Menatap Tantangan Krisis 2023 dari Warisan Piala Dunia
Rumus keajaiban itu sederhana; peluang yang amat sedikit ditambah dengan realitas yang sesuai harapan. Tantangan 2023 mendorong manusia untuk adaptif melewati berbagai kesulitan kehidupan.

Kapten tim Argentina, Lionel Messi, mengangkat trofi juara Piala Dunia 2022dalam acara penyerahan trofi setelah Argentina mengalahkan Perancis dalam pertandingan final di Stadion Lusail, Qatar, Minggu (18/12/2022).
Perkiraan ancaman krisis global di tahun depan mendorong tiap manusia untuk adaptif agar mampu melewati tantangan ke depan dengan baik. Melihat kembali momen Piala Dunia, segala sesuatu sangat mungkin terjadi tanpa pernah diduga sebelumnya. Itulah keajaiban, yang dapat hadir dan melengkapi usaha manusia dalam melewati masa-masa sulit sekalipun.
Alih-alih menyebut pertandingan di Piala Dunia 2022 kemarin penuh dengan ”kejutan”, rasanya lebih tepat jika disebut sebagai ”keajaiban”. Hal ini berlaku bagi tim nasional Arab Saudi yang mampu membekuk Argentina di pertandingan perdana fase grup. Betapapun inilah keajaiban bagi Arab Saudi yang langsung merayakannya dengan menghadiahi para pemain masing-masing sebuah mobil mewah sekaligus mengenang tanggal 22 November sebagai hari libur nasional.
Keajaiban juga berpihak pada dua perwakilan Asia, Jepang dan Korea Selatan, yang menumbangkan raksasa sepak bola Eropa. Seperti cerita dalam film animasi Captain Tsubasa, secara heroik Jepang mampu membalikkan ketertinggalan dari Jerman dan Spanyol hingga menit-menit akhir menjelang pertandingan usai. Begitu juga ”Taeguk Warriors”(”Macan Asia”) yang mampu menundukkan Portugal dan memastikan diri lolos ke babak 16 besar.
Namun, dewi fortuna tidak lagi memihak tim-tim tersebut di babak-babak berikutnya. Meskipun demikian, bagi suporter netral Piala Dunia, laga tersebut sungguh menarik. Bagaikan kisah Daud melawan Goliat, secara tidak terduga kemenangan berpihak pada mereka yang ”kecil” dan diremehkan.
Begitulah penjelasan The David and Goliath Principle seperti dalam jurnal yang dituliskan para mahasiswa psikologi University of Southern Queensland. Kemenangan Daud seakan mewakilkan kaum yang tersingkir, marginal, minoritas, dan/atau tidak memiliki kuasa. Dalam konteks kemenangan Jepang dan Korea Selatan, secara implisit efek ini mengartikan rasa inferioritas yang masih sering dirasakan masyarakat timur ketika berhadapan dengan masyarakat barat.
Dewi fortuna tampaknya kemarin lebih terpikat berada di pelukan para pemain Argentina hingga meraih trofi juara. Entah secara kebetulan atau tidak, tendangan penalti banyak diberikan kepada Argentina ketika mendaki ke partai puncak. Di negara yang sepak bola dan religiusitas sudah bercampur satu, Lionel Messi sungguh menjadi ”Sang Mesias” yang membawa kembali gelar juara dunia ke pangkuan ”Negeri Tango”. Bagi Messi, keajaiban gelar Piala Dunia menjadi kepingan puzzle terakhir yang menyempurnakan perjalanan kariernya di dunia sepak bola.
Baca juga: Laga Final Paling Menarik dalam Sejarah Piala Dunia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F19%2F30d07614-7641-4260-9a8f-ca25553a91dd_jpg.jpg)
Pemain Argentina, Lionel Messi, berpelukan dengan Lautaro Martinez usai memenangi parta final Piala Dunia 2022 melawan Perancis di Stadion Lusail, Qatar, Senin (19/12/2022) dini hari WIB. Argentina menjuarai Piala Dunia 2022 setelah mengalahkan Perancis lewat adu tendangan penalti, 7-5 (3-3).
