Tiktok Sebagai Alternatif Kanal Berita Digital 2023
Tiktok membuka peluang bagi para pembuat konten untuk meraih audiens yang memiliki minat pada konten tertentu. Algoritma Tiktok akan menyarankan suatu konten berdasar pola spesifik konsumsi audiens
Perusahaan pers terus berupaya menggaet generasi muda untuk meregenerasi konsumen yang menjadi audiens beritanya. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan mengadopsi Tiktok sebagai jala menjaring interaksi dengan audiens berusia muda. Tiktok menjadi salah satu alternatif pilihan karena platform ini semakin kokoh mendominasi pangsa pasar media sosial global.
Semenjak diluncurkan pada tahun 2016, jumlah pengguna Tiktok di seluruh dunia sudah melampaui angka 1 miliar akun pada tahun 2021. Dengan kata lain, sekitar 12,8 persen populasi dunia sudah memiliki akun Tiktok pada gawai mereka. Capaian aplikasi yang diluncurkan oleh perusahaan teknologi ByteDance asal China ini sangat memukau apabila dibandingkan dengan sejumlah medsos pendahulunya.
Menilik Facebook sebagai perbandingan, aplikasi besutan Mark Zuckerberg ini mencapai 1 miliar pengguna pada Oktober 2012 seperti yang diberitakan oleh The Washington Post. . Dihitung sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004, artinya Facebook memerlukan waktu sewindu untuk meraih prestasi yang dicapai oleh Tiktok yang hanya ditempuh dalam kurun 5 tahun.
Ada sejumlah faktor yang menjadi penentu keberhasilan Tiktok tersebut. Seperti masifnya pengguna gawai ponsel pintar dibandingkan ketika fase awal Facebook diperkenalkan di mana masih didominasi oleh perangkat komputer desktop. Selain itu, pangsa utama Tiktok lebih menyasar para generasi muda digital natives yang sangat mudah dan familiar dengan pembaharuan teknologi dan platform medsos terkini.
Fenomena tersebut mendorong pengguna aplikasi Tiktok berkembang secara masif di dunia, tanpa terkecuali di Indonesia. Pada kurun 2019-2022, tercatat kenaikan jumlah pengguna di Indonesia mencapai 38,1 persen. Data yang dipublikasikan oleh We Are Social dalam laporan Digital 2022: Indonesia ini menjadi bukti tingginya animo masyarakat negeri ini dalam menggunakan Tiktok. Perlu diperhatikan bahwa data ini hanya mencakup para pengguna Tiktok yang berusia lebih dari 18 tahun karena berkaitan dengan kebijakan keamanan dan privasi pengguna.
Baca juga: Medsos Bernuansa Tiktok, Wujud Dominasi dan Kebuntuan Inovasi
Data statistik dari Tiktok tersebut mengindikasikan bahwa kanal ini tampak menjanjikan untuk dijadikan alat alternatif demi meraih interaksi dan perhatian audiens di tengah persaingan antarplatform medsos. Berbagai industri maupun perseorangan berbondong-bongong membuat akun serta menyusun konten khas Tiktok. Termasuk di dalamnya yaitu industri pers dari berbagai negara yang melihat potensi menggaet audiens dari pengguna Tiktok.
Peluang dan strategi
Berebut perhatian audiens di ladang medsos sudah menjadi topik besar semenjak era digital bergulir. Namun, Tiktok dengan algoritma yang ada di dalamnya membuka peluang baru bagi para pembuat konten untuk meraih audiens yang memiliki minat spesifik terhadap konten informasi tertentu.
Algoritma Tiktok akan menyarankan suatu konten baru berdasar pola konsumsi audiens terhadap suatu konten tertentu. Parameter yang diambil yaitu dari durasi menyaksikan sebuah video pendek sepanjang 1 menit. Apabila pengguna menonton mencapai 60 persen dari total durasi video, maka di video berikutnya akan ditampilkan yang serupa dengan konten sebelumnya. Hal ini mendorong algoritma untuk menyodorkan konten sejenis secara terus menerus.
