Analisis Litbang ”Kompas”: Mengoptimalkan Ekonomi Domestik Hadapi Resesi Global
Masyarakat menyumbang separuh dari total perekonomian nasional melalui pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hal ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi domestik di tengah ancaman resesi global.
Kekuatan ekonomi domestik menjadi salah satu benteng pertahanan di tengah ancaman resesi global. Optimisme konsumen dalam negeri perlu terus dijaga agar ekspansi produksi berkelanjutan di kala permintaan eksternal mulai melemah.
Memasuki awal Tahun Baru, sejumlah lembaga dunia tampak masih pesimis memandang perekonomian di tahun 2023. Bank Dunia sebagai sentral lembaga keuangan global kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 hingga hanya tersisa 1,7 persen. Ancaman resesi global tampaknya kian menjadi menjadi kenyataan.
Prediksi yang dipublikasikan pada awal Januari 2023 tersebut jauh lebih rendah dari proyeksi Juni 2022 di mana pertumbuhan ekonomi dunia masih bertengger di kisaran 3,0 persen. Angka proyeksi pada pertengahan 2022 itu sedikit lebih tinggi dari perkiraan yang dilakukan pada awal tahun bersangkutan yang memperkirakan pertumbuhan selama 2022 sebesar 2,9 persen. Proyeksi yang semakin meningkat ini mengindikasikan optimisme yang semakin baik dalam melewati tahun 2022. Setidaknya dalam rentang awal hingga pertengahn tahun 2022.
Namun, keyakinan terhadap ekonomi dunia yang semakin baik itu tampaknya kian surut jelang akhir tahun 2022. Pengetatan kebijakan moneter untuk menahan laju inflasi di sejumlah negara membuat Bank Dunia relatif pesimis ekonomi dunia akan mampu tumbuh lebih tinggi. Apalagi, gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina masih belum menunjukkan adanya titik perdamaian. Ditambah lagi ketegangan geopolitik antarsejumlah negara atau kawasan sehingga situasi global penuh dengan potensi gejolak dan bayang-bayang ketidakpastian.
Beberapa hal tersebut mendorong situasi dunia menuju pada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara utama penggerak ekonomi dunia pun tak luput dari perkiraan risiko perlambatan ini. Amerika Serikat, misalnya, negara dengan kontribusi terbesar pada produk domestik bruto (PDB) dunia, diprediksi hanya akan mengalami pertumbuhan sebesar 0,5 persen di tahun ini. Angka tersebut 1,9 persen lebih rendah dari prediksi bulan Juni 2022 yang diperkirakan masih mampu menembus 2,4 persen.
Baca juga: Peran Besar G20 Menopang Stabilitas Ekonomi Dunia
Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Uni Eropa tidak akan tumbuh sama sekali. Dengan kata lain, pertumbuhannya hanya nol persen dari perkiraan sebelumnya yang masih sebesar 1,9 persen. Penurunan pertumbuhan ini juga terjadi pada China yang merupakan negara penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. China diperkirakan akan melambat pertumbuhannya menjadi 4,8 persen dari proyeksi sebelumnya yang mencapai 5,3 persen.
Penurunan pertumbuhan ekonomi negara-negara besar penyumbang perekonomian global tersebut tentu saja berpotensi besar mendorong pelemahan ekonomi dunia secara serentak. Pasalnya, AS, Uni Eropa, dan China berkontribusi hampir separuh dari total PDB dunia.
Tak dapat dimungkiri, sedikit atau banyak, perlambatan ekonomi global terutama yang mempengaruhi negara-negara maju akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Apalagi sejumlah negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia. Berdasarkan data Kementerian perdagangan, ekspor nonmigas Indonesia ke AS, UE, dan China mencapai 94,9 miliar dollar AS atau hampir separuh dari total ekspor nonmigas nasional.
Artinya, ketika gejolak ekonomi melanda para penguasa ekonomi dunia tersebut, maka stabilitas ekonomi akan terganggu. Geliat ekonomi menjadi lesu karena permintaan barang dan jasa berpotensi besar turut mengalami penurunan. Permintaan terhadap komoditas atau barang dari luar negeri berpotensi besar akan menurun sehingga ekspor Indonesia ke sejumlah negara terancam berkurang.
Ancaman penurunan ekspor tersebut bertolak belakang dengan situasi beberapa saat lalu yang justru mencatatkan pertumbuhan positif, bahkan tergolong tengah mengalami peningkatan cukup pesat. Pada triwulan III-2022, kontribusi ekspor pada PDB Indonesia menurut sisi pengeluaran mencapai 26,23 persen. Angka tersebut terus meningkat dari periode-periode sebelumnya seiring pulihnya situasi pandemi, bahkan mampu melampaui capaian kontribusi pada masa sebelum pandemi yang masih berada di bawah 20 persen.