Selain Messi, sejumlah pesepak bola lain yang turun berlaga di Qatar juga berkesempatan mencicipi keajaiban bagi sejarah hidupnya dan kejaiban bagi negara yang ia bela. Di antaranyapenyerang Perancis, Olivier Giroud, yang menjadi pencetak gol terbanyak di timnas sepanjang masa dan Cristiano Ronaldo menjadi pemain pertama yang mencetak gol di lima Piala Dunia berbeda, yakni 2006, 2010, 2014, 2018, dan 2022.
Nicolaus Driyarkara, pastor dan filsuf, pernah menuliskan, ”Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh”. Dengan pemenggalan, kalimat itu dilanjutkan, ”Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan”. Begitulah kesan yang dapat dilihat dari para pemain yang berlaga di Piala Dunia ketika sudah bermain-main di pertandingan, kekalahan siap menghampiri dan membawa mereka pulang lebih cepat.
Jelang 2023
Pada 1881, filsuf eksistensial Friedrich Nietzsche sering menghabiskan musim panas sambil berjalan-jalan untuk memulihkan kesehatannya di tepi Danau Haute Engadine, Swiss. Di sanalah ia mendapati salah satu gagasan besarnya yang kemudian dikenal dengan sebutan the eternal recurrence of the same (kekembalian yang sama secara abadi).
Secara manasuka, gagasan ini ditafsirkan sebagai sejarah kehidupan manusia yang terus menerus berulang, tanpa akhir. Suatu kejadian yang terjadi di masa lalu, akan terjadi lagi di masa depan, dan begitu seterusnya. Hal yang membedakan ”siklus” itu ialah manusia yang menghadapinya.
Tafsiran bebas itu tentu agak melenceng dari naskah aslinya meskipun relevan dalam melihat tanda-tanda zaman. Gagasan ”kekembalian yang sama secara abadi” adalah sebuah refleksi atas kedalaman realitas, bukan sebuah dalih kosmologi atau saintifik yang berkaitan dengan ruang dan waktu. Intinya, Nietzsche mengajak manusia untuk mampu mengafirmasi hidup atau memiliki hasrat untuk menjalani hidup dalam kondisi sesulit apa pun.
Barangkali itulah sebabnya dalam konteks ancaman krisis ekonomi di 2023, masyarakat yang berada di kelompok usia tua tampak lebih yakin dalam menghadapinya. Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas 3-7 November 2022 terhadap 610 responden di 34 provinsi, 34,6 persen kelompok usia 56 tahun ke atas merasa sangat yakin dapat mengatasi ancaman kesulitan ekonomi tahun depan. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.
Bisa jadi, pengalaman krisis ekonomi di masa-masa sebelumnya (seperti masa 1998 dan 2008) yang berhasil mereka lampaui telah menjadi keyakinan untuk menghadapi bentuk krisis lainnya di tahun depan. Tidak sepercaya diri kelompok usia tua, kelompok usia lainnya cenderung lebih banyak memilih jawaban ”yakin”. Di samping itu, hanya segelintir responden saja (total kurang dari 20 persen) yang menjawab ”tidak yakin” dan ”sangat tidak yakin”.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang “Kompas”: Publik Membangun Optimisme pada Tahun 2023

Tantangan krisis di 2023 bukan hanya soal urusan kondisi kantong masing-masing. Persoalan lingkungan hidup, bencana alam, keamanan, apalagi stabilitas politik menjadi hal yang perlu diantisipasi mengingat musim kampanye akan berjalan mulai pertengahan tahun nanti.
Perlu diakui, negeri ini melangkah dengan agak berat untuk memasuki tahun berikutnya. Masih banyak utang permasalahan yang belum kunjung selesai di tahun ini dan masih perlu dipikul. Kasus Tragedi Kanjuruhan dan kasus Ferdy Sambo menjadi contoh utang yang perlu dilunaskan sebelum larut dalam keriuhan di tahun politik.
Menatap kasus-kasus yang belum tuntas hingga saat ini memanglah pelik. Sebab, di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik tidak berkenaan pada kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan serta memperbesar kekuasaan. Itulah yang dijelaskan filsuf politik Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik (Kebenaran dan Kebohongan dalam Politik, 1971).