Selain itu, sajian video juga didasarkan pada interaksi audiens. Misalnya klik pada tombol suka (like), menuliskan komentar, membagikan konten, atau pun menyimpan video dalam koleksi yang dapat ditandai dengan ikon pita. Dengan seperangkat metadata tersebut, kemudian Tiktok akan menampilkan video di laman muka linimasa dalam tajuk “For Your Page” atau disingkat FYP.
Relatif mudahnya “menyesuaikan” minat audiens Tiktok tersebut berbanding terbalik dengan penyesuaian minat industri media massa. Selama ini perusahaan pers sebagai pihak pembuat konten masih terus meraba-raba untuk bisa menyasar audiens secara tepat. Industri media massa terus mencari formulasi yang tepat guna menyiapkan materi berita atau informasi yang sesuai dengan kebutuhan audiens.
Sebagai pembuat konten informatif dan edukatif, selama ini perusahaan pers dihadapkan pada sebuah dilema antara membuat konten yang disukai atau yang dianggap perlu dan dibutuhkan. Oleh sebab itu, kehadiran Tiktok dapat menjadi sebuah alternatif pilihan yang relatif tepat guna “menghubungkan” dengan audiens berita digital yang sesuai. Dengan bantuan algoritma dari Tiktok, maka pembuat konten dapat meramu materi informasi yang berbobot dan kredibel serta menghibur sehingga disukai oleh audiens.
Reuters Institute dalam publikasinya yang berjudul How Publishers are Learning to Create and Distribute News on TikTok (2022) mengungkapkan kesimpulan bahwa ada dua strategi utama yang dilakukan oleh perusahaan berita dari 44 negara di dunia, termasuk dari Indonesia.
Strategi pertama, yaitu membentuk tim khusus dan mempekerjakan individu yang fasih bermain Tiktok untuk bisa menjaring audiens muda. Strategi yang kedua adalah dengan menampilkan awak ruang redaksi yang sudah ada seperti penulis, wartawan, fotografer, videografer, dan awak media di bagian lain. Harapannya penyajian dalam aspek gaya bahasa atau gaya bicara, serta sentuhan visual masih bisa mempertahankan yang khas dari identitas tiap perusahaan pers. Singkat kata, tidak harus mengubah wajah menjadi ala Tiktok.
Baca juga: Tiktok Makin Melaju sampai Bikin Gudang
Strategi tersebut relatif berhasil diterapkan oleh sejumlah lembaga berita, salah satunya oleh The Washington Post. Mereka membentuk tim khusus konten Tiktok dengan acuan koridor kriteria format konten yang khas. Timnya terdiri dari pengguna Tiktok atau “Tiktokers” yang sudah menjadi pemengaruh (influencer). Tim tersebut dikepalai oleh Dave Jorgenson seorang awak media dari The Washington Post. Ia dan timnya berhasil mengemas ulang konten dari legacy media berusia 144 tahun ini menjadi kekinian.
Jorgenson menyatakan bahwa unsur hiburan dan komedi sudah menjadi ciri khas Tiktok. Maka ia dan timnya memberdayakan kekhasan iklim platform medsos tersebut dengan mengemas ulang informasi yang terbilang berbobot dengan penyajian yang ringan. Perpaduan antara muatan informasi berbalut komedi yang menghibur ini diberi sebutan “newsier” atau berita yang mudah dicerna dan dipahami.
Selanjutnya, upaya menjaring audiens melalui kanal Tiktok tersebut juga dilakukan oleh The Economist. Hanya saja, dengan pendekatan yang berbeda dari The Washington Post. Dengan mengusung format “tanpa wajah”, konten Tiktok dari The Economist lebih mengedepankan aspek cerita atau informasi dengan memanfaatkan slideshow gambar atau foto yang terkait dengan cerita. Mazhab yang diusung oleh The Economist yaitu kualitas di atas kuantitas, hal ini didasarkan pada ideologi dari perusahaan media tersebut. Alasan ini diungkapkan demi mempertahankan identitas perusahaan di berbagai platform supaya senada.
