Dari Capitol Hill sampai Brasilia: Pelajaran Penting Demokrasi Indonesia
Ketegangan yang terjadi di Brasil pasca-kemenangan Lula da Silva sebagai presiden bisa menjadi pelajaran penting bagi pemilih di Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menggelar hajatan pemilu tahun depan.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Pelantikan Lula da Silva, presiden terpilih Brasil, pada awal tahun ini memantik reaksi keras dari pendukung rivalnya, Jair Bolsonaro. Tak terima jagoannya kalah, ribuan orang berupaya menduduki gedung DPR, mirip dengan yang terjadi di Capitol Hill, Amerika Sserikat, setahun silam. Sikap antidemokrasi ini perlu diwaspadai seiring dengan meningkatnya tensi politik di Indonesia menjelang Pemilu 2024.
Tahun 2023 menjadi awal baru bagi politik Brasil. Hal ini ditandai kembalinya rezim Partai Pekerja (Partido dos Trabalhadores/PT) dengan terpilihnya Lula da Silva pada pemilu Brasil tahun 2022.
Sebelumnya, pengaruh dari partai ini tergerus akibat skandal korupsi Petrobras yang menjerat beberapa petinggi partai, termasuk Lula sendiri. Tampuk pemerintahan pun direbut oleh Partai Sosial Liberal (Partido Social Liberal/PSL) seiring dengan menangnya Jair Bolsonaro pada pemilu 2018.
Di satu sisi, kemenangan Lula ini disambut cukup hangat oleh para pemimpin dunia. Dibandingkan dengan Bolsonaro yang berhaluan kanan ekstrem seperti Trump, posisi politik Lula lebih bisa diterima oleh komunitas internasional.
Terlebih lagi, hasil temuan terakhir menunjukkan bahwa keputusan yang menyeretnya dalam pusaran kasus Petrobras hingga membawanya ke penjara di 2018 terbukti tidak adil karena hakim yang berpihak ke kubu Bolsonaro.
Namun, di sisi lain, justru tidak semua dari warga Brasil menerima kemenangan Lula. Hal yang biasa bagi masyarakat untuk merasa kecewa jika ”jagoannya” kalah dalam kontestasi politik. Nmaun, semua pada akhirnya harus bisa dengan besar hati menerima pemimpin yang terpilih, karena lahir dari proses demokratis.
Hal inilah yang tak terjadi di negara tersebut. Pendukung Bolsonaro yang tak terima justru menuding Lula dan kelompoknya memanipulasi pemilu.
Walau tidak menolak hasil pemilu secara langsung, Bolsonaro diam dan membiarkan kemarahan pendukungnya. Bahkan, ia justru berlibur ke Florida menjelang momen pelantikan Lula, sebuah tindakan ”melanggar” tradisi transisi kepresidenan di Brasil.
Sikap Bolsonaro ini memperparah tensi politik yang masih sangat tegang pascapemilu yang panas. Dalam kontestasi tersebut, Lula menang dengan perolehan 50,9 persen dibandingkan Bolsonaro yang meraih 49,1 persen. Ditambah lagi, sudah jadi rahasia umum bahwa Bolsonaro tak segan untuk memprovokasi pendukungnya ketika berkampanye.
Tensi yang memuncak ini akhirnya terwujud menjadi tindakan anarkis. Pada Minggu (8/1/2023), ribuan pendukung Bolsonaro berbondong-bondong datang dan berupaya menduduki gedung parlemen di Brasilia.
Dalam kejadian ini, mereka yang berada di dalam gedung parlemen melakukan berbagai tindak vandalisme hingga merusak barang-barang yang ada di dalamnya.
Kerugian yang dialami oleh Pemerintah Brasil tak sedikit akibat peristiwa ini. Secara materiil, barang-barang bersejarah seperti lukisan hingga jam antik hancur. Namun, kerugian nonmateriil dari kejadian ini jauh lebih besar. Akibat tindakan tersebut, muncul keretakan sosial hingga ketidakpercayaan pada demokrasi yang tak terkira nilainya.
