Ingin Sekolah Tinggi, Generasi Muda Butuh Dimengerti
Animo mengenyam pendidikan tinggi tetap menjadi impian, terutama disuarakan oleh anak muda. Di tengah masih terbatasnya akses pendidikan tinggi, animo publik ini mesti ditangkap oleh pemangku kepentingan.

Keinginan untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang tertinggi terpancar dari warga muda. Bekal pendidikan dan keterampilan juga dipercaya berkorelasi dengan besaran kapital yang akan didapat. Sayangnya, faktor ekonomi dan ketersediaan waktu masih jadi hambatan untuk mengakses pendidikan tinggi.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas merekam animo yang besar generasi muda untuk mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan di perguruan tinggi juga masih dipercaya sebagai modal kuat untuk menggalang pundi-pundi ekonomi. Sayangnya, masih ada hambatan yang mengindikasikan belum terbukanya akses pendidikan tinggi untuk semua kalangan.
Dari 502 responden berusia 17-35 tahun, tujuh dari 10 mereka tertarik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dari representasi ini, tiga di antaranya bahkan menyebut sangat tertarik. Publik yang mewakili gen Z dan gen Y ini pun memberikan pendapat terkait kajian ilmu yang akan sangat berguna di masa depan.
Setidaknya ada tiga jurusan di perguruan tinggi yang dianggap oleh kebanyakan publik muda akan berguna di masa depan. Rinciannya, sebanyak 33,2 persen menyebut jurusan ilmu ekonomi dan bisnis, 20,4 persen menyebut ilmu teknik informasi dan komunikasi, dan 11,8 persen menyebut ilmu pendidikan. Di urutan selanjutnya adalah ilmu komunikasi, ilmu kesehatan, dan ilmu dosial dan politik.
Sayangnya, faktor ekonomi dan ketersediaan waktu masih jadi hambatan untuk mengakses pendidikan tinggi.
Pilihan generasi berusia produktif ini sesuai dengan tantangan Indonesia yang tengah berupaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lewat pemanfaatan teknologi digital.
Tak hanya itu, ketiga jurusan yang paling banyak dipilih juga merupakan jurusan dengan pengembalian biaya pendidikan tertinggi. Artinya, publik muda berpikir taktis untuk mengambil jurusan yang jelas diterima di pasar tenaga kerja.
Merujuk laporan analisis tim jurnalisme data Kompas, jurusan teknik informatika dan pendidikan menempati urutan teratas dalam aspek durasi pengembalian biaya pendidikan.
Pada 2022, biaya kuliah teknik informatika diperkirakan mencapai Rp 98,6 juta. Di tahun 2026, lulusan jurusan ini diperkirakan menerima gaji Rp 8 juta/bulan. Dengan demikian, biaya kuliah yang dikeluarkan dapat impas dalam satu tahun bekerja.

Penutupan Konvensi Kampus Ke-28 dan Temu Tahunan Ke-24 Forum Rektor Indonesia di Airlangga Convention Center, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (30/10/2022).
Temuan yang sama juga tampak pada jurusan ilmu pendidikan. Dengan estimasi biaya kuliah Rp 57,6 juta, lulusan ini akan menerima gaji Rp 4,9 juta per bulan.
Baik teknik informatika maupun ilmu pendidikan mampu mengembalikan dana pendidikan lebih cepat dibandingkan jurusan lainnya, seperti ilmu kesehatan ataupun ilmu sosial.
Baca juga : Belajar Pembiayaan Pendidikan Tinggi yang Lebih Baik dari Negara Tetangga
Dimengerti
Meski demikian, animo besar untuk duduk di bangku perkuliahan juga bersanding dengan riak persoalan. Keinginan untuk mengenyam bangku perkuliahan belum merata disampaikan oleh seluruh kalangan.
Animo melanjutkan pendidikan tinggi baru kuat terekam dari kalangan yang sudah menamatkan studi di tingkat strata. Keraguan nampak pada latar belakang pendidikan dasar dan menengah. Pada kalangan berpendidikan dasar, keengganan tampak dari 28,2 persen responden dan pada kalangan pendidikan menengah terlihat dari 31,3 persen responden.
Setidaknya ada empat alasan yang paling banyak disampaikan publik yang tidak tertarik melanjutkan sekolah. Sebanyak 33 persen responden menyebut tidak memiliki biaya, 29,6 persen karena sudah menikah, 16,4 persen ingin langsung bekerja, dan 12,5 persen karena memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Adapun 2,6 persen responden tak tertarik karena menganggap pendidikan tinggi tidak memiliki pengaruh signifikan pada pekerjaan.
Alasan biaya disampaikan oleh responden lintas kelas sosial ekonomi. Artinya, faktor biaya pendidikan tinggi bukan sekadar ketidakmampuan publik mengeluarkan uang untuk membiayai sekolah. Namun juga tersirat adanya anggapan bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi sudah terlampau mahal.