Berkaca pada hal tersebut, pemberdayaan kanal Tiktok tentu saja disesuaikan dengan tujuan dari masing-masing perusahaan. Ada yang berorientasi untuk menjaring sebanyak-banyaknya interaksi dan audiens muda. Ada pula yang lebih pada menyalurkan konten berita dengan format senada di berbagai platform medsos termasuk melalui kanal Tiktok.
Risiko dan kekurangan
Besarnya peluang Tiktok dalam menjaring audiens berita digital itu ternyata tetap saja tak luput dari sejumlah risiko dan kekurangan. Pada laporan dari Reuters Institute, salah satu yang menjadi kekhawatiran yaitu tentang kebijakan sensor dari ByteDance. Opini yang disampaikan oleh beberapa pejabat perusahaan pers berkaitan dengan ketidakjelasan kaidah konten yang layak dan boleh disirkulasikan melalui Tiktok.
Saat ini, India dan HongKong masih memberlakukan blokir terhadap Tiktok. Beberapa alasannya karena terkait risiko penyebaran konten negatif seperti tindak kekerasan, pornografi, hingga informasi yang menyesatkan dan berita bohong. Terkait hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika(Kominfo) pernah memblokir Tiktok dengan alasan senada. Pemblokiran dilakukan pada 3 Juli 2018. Hanya saja, pencekalan terhadap Tiktok di Indonesia ini hanya berlangsung dalam sepekan.
Kekurangan berikutnya terkait dengan aspek monetisasi. Disebutkan bahwa penghasilan pembuat konten dari pihak perusahaan ByteDance terbilang lebih kecil dibanding dari YouTube. Perhitungan ini hanya dibatasi oleh pendapatan dari perusahaan induk platform medsos. Tidak menyertakan hitungan pendapatan dari hasil promosi barang atau jasa yang terdampak dari konten yang populer di Tiktok. Artinya, usaha membuat konten dan pendapatan yang dihasilkan terbilang tidak berimbang.
Meskipun demikian, Tiktok tetap saja menjadi kanal yang berpotensi besar menjaring pangsa pasar untuk berbagai keperluan. Tanpa kecuali untuk meningkatkan engagement audiens konten berita digital.
Baca juga: Tiktok Lampaui Google, Dinamika Tren Konten Digital 2022
Secara garis besar, kanal Tiktok bisa menjadi alternatif distribusi konten berita khususnya di tahun 2023 di Indonesia. Terlebih lagi potensi audiens di Indonesia pada kanal Tiktok sangat besar. Hal ini disikapi secara positif oleh beberapa perusahaan pers dalam negeri. Menurut laporan dari Reuters Institute, perusahaan pers di Indonesia sudah 90 persen yang secara rutin mengunggah konten berita melalui kanal medsos Tiktok. Posisi Indonesia berada di peringkat pertama dan disusul oleh Australia (89 persen), Perancis (86 persen), Spanyol (86 persen, Inggris (81 persen), dan Amerika Serikat (77 persen).
Pekembangan akun Tiktok perusahaan pers nasional pun tampak berkembang dinamis. Hingga saat ini, akun Tiktok dari Metro TV News dengan 4,4 juta pengikut adalah yang paling tinggi di Indonesia. Disusul oleh Republika (4,1 juta), Liputan 6 SCTV (3,3 juta), serta Kompas.com (3,1 juta). Namun demikian, tingginya jumlah pengikut bukan jaminan bahwa capaian interaksi dan penonton video juga ikut tinggi.
Walau sudah dilengkapi dengan algoritma yang mampu menyodorkan konten sesuai minat audiens, tetap saja masih menyisakan ruang abu-abu yang harus terus dipelajari. Sekali lagi tidak ada rumus paten untuk bisa berhasil merebut perhatian audiens di dunia maya, khususnya dalam ranah medsos. Oleh sebab itu, perusahaan pers harus terus adaptif dan agile dalam menghadapi berbagai perubahan zaman, teknologi, dan budaya. (LITBANG KOMPAS)