Menuangkan target resolusi tahun baru bisa jadi alternatif memandu diri di tahun penuh peluang. Menuju tahun transisi dari krisis akibat pandemi, resolusi yang spesifik dan terukur mampu membantu menavigasikan tujuan.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas merekam gairah masyarakat membuat resolusi di awal tahun 2023. Animo tersebut terekam dari 46,7 persen responden yang akan membuat resolusi di tahun ini. Sepertiga dari proporsi tersebut disumbang oleh responden yang sudah terbiasa membuat target di awal tahun. Adapun bagi dua pertiganya, tahun 2023 akan menjadi pengalaman pertama mereka membuat resolusi.
Tak hanya itu, semangat menyongsong tahun 2023 juga ditunjukkan 14,8 persen responden yang mempertimbangkan untuk membuat resolusi sebagai panduan mencapai target. Temuan ini menyumbang nuansa optimistis dalam menyongsong tahun 2023 pascamasa krisis akibat pandemi Covid-19.
Antusiasme enam dari 10 publik untuk merencanakan masa depan pun merata pada laki-laki ataupun perempuan. Membuat resolusi juga menjadi minat responden dari berbagai latar belakang pendidikan, baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan.
Perbedaan minat justru tampak pada latar belakang usia. Responden berusia 17 hingga 23 tahun terpantau sebagai kelompok yang baru menumbuhkan keinginan untuk membuat resolusi. Sebanyak 31,9 persen dari kelompok yang juga dikenal sebagai generasi Z ini menyebut baru akan membuat resolusi tahun ini. Adapun yang belum berencana, 25,8 persen, menunjukkan keinginan kuat untuk mencoba.
Kelompok usia 24 hingga 39 tahun cenderung sudah terbiasa dengan daftar target awal tahun. Seperempat responden dari kelompok generasi Y ini sudah terbiasa membuat resolusi dan merupakan proporsi terbanyak ketimbang kelompok usia lainnya. Adapun seperempat lainnya baru akan merancang resolusi pada tahun ini dan 17,3 persen menunjukkan ketertarikan untuk menjajal membuat.
Sementara itu, generasi X yang diwakili oleh responden berusia 40 hingga 55 tahun mulai menunjukkan keengganan membuat resolusi. Sebanyak 45,2 persen menyatakan tidak membuat resolusi dan tidak tertarik untuk membuatnya. Keengganan makin kuat tecermin pada generasi yang lebih senior. Sebanyak 65,9 persen kelompok responden berusia 56 tahun ke atas menjawab hal serupa.
Melihat perbedaan preferensi ini, gairah publik muda untuk menuliskan target yang akan dicapai pada tahun 2023 menjadi penyeimbang di tengah kondisi ekonomi dan sosial yang masih tak terprediksi. Animo ini juga dapat dimaknai bahwa generasi muda siap menghadapi tahun 2023 yang penuh peluang.
Tren
Secara sederhana, resolusi disusun secara personal untuk mendata target-target yang akan dicapai sepanjang tahun. Bentuknya dapat berupa daftar sederhana hingga spesifik meliputi tenggat, langkah-langkah yang diperlukan, ataupun hambatan yang mungkin muncul. Resolusi menjadi janji untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Definisi tersebut tak lepas dari sejarah peradaban manusia dalam merayakan pembaruan hidup. Merujuk The Economist, bangsa Babilonia disebut sebagai peradaban pertama yang meninggalkan catatan tentang perayaan Tahun Baru sekitar 4.000 tahun yang lalu. Dalam menyambut tahun baru, dikenal perayaan Akitu yang menandai dimulainya tahun agraris. Selama Akitu, orang Babilonia akan berjanji pada dewa-dewa (misalnya untuk membayar utang atau mengembalikan barang-barang pinjaman) dan atas hal itu mereka akan meminta balasan keberuntungan dan kesuksesan.