Pandangan ini didukung oleh temuan jajak pendapat Litbang Kompas pada responden umum di Juli 2022. Mayoritas responden (77,5 persen) menyebut biaya kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) mahal. Adapun 62,4 persen menyatakan pendapat yang sama terkait biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN).
Keraguan publik muda untuk melanjutkan kuliah juga tampak dari kesulitan membagi waktu antara urusan rumah tangga dan karier. Kondisi ini harapannya dapat direspons dengan keluwesan lembaga pendidikan dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan fleksibilitas waktu dan ruang.
Mengutip temuan IDN Research Institute pada 2022, memiliki jadwal kerja dan belajar yang fleksibel menjadi prioritas bagi 71 persen responden generasi milenial. Keinginan ini lebih banyak dipilih dibandingkan dengan menikah ataupun memiliki anak.
Melihat lebih dalam, kelompok responden yang menjadikan alasan telah berumah tangga sebagai alasan tidak melanjutkan sekolah juga merupakan kalangan yang berasal dari kelas sosial ekonomi bawah.

Adapun sepertiga publik yang tidak tertarik melanjutkan studi terkendala oleh tanggung jawab menyokong ekonomi. Rinciannya, 16,4 persen ingin langsung bekerja dan 12,5 persen telah memiliki pekerjaan atau usaha yang tidak bisa ditinggalkan.
Merujuk kembali analisis tim jurnalisme data Kompas, rata-rata biaya kuliah tertinggi untuk jalur reguler di 10 PTS dan 20 PTN di Indonesia pada 2022 selama satu semester sekitar Rp 18,7 juta. Angka ini terus meningkat mengingat inflasi biaya pendidikan yang mencapai 15-20 persen per tahun atau lebih tinggi dibandingkan inflasi ekonomi (Kompas, 29/7/2022).
Dengan kondisi tersebut, publik dengan latar belakang ekonomi cukup perlu berupaya lebih agar mampu mengenyam pendidikan tinggi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, setidaknya perlu alokasi dana 20 persen dari pendapatan dalam rencana pembiayaan studi agar mampu mengimbangi laju ongkos pendidikan tinggi.
Lewat gambaran ini, publik muda butuh dimengerti jika pemerintah ingin mendorong lahirnya masyarakat yang berkualitas dan terdidik. Hambatan sosial dan tuntutan memenuhi kebutuhan hidup nyatanya masih menjadi ganjalan. Dengan pendekatan yang tepat, gairah untuk menjadikan diri generasi yang berdaya saing akan muncul dengan sendirinya.
Baca juga : Semakin Awal Mempersiapkan Biaya Kuliah, Semakin Ringan Bebannya
Keterampilan
Jajak pendapat kali ini juga merekam pandangan anak muda pada pentingnya pendidikan di level lanjutan untuk kebutuhan mencari nafkah. Terekam, sembilan dari 10 responden yang dalam jajak pendapat menyebutkan, pendidikan tinggi penting untuk mencari uang.
Pada responden yang sama, turut ditanyakan seberapa penting faktor keterampilan untuk mencari rezeki. Jawabannya, hampir seluruh responden (99,2 persen) menjawab penguasaan keterampilan penting untuk mendapatkan uang. Dari dua jawaban ini, kesadaran publik pada relevansi ilmu dengan pendapatan tergolong sangat tinggi.
Jika dilihat lebih dalam, keterampilan dianggap mengambil peran lebih besar dibandingkan pendidikan teoretis di bangku perkuliahan dalam mencari uang.
Hal ini tampak dari proporsi responden yang menjawab pada level sangat penting untuk dua pertanyaan di atas. Terekam, sebanyak 66,4 persen menjawab sangat penting untuk hal keterampilan, sementara untuk hal pendidikan hanya 43 persen.
Pandangan publik muda ini tidaklah meleset. Lulusan perguruan tinggi tidak menjamin mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan lulusan jenjang pendidikan yang lebih rendah.

Analisis tim jurnalisme data Kompas menemukan, selisih akumulasi upah yang didapatkan oleh lulusan perguruan tinggi kian lama kian menipis dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah atas (SMA).
Merujuk data upah berdasarkan tingkat pendidikan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari 1993 hingga 2022, akumulasi pendapatan lulusan S-1 hingga pensiun mencapai Rp 1,57 miliar, sedangkan lulusan SMA mencapai Rp 798 juta. Pada tahun 2022, pendapatan yang diperoleh lulusan universitas hingga pensiun adalah Rp 3,8 miliar, sementara lulusan SMA sebesar Rp 2,4 miliar. Artinya, jarak upah antarlulusan perguruan tinggi dan SMA semakin menipis.
Berkaca dari temuan ini, pemerintah perlu merespons gairah generasi muda yang ingin mengasah daya pikir dan keterampilan lewat pendidikan tinggi. Upaya untuk menghadirkan generasi berdaya saing global semakin nyata lewat semangat generasi muda ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Gaji Lulusan Universitas Makin Kecil