Potensi berkurangnya permintaan ekspor tersebut patut diwaspadai. Semakin rendahnya serapan produk yang dihasilkan baik oleh pasar domestik ataupun internasional akan berimbas pada sektor industrialisasi di dalam negeri. Terjadi inefisiensi usaha yang menyebabkan kerugian yang pada akhirnya dapat berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Potensi peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan akan semakin besar sehingga memperlebar jarak ketimpangan sosial-ekonomi antarmasyarakat.
Kekuatan Indonesia
Namun, di tengah ancaman lesunya ekonomi global yang sulit terhindarkan tersebut, Indonesia masih memiliki peluang untuk mempertahankan perekonomian tetap kondusif. Kendati ekonomi internasional lesu, kekuatan ekonomi domestik Tanah Air patut diperhitungkan sebagai ruang penyelamat kemajuan.
Setidaknya sejumlah indikator masih menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia relatif lebih kuat dari negara-negara lainnya, terutama dari negara maju. Pertama, nilai Purchasing Managers Index(PMI) manufaktur sebesar 50,9 pada Desember 2022 yang menandakan masih berada di fase ekspansi. Berbeda dengan AS, Uni Eropa, dan China yang sudah memasuki fase kontraksi dengan angka PMI di bawah 50.
Baca juga: Analisis Litbang “Kompas”: Langkah Strategis Hadapi Risiko Global 2023, dari Politik hingga Pangan
Secara umum, PMI adalah kumpulan survei kepada para manajer purchasing di sektor manufaktur. Adapun sejumlah hal yang diukur di dalamnya adalah jumlah pesanan baru, output hasil produksi, dan jumlah tenaga kerja. Termasuk juga waktu pengiriman dari pemasok bahan atau material dan ketersediaan barang-barang penunjang produksi yang dibeli. Artinya, dengan nilai indeks di atas 50 dan berada di fase ekspansi, aktivitas di sektor manufaktur tersebut masih berjalan cukup baik.
Masih relatif terjaganya aktivitas industri pengolahan di Tanah Air tersebut sejalan dengan masih cukup tingginya optimisme publik terhadap kondisi perekonomin. Indikasinya terlihat dari nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih berada pada level optimis. Data termutakhir menunjukkan nilai IKK pada Desember 2022 sebesar 119,9 atau naik sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada level 119,1.
Kenaikan tersebut didorong oleh meningkatnya optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini (IEK/Indeks Ekonomi Konsumen) dari 110,3 menjadi 112,4. Kendati ekspektasi konsumen terhadap kondisi mendatang (IEK) sedikit menurun, tetapi masih menunjukkan optimisme yang cukup kuat dengan nilai 127,3. Indeks tersebut menunjukkan keyakinan konsumen akan kondisi enam bulan mendatang. Artinya, konsumen atau publik masih cukup yakin dengan perekonomian nasional di tahun 2023.
Dua kondisi tersebut menunjukkan bahwa cukup ada keseimbangan antara sisi produksi dan konsumsi. Jika kedua hal tersebut tetap terjaga, besar kemungkinan ekonomi Indonesia akan relatif lebih stabil.
Bank Dunia pun relatif lebih optimis memandang perekonomian Indonesia pada tahun ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak merosot tajam seperti negara-negara maju. Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia di tahun 2023 akan tumbuh 4,8 persen berdasarkan proyeksi yang dirilis pada awal tahun ini. Hanya turun 0,5 persen dibandingkan prediksi bulan Juni 2022.
Untuk menjaga optimisme tersebut, pemerintah perlu mengimbanginya dengan sejumlah kebijakan yang tepat sasaran. Memastikan kebutuhan masyarakat masih dapat tercukupi menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Termasuk stabilitas pasokan barang-barang kebutuhan pokok agar terhindar dari kelangkaan yang memicu kenaikan harga dan berimbas inflasi pada komoditas lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah harus terus memantau situasi global dengan mempersiapkan berbagai skenario kebijakan baik fiskal ataupun moneter akar stabilitas ekonomi domestik terus terjaga. Pemerintah harus mampu memacu daya beli masyarakat agar dapat terus meningkat secara dinamis.
Bagaimanapun konsumsi masyarakat menjadi bagian penting dalam perekonomian Indonesia. Hingga saat ini, konsumsi rumah tangga (masyarakat) menyumbang separuh dari total perekonomian nasional (PDB). Dengan terjaganya tingkat daya beli masyarakat Indonesia, maka perekonomian nasional berpotensi besar akan terus meningkat.
Kekuatan ekonomi domestik perlu terus dipelihara menjadi benteng pertahanan di tengah ancaman resesi global. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen, besar kemungkinan resesi tidak akan terjadi di Indonesia pada tahun ini. Konsumsi masyarakat menjadi salah satu penyelamat Indonesia dalam menghadapi perlambatan ekonomi global (LITBANGKOMPAS).