Dengan latar belakang yang mirip, berawal dari tokoh konservatif ultra kanan dan skema pendudukan gedung parlemen, tak heran jika banyak yang menyamakan peristiwa di Brasilia dengan peristiwa yang terjadi di Washington pada 2021.
Saat itu, ratusan pendukung Donald Trump yang kalah pada pemilu AS tahun 2020 menyerbu Gedung Capitol Hill, kantor parlemen AS, dan melakukan upaya perusakan. Dari bentrokan antara para penerobos dan pihak keamanan, jatuh korban jiwa sebanyak lima orang.
Selain titik serangan dan latar belakang tokoh yang didukung, serangan di Washington dan Brasilia ini memiliki narasi yang terlampau mirip.
Keduanya sama-sama membawa narasi bahwa jagoan yang mereka dukung kalah dalam pemilu yang diselenggarakan dengan curang. Bedanya, saat itu Trump tampak secara aktif memprovokasi pendukungnya, tak seperti Bolsonaro yang kini cenderung lebih diam.
Dari berbagai kesamaan antara keduanya, satu yang paling kentara ialah bagaimana media sosial turut berperan di dalamnya. Pada peristiwa Capitol Hill, sebelum akunnya sempat dihapus oleh pihak Twitter, Trump dan kroninya secara aktif menyebarkan narasi yang mendeligitimasi pemilu. Narasi ini pun dilengkapi oleh para pendengung dengan disinformasi dan berita hoax.
Di sisi lain, selama beberapa tahun sebelum pemilu AS tahun 2020, telah muncul beberapa kelompok ekstremis, seperti QAnon dan The Proud Boys, yang memiliki pengaruh besar di beberapa media sosial.
Kelompok-kelompok beraliran Neo-Nazi inilah yang ikut menginisiasi dan mengorganisasi pengikutnya untuk datang ke Washington dan melakukan serangan ke Capitol Hill. Hal ini nampak dari penggunaan beberapa tagar seperti #SaveAmerica dan #StormtheCapitol.
Jalur propaganda kelompok ekstrem kanan ini pun cukup beragam. Bukan hanya menyebarkan narasi lewat media sosial, kelompok-kelompok ini juga memanfaatkan ”jalan tikus” di berbagai situs internet, seperti 4Chan dan Reddit.
Dengan sistem dan algoritma kurasi konten yang lebih longgar dibandingkan dengan media sosial yang dimiliki grup Meta atau Twitter, ideologi ekstrem jauh lebih mudah tersebar di beberapa platform tersebut.
Selaras dengan kejadian Capitol, media sosial memiliki peranan penting dalam peristiwa di Brasilia. Laporan dari The New York Times memaparkan bahwa organisasi aksi pendudukan gedung parlemen ini dilakukan melalui kanal Telegram, Twitter, dan Facebook.
Bahkan, ditemukan bahwa dalang di balik peristiwa ini telah menyiapkan trik, seperti menggunakan hashtags khusus, untuk menghindari sistem deteksi kurasi konten dari platform. Hal ini juga menjadi salah satu bukti bahwa aksi tersebut memang dirancang dan direncanakan dengan matang.
Apa yang terjadi di Brasil dan AS ini patut untuk dijadikan bahan pelajaran yang berharga. Tentu kita tidak ingin kejadian serupa terjadi di Indonesia pada pemilu yang akan diselenggarakan tahun depan. Maka, langkah-langkah preventif harus sudah mulai dipikirkan.
Sebenarnya peristiwa yang mirip sempat terjadi di dalam negeri. Masih lekat dalam ingatan bagaimana pendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melancarkan aksi memprotes hasil Pemilu 2019. Meskipun, pada akhirnya situasi bisa mendingin dalam tempo yang relatif cepat dan tidak sampai menimbulkan kerugian sebesar yang terjadi di AS dan Brasil.
Namun, peristiwa pada 2019 ini menjadi sebuah preseden. Artinya, bibit-bibit kebencian bisa saja dengan mudah ditanam dan dipupuk oleh para kontestan pemilu di Indonesia. Ditambah lagi, penetrasi internet di Indonesia berada di tingkat yang setara dengan AS dan Brasil sehingga pola yang terjadi di kedua negara tersebut sangat mungkin terulang di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)