Lanjutnya, politik bergerak sedemikian rupa sehingga menyingkirkan kebenaran. Politik menjelma jadi upaya mempertahankan kekuasaan dan cenderung menjadi permainan. Entah mau setuju atau tidak dengan pandangan Arendt, kenyataan banalitas politik seringkali masyarakat lihat tepat di hadapan wajah mereka.
Sedemikian sinisnya Arendt memandang politik dan kebenaran, tetapi konsepnya soal natalitas perlu diperhatikan pula. Masih berkaitan dengan filsafat politiknya, ia melihat bahwa manusia tidak mungkin mengadakan tindakan politiknya jika ia tidak berkreasi secara baru, lahir dengan ide-ide baru. Maka sebagai sebuah optimisme, kita tentu dapat berharap bahwa kontestasi politik ke depan akan melahirkan kreasi dan ide-ide baru yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Keberanian hidup
Sepak bola bukan sekadar permainan atau olahraga yang menyehatkan, banyak kutipan tokoh tersebar di buku-buku dan di internet yang menyatakan sepak bola adalah kultur, magis, cinta, hingga soal harga diri bangsa. Begitu juga masyarakat Argentina yang memadukan unsur magis saat menghasrati gelar juara Piala Dunia. Tidak terkecuali Messi, yang belakangan disorot media massa karena selalu menggunakan semacam pita atau tali merah di pergelangan kaki kirinya demi keberuntungan.
Nyatanya jejak ini juga ditemukan dalam novelis terkenal Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez (1927-2014), yang kental meramu realisme magis dalam karyanya. Realisme magis karyanya adalah ekspresi tentang dunia baru yang memadukan rasionalitas kemodernan Barat dengan unsur irasional kehidupan Amerika Latin primitif.
Dengan konteks karya Marquez inilah kepercayaan magis sepak bola di Argentina dapat dimengerti. Kemenangan di Piala Dunia tidak serta-merta menyingkirkan fakta atau mengubah derita masyarakat Argentina yang saat ini sedang dilanda krisis ekonomi dengan proyeksi inflasi tahunan hingga menyentuh 100 persen. Namun, setidaknya, kebahagiaan menjuarai Piala Dunia memberikan mereka ilusi untuk dapat bertahan di situasi sulit hingga keyakinan untuk dapat melampauinya.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang "Kompas": Generasi Muda Yakin Kondisi 2023 Akan Lebih Baik

Pemain Argentina meninggalkan Bandara Internasional Ezeiza dalam perjalanan menuju pusat pelatihan Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA) di Ezeiza, Provinsi Buenos Aires, Argentina, pada 20 Desember 2022. Mereka melakukan selebrasi di atas bus bersama suporter setelah memenangkan turnamen Piala Dunia Qatar 2022.
Soal sepak bola, wartawan senior Sindhunata juga pernah menuliskan bahwa penyair Jerman, Michael Lentz, melukiskan alam ini bagai dunia olahraga. Sekali kamu lengah dan berpaling ke belakang, bola pun akan segera tercuri dari kakimu dan kamu akan kehilangan permainan. Kata Lentz, tidakkah itu semua yang terjadi dalam kehidupan? Dalam hidup ini, kita harus selalu memandang dan melangkah ke depan. Sekali saja kita kendur dan menoleh ke belakang, kita akan ketinggalan.
Begitulah hakikat hidup yang tidak dapat diduga, ditambah ada campur tangan Yang Kuasa seringkali memberikan sentuhan keajaiban (deus ex machina). Ada aksioma tertuliskan, rumus keajaiban itu sederhana; peluang yang amat sedikit ditambah dengan realita yang sesuai harapan. Kejadian-kejadian di Piala Dunia telah memperlihatkan contoh keajaiban itu terjadi.
Rasanya terlalu naif jika hanya bersandar pada harapan datangnya keajaiban untuk menghadapi berbagai tantangan krisis tahun mendatang. Selain mengatur kembali hal-hal teknis seperti anggaran pribadi, kita perlu keberanian untuk menjelang peristiwa apa pun yang dapat terjadi selama setahun ke depan. Sebab, seperti pepatah Latin, fortis fortuna adiuvat, yang artinya, keberuntungan berpihak kepada yang berani. Selamat menutup 2022 dan menghadapi 2023! (LITBANG KOMPAS)