Sementara itu, Merriam-Webster Dictionary menyebut entri pertama resolusi berasal dari catatan penulis dan anggota bangsawan Skotlandia, Anne Halkett, tertanggal 2 Januari 1671. Praktik membuat resolusi semakin umum pada awal abad ke-19. Kala itu, kebiasaan membuat target pada awal tahun juga mendapat sindiran karena janji-janji yang dibuat terlalu muluk-muluk da akhirnya gagal dipenuhi.
Di Indonesia, tren soal resolusi awal tahun sempat memuncak pada 2017. Merujuk Google Trends yang diakses pada Jumat (30/12/2022), kombinasi kata ”new year resolution” menjadi kata kunci yang lebih banyak dicari dibandingkan kata kunci lain, seperti ”resolusi awal tahun” atau ”new year’s resolution”. Pencarian kata tersebut paling tinggi pada bulan Desember hingga awal Januari. Kata kunci ini paling sering dicari oleh pengguna dari Bali, Jakarta, dan Banten.
Dalam lima tahun terakhir, pencarian kata kunci ini mencapai puncak popularitas pada 31 Desember 2017 hingga 6 Januari 2018. Pada akhir tahun 2018, menjelang awal tahun 2019, popularitasnya menurun dengan nilai 90. Trennya terus menurun hingga kini. Terakhir, pada 25-30 Desember 2022, popularitasnya di angka 20.
Meski tetap ada animo publik membuat resolusi, jumlahnya cenderung stagnan. Merujuk hasil jajak pendapat pada akhir 2019, tercatat 31,6 persen membuat rencana menjelang awal tahun. Adapun 14,1 persen membuatnya meski tidak setiap tahun. Kala itu, umumnya resolusi dibuat untuk mencapai target karier dan keuangan.
Keberhasilan
Pada tahun 2023, separuh lebih responden menghendaki kesuksesan ekonomi. Sebanyak 23,5 persen berkeinginan untuk membuat usaha atau pekerjaannya semakin maju. Sementara itu, 11,5 persen ingin memiliki rumah dan 1,1 persen ingin kendaraan baru. Sisanya berharap kondisi ekonomi rumah tangganya stabil, membuka usaha, dan segelintir lainnya ingin melunasi utang.
Separuh lainnya punya target nonmaterial. Misalnya saja, 11,6 persen ingin hidup lebih bahagia, 5 persen ingin nikmat kesehatan, dan 2,5 persen ingin memiliki pasangan atau menikah. Adapun 9 persen responden lainnya menginginkan target di bidang pendidikan.
Ujian sebenarnya pun hadir setelah target sudah dipasang. Di tengah semangat ini, keengganan publik mungkin dilandasi rasa pesimisme bahwa resolusi hanya akan tertuang di atas kertas. Kendala-kendala yang mungkin muncul untuk mencapai resolusi perlu diantisipasi.
Berkaca dari jajak pendapat sebelumnya, publik gagal menggapai resolusi, utamanya disebabkan faktor internal. Terekam 60,5 persen responden menyatakan alasan yang bersifat internal, seperti rasa malas, putus asa, target terlalu berat, hingga tidak tahu cara mencapai target tersebut. Sementara itu, 31,3 persen menyatakan lingkungan pergaulan sebagai tantangan terberat.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan dinamika kegagalan resolusi yang disebut-sebut dalam sejarah. Target tak terukur hingga tujuan yang tidak spesifik membuat kebiasaan menyusun resolusi hanya jadi bahan tertawaan. Lebih lagi, resolusi berpotensi besar gagal jika tidak dijalankan dengan langkah yang menyenangkan.
Di tengah animo ataupun keraguan membuat resolusi di awal tahun, menuangkan gagasan, ide, dan cita-cita bukanlah hal yang buruk untuk dicoba. Menuliskan daftar keinginan nyatanya membuat langkah lebih terarah. Peluang-peluang yang sempat hilang ditelan krisis pandemi Covid-19 perlu diraih dengan taktis. (LITBANG KOMPAS)