. Ia menjadi perantara formal antara rakyat dan pemerintah. Oleh sebab itu, sebagai wakil rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan bekerja dengan menyerap aspirasi rakyat. Anggota DPR juga dituntut kritis dalam mengawasi kekuasaan dan jalannya pemerintahan.
Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 10-12 Januari 2023 memperlihatkan penilaian publik yang cenderung negatif terhadap DPR. Publik menganggap kinerja anggota parlemen belum aspiratif dan kritis ketika menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
Satu dari empat responden secara tegas menyatakan DPR dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya belum sepenuhnya memperhatikan atau menyerap aspirasi masyarakat. Sebanyak 63,4 persen menyatakan DPR hanya kadang-kadang saja memperhatikan aspirasi masyarakat, sedangkan 10,8 persen mengatakan DPR sudah aspiratif.
Polarisasi jawaban ini tentu punya dasarnya. Ketegasan publik yang menyatakan DPR tidak aspiratif cukup beralasan. Hal itu bisa disimpulkan dari bagaimana DPR secara cepat membahas dan menyetujui pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU).
Salah satu contoh RUU yang pembahasannya dikebut dan cenderung minim partisipasi publik ialah RUU Cipta Kerja yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU itu akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2021, dan pada pengujung 2022 diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai penggantinya.
Produk legislasi lain yang juga dibahas cepat dan dinilai minim partisipasi publik adalah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, UU Nomor 55 Tahun 2022 tentang Mineral dan Batubara, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Semua UU itu menimbulkan gejolak di masyarakat. DPR dianggap lebih mengakomodasi kepentingan pemerintah dan orang-orang yang dekat dengan pemerintah.
Partisipasi publik dalam pembahasan UU dan kehidupan berdemokrasi secara umum menjadi salah satu parameter demokrasi berjalan dengan baik. Hal itu bisa dilihat dalam laporan Indeks Demokrasi yang rutin dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU).
Indonesia berdasarkan laporan Indeks Demokrasi EIU 2021 mendapat perbaikan skor dari 6,30 menjadi 6,71 sehingga kualitas demokrasi naik ke peringkat ke-52 dunia. Salah satu indikator yang memengaruhi kenaikan itu adalah partisipasi politik. Skor partisipasi politik terkoreksi dari angka 6,11 menjadi 7,22.
Menurut EIU, perbaikan kualitas demokrasi Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh keputusan MK, yang pada November 2021 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus direvisi.
Salah satu poin MK, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan karena tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara bermakna (meaningful participation). Revisi perlu dilakukan juga terkait substansi yang menjadi keberatan dari kelompok masyarakat. Dari situ terlihat partisipasi dan aspirasi masyarakat harus diakomodasi dalam penyusunan UU.
Belum kritis
Selain kurang aspiratif, publik pun menilai DPR tidak cukup kritis dalam menjalankan fungsinya. Ada tiga fungsi yang dimiliki DPR, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Persentase terbesar menunjukkan anggapan publik bahwa anggota Dewan dalam mengawasi kebijakan pemerintah masih belum kritis (57,3 persen). Porsi selanjutnya, yakni 56,6 persen, menyatakan anggota DPR juga belum kritis dalam membahas rancangan UU. Sementara 54,9 persen responden menyatakan DPR dalam menjalankan fungsi anggarannya juga belum kritis.
Penilaian ini pun bisa dimaklumi. Kurangnya kekritisan anggota DPR dalam mengawasi pemerintah tidak lepas dari kondisi melemahnya kelompok ”oposisi” di parlemen dengan membesarnya koalisi partai politik pendukung pemerintahan. Dari total 575 kursi DPR, sebanyak 80 persen lebih dikuasai barisan partai politik pendukung pemerintah. Praktis, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat yang tetap setia di barisan ”oposisi”.
Dengan melemahnya pengawasan terhadap pemerintah, kekuasaan menjadi sulit dikontrol. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Banyak yang bisa disebut sebagai contoh, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, tahun lalu. Termasuk pula dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 untuk mengakomodasi kepentingan investor dan pengusaha.
Dengan kondisi DPR yang kurang aspiratif dan tidak kritis dalam mengawasi jalannya pemerintahan, ketidakpuasan publik pun menyeruak terhadap kinerja DPR. Dua pertiga responden (67,9 persen) secara umum merasa tidak puas dengan kinerja DPR selama setahun terakhir. Hanya 28,6 persen yang menyatakan sebaliknya.
Jika kinerja dirinci berdasarkan tiga fungsi yang dimiliki DPR, responden pun menilainya tidak cukup baik. Responden yang menilai kinerja DPR buruk dan semakin buruk berdasarkan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, persentasenya secara berturut-turut adalah 39,9 persen, kemudian 35,5 persen, dan 36,6 persen.
Mengembalikan harapan
Publik masih berharap dan memiliki keyakinan bahwa dalam sisa masa tugasnya hingga tahun 2024 kinerja DPR akan lebih baik. Kesempatan untuk menjadi lebih aspiratif dan kritis ada dalam pembahasan Perppu Cipta Kerja.
Perppu ini kembali mengundang kontroversi dan menempatkan DPR sebagai titik sentral. Terbitnya Perppu Cipta Kerja telah menghilangkan ekspektasi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dalam revisi UU Cipta Kerja.
Mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu yang diterbitkan pemerintah harus dibahas DPR dalam persidangan berikutnya. Ketentuan tersebut juga menyebutkan perppu harus dicabut jika tidak mendapat persetujuan DPR. Di sini kekritisan DPR akan diuji, terutama dalam menilai kegentingan memaksa yang melatarbelakangi keluarnya perppu sekaligus menilai substansi perppu.
Ujian bagi kinerja legislasi DPR tak sebatas Perppu Cipta Kerja. Sebab, sampai dengan 2024, sesuai dengan daftar prolegnas, masih ada 20 RUU prioritas lain yang harus diselesaikan DPR. Delapan RUU dalam tahap penyusunan dan 12 RUU dalam tahap pembahasan.
Beberapa yang mendesak untuk segera diselesaikan antara lain RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional, serta RUU tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Di sini terbuka ruang-ruang pembuktian bagi anggota DPR untuk mengembalikan harapan publik yang menginginkan wakilnya lebih aspiratif dan kritis.