Analisis Litbang “Kompas”: Langkah Strategis Hadapi Risiko Global 2023, dari Politik hingga Pangan
Ada sejumlah ancaman yang akan dihadapai secara global pada 2023 ini, mulai dari kegaduhan politik, konflik pertahanan-keamanan, lesunya ekonomi, degradasi lingkungan, bencana alam, hingga kelaparan.
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
Beragam permasalahan global mendorong pada kondisi ketidakpastian di tahun 2023 ini. Mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, volatilitas harga energi dan pangan, hingga proyeksi pelemahan ekonomi dunia. Situasi ini kian dipersulit dengan ancamankrisis iklim yang memicu berbagai potensi bencana. Dibutuhkan langkah strategis untuk menghadapi berbagai persoalan tersebut.
Sepanjang 2022, konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina mengubah agenda global secara signifikan. Dari yang tadinya fokus pada isu kesehatan publik akibat pandemi Covid-19, bergeser pada isu konflik militer yang merembet pada melonjaknya harga energi dan inflasi dunia. Kondisi ini kian memperberat kondisi global karena di saat bersamaan wabah korona dan dampak sosial ekonominya belum tertangani secara optimal di sejumlah negara di dunia. Akibatnya, muncul sejumlah efek negatif bagi beberapa negara karena menghadapi berbagai tekanan baik dari dalam atau pun luar negeri.
Salah satu implikasi dari permasalahan pelik tersebut adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Proyeksi perekonomian global di tahun 2023 diperkirakan makin lesu dengan pertumbuhan hanya 1,6 persen. Dalam dokumen Risk Outlook 2023 yang disusun oleh
The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebutkan setidaknya ada empat ancaman yang akan dihadapai secara global akibat situasi tersebut. Terdiri dari kegaduhan politik, ancaman keamanan ataupun militer, lesunya ekonomi, dan degradasi lingkungan.
Sejumlah ancaman tersebut memicu ketidakpastian ekonomi yang sangat besar dampaknya pada tahun ini sehingga mendorong tingginya potensi kelaparan akibat pelemahan ekonomi di sejumlah belahan dunia. Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh kenaikan inflasi yang didorong oleh faktor geopolitik sehingga mendorong harga-harga secara umum meningkat lebih mahal. Situasi ini diperparah dengan adanya krisis iklim akibat pemanasa global sehingga memicu terjadinya kegagalan panen. Harga pangan melonjak secara drastis sehingga masyarakat golongan menengah ke bawah rawan terdampak kekurangan nutrisi dan kelaparan.
Menurut EIU, krisis pangan masuk kategori probabilitas tinggi dengan dampak yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO) per Desember 2022 lalu, tingginya inflasi harga komoditas pangan global melanda sedikitnya 90 persen negara di seluruh dunia. Inflasi tertinggi berada di Zimbabwe (321 persen), Lebanon (203 persen), Venezuela (158 persen), Turki (102 persen), dan Argentina (92 persen).
Tingginya inflasi tersebut memicu terjadinya krisis pangan yang menyebabkan kelaparan. Pada tahun 2021, setidaknya ada 828 juta orang di seluruh dunia terlanda bencana kelaparan. Angka tersebut diperkirakan makin meningkat di tahun-tahun berikutnya. Konflik Rusia-Ukraina dan terjadinya cuaca ekstrem di sejumlah negara pada tahun 2022 kian membuat ketahanan pangan secara global semakin rapuh.
Kerentanan pangan itu diproyeksikan berlanjut hingga tahun 2023 ini. Pasalnya, konflik militer tersebut belum menunjukkan tanda-tanda berakhir sehingga berpotensi mengganggu rantai pasaok pangan global. Apalagi, Rusia dan Ukraina termasuk produsen dan eksportir serelia penting dunia.
Berdasarkan data tahun 2020, komoditas terbesar yang diekspor Ukraina adalah minyak nabati, jagung, dan gandum. Negara tujuan utama ekspor Ukraina itu adalah China, Polandia, Turki, Jerman, dan India. Eksportir pangan ini juga dilakukan oleh Rusia. Hanya saja, selain pangan, Rusia juga berperan penting dalam tata niaga energi global. Sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia, Rusia memegang peran sentral untuk memasok kebutuhan energi dan pangan di sejumlah kawasan.
Ketika kedua negara tersebut berperang maka ekspor serelia dan energi ke pasar dunia terhambat sehingga mendorong kenaikan harga-harga secara umum di sejumlah kawasan. Berdasarkan pantauan Bank Dunia pada Desember 2022, hambatan ekspor tersebut berdampak pada kenaikan sejumlah komoditas. Salah satunya terjadi lonjakan harga pangan sekitar 5-30 persen di hampir semua negara.
Selain perang Rusia dan Ukraina, fenomena cuaca ekstrem juga mendorong keruntuhan produksi pangan global. Catatan suhu bumi menunjukkan peningkatan signifikan yang memicu terjadinya cuaca ekstrem, seperti La Nina dan El Nino, berkepanjangan. Berdasarkan pantauan FAO, La Nina berdampak pada hasil panen di negara-negara di belahan bumi selatan, demikian pula El Nino.
Laporan IPCC menyebutkan ada tiga kondisi cuaca ekstrem seperti gelombang panas, hujan ekstrem, dan kekeringan panjang mengalami peningkatan secara drastis. Kejadian gelombang panas terpantau meningkat pesat di hampir semua bagian bumi dengan level medium hingga tinggi. Sementara itu, hujan ekstrem didominasi area Asia, Afrika bagian selatan, dan sisi timur Amerika utara.
Untuk kekeringan dalam tempo yang panjang terpantau di sisi tengah Eropa hingga Asia, Afrika bagian selatan, sisi barat Amerika Utara, sisi timur Amerika Latin, dan Australia. Kekeringan ini berdampak pada kerusakan ekosistem dan kegagalan panen sehingga berpotensi menimbulkan bencana kelaparan.
Kesehatan publik
Selain ancaman kelaparan di sejumlah negara, risiko global di tahun 2023 yang perlu diwaspadai adalah munculnya wabah penyakit zoonosis dan kembali merebaknya virus korona. Potensi ancaman kesehatan ini relatif sangat tinggi karena sebagian besar negara-negara di dunia memiliki infrastruktur kesehatan yang lemah.
Kasus pandemi Covid-19 menjadi pelajaran berharga bagi semua negara. Kesiapsiagaan menghadapi situasi darurat kesehatan ternyata memiliki banyak celah mulai dari tahap preventif hingga kuratif. Ada sejumlah kendala yang dihadapi, mulai dari sisi pengujian virus, pelacakan, pengobatan, hingga penyediaan vaksin. Akibatnya, terjadi ketimpangan vaksinasi virus korona antarnegara yang menyebabkan penanganan wabah belum juga usai secara global hingga saat ini.
Ada negara yang memiliki capaian vaksinasi tinggi, tetapi ada juga negara lain yang masih berjuang mengamankan stok vaksin untuk warga negaranya. Kejenuhan situasi pandemi ini memicu munculnya ancaman baru bagi kesehatan. Banyak negara mulai melakukan pelonggaran kebijakan mobilitas, padahal risiko infeksi oleh varian baru masih sangat tinggi karena ketimpangan penanganan antarnegara tersebut. Dampaknya, terus terjadi penularan wabah yang dipicu oleh muculnya subtipe varian korona baru.
Berdasarkan data Worldometers, kasus infeksi virus korona mencapai 669,59 juta kasus hingga 11 Januari 2023. Dari ratusan juta kasus infeksi, sekitar 6,71 juta jiwa penduduk dunia meninggal dunia. Jumlah kasus terbanyak masih berada di Amerika Serikat, sedangkan untuk penambahan kasus harian terbanyak berada di Korea Selatan dan China.
Pada tahun ini, bukan hanya virus korona saja yang mengkhawatirkan, tetapi ada pula penyakit cacar monyet, demam kuning, kolera, atau Ebola. Selain penyakit yang telah diketahui, ancaman global juga berasal dari risiko penyakit yang muncul karena perpindahan virus atau bakteri dari hewan ke manusia atau disebut zoonosis. Berdasarkan data WHO, saat ini telah teridentifikasi lebih dari 200 jenis zoonosis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahun 2023 ini menjadi tahun yang masih mengkhawatirkan dari sisi kesehatan.
Geopolitik
Tantangan selanjutnya pada tahun 2023 ini adalah gejolak geopolitik global akibat konflik Rusia dan Ukraina. Perang tersebut memupus asa pemulihan ekonomi sekaligus menajamkan blok keberpihakan sejumlah negara. Dampak ekonominya, perang mendorong inflasi dunia melonjak tinggi karena muncul banyak ketidakpastian situasi.
Akibatnya, bank sentral di sejumlah negara menaikkan suku bunga sebagai bentuk mitigasi menurunkan laju inflasi. Sayangnya, kenaikan suku bunga direspons dengan penambahan harga barang dan jasa sehingga menekan daya beli rumah tangga. Ketatnya porsi belanja dan keuangan domestik berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi regional hingga global. Selama perang belum usai, maka potensi perlambatan ekonomi akan terus terjadi.
Ironisnya, konflik Rusia dan Ukraina itu juga dibayangi oleh unjuk kekuatan geopolitik negara-negara lain. Mayoritas negara Eropa Barat dan Amerika Serikat serta Australia berada di pihak Ukraina. Sementara itu, Rusia didukung penuh sekutunya, yaitu Belarus, Myanmar, dan lainnya. China turut pula mengambil ”peran” karena hubungan diplomatiknya dengan Rusia.
Sebenarnya, saat ditarik ke dalam skala lebih luas, perang ini adalah gejolak geopolitik antara Rusia, Ukraina, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun, implikasi perang ini sangat besar, bahkan oleh EIU dikhawatirkan mampu menyebabkan perang dunia berikutnya. Dalam kondisi terburuknya, perang tersebut dikhawatirkan akan menjadi perang nuklir.
Oleh sebab itu, tantangan di tahun 2023 ini tidak lebih mudah dari tahun-tahun sebelumnya. Semua negara perlu menyusun langkah strategisnya untuk menjaga stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Dalam pusaran dinamika global tersebut, Indonesia turut memegang peran penting dalam upaya memperbaiki situasi global. Di antaranya melalui keanggotaan G20 dan PBB yang berpeluang menyuarakan posisi politik internasionalnya demi memulihkan situasi keamanan dunia.
Indonesia sangat berkepentingan untuk mendamaikan konflik Ukraina dan Rusia karena konflik tersebut turut memengaruhi gejolak ekonomi dalam negeri. Semakin cepat berdamai, maka situasi Indonesia dan juga global akan semakin relatif mudah dikendalikan.
Sambil menunggu situasi gejolak dunia mereda, ada baiknya setiap negara mempersiapkan sejumlah skenario untuk mengantisipasi berbagai ancaman yang akan dihadapi pada tahun ini. Para pemangku kebijakan perlu menyiapkan berbagai analisis yang relevan dan komprehensif demi menuntaskan masalah yang dihadapi dan juga berbagai persoalan yang kemungkinan akan hadir di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)