Analisis Litbang ”Kompas”: Mendorong Produk Ekspor yang Semakin Kompleks
Dalam 25 tahun terakhir, ekspor Indonesia masih bertumpu pada produk-produk ekstraktif dan pertanian. Sementara kompleksitas produk yang diproduksi Indonesia masih jalan di tempat. Bagaimana solusinya?

Tingkat kompleksitas produk ekspor Indonesia masih rendah. Hal ini membuat Indonesia tidak optimal mendapatkan peluang nilai tambah dari produk-produk ekspor karena masih bertumpu pada produk olahan sederhana dari sektor ekstraktif dan agrikultur.
Dalam dua puluh lima tahun terakhir, ekspor yang dihasilkan Indonesia masih bertumpu pada produk-produk ekstraktif dan pertanian. Ekspor jasa maupun produk barang bervaluasi tinggi seperti elektronik, mesin, ataupun tekstil cenderung stagnan.
Merujuk pada Indeks Kompleksitas Ekonomi besutan Growth Lab, pada 2020 Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 133 negara yang diteliti.
Dalam dua puluh lima tahun terakhir, ekspor yang dihasilkan Indonesia masih bertumpu pada produk-produk ekstraktif dan pertanian
Indeks Kompleksitas Ekonomi (IKE) merupakan pengukuran yang berdasarkan atas keragaman dan kompleksitas produk ekspor sebuah negara. Negara dengan nilai indeks tinggi berarti memiliki kemampuan khusus yang canggih sehingga mampu menghasilkan produk yang rumit dan beragam.
Kemampuan sebuah negara memproduksi barang yang kompleks ini turut mengisyaratkan bahwa negara tersebut memiliki sumber daya pengetahuan dan kapabilitas yang mutakhir. Hal inilah yang menjadikan pertumbuhan ekonominya lebih cepat karena nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi.
Kompleksitas produk yang diproduksi Indonesia masih jalan di tempat. Pada tahun 1995, Indonesia berada di peringkat ke-77 dan sempat meroket ke posisi 59 di tahun 2000. Sayangnya, pada 2005 Indonesia turun ke posisi 62 dan terus menurun di posisi ke-67 di 2020.

Sebagai perbandingan, China sebagai pasar terbesar Indonesia, konsisten melesat dari peringkat ke-46 di tahun 1995 menjadi peringkat ke-17 pada 2020.
Demikian halnya dengan Singapura dan India yang juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, keduanya menunjukkan peningkatan. Singapura kini berada di peringkat ke-5 dan India berada di peringkat ke-46 atau naik 14 tangga dari tahun 1995.
Vietnam yang sejak 1995 hingga 2010 tidak pernah unggul dari Indonesia, pada 2020 telah berada di peringkat ke-52. Capaian ini tidak lepas dari membesarnya proporsi produk elektronik dan tekstil yang dihasilkan negeri ini.
Dalam acara puncak Indonesia Development Forum (IDF) 2022 bertajuk “The 2045 Development Agenda: New Industrialization Paradigm for Indonesia’s Economic Transformation”, Direktur Growth Lab Harvard Ricardo Hausmann menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari adopsi teknologi.
Kompleksitas produk yang diproduksi Indonesia masih jalan di tempat
Industri manufaktur, dalam hal ini, menawarkan keuntungan ganda karena punya kompleksitas dan konektivitas untuk menghasilkan produk yang mutakhir sehingga membuat kemajuan menjadi lebih mudah dicapai.
Dalam paparannya, Ia turut menyampaikan perumpamaan kompleksitas ekonomi dengan teori scrabble. Semakin banyak huruf yang dimiliki, maka semakin banyak pula kata yang dapat dibentuk. Begitu pula dalam hal kemampuan dan pengetahuan sebuah negara untuk menghasilkan produk yang kompleks.
Baca juga : Akselerasi Ekonomi di Tahun Ketiga Pandemi
Tantangan
Indonesia perlu melakukan transisi industri dengan memanfaatkan teknologi demi menghasilkan produk yang memiliki kerumitan sehingga memberi nilai tambah.
Growth Lab mencatat total ekspor Indonesia mencapai 177 miliar dollar AS dan berada di posisi ke-31 dari 133 negara. Sayangnya, keranjang ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk-produk yang belum memberikan nilai tambah yang besar.
Ekspor barang terbesar Indonesia adalah produk dengan kompleksitas rendah, yakni dari sektor mineral dan pertanian. Selaras dengan paparan Hausmann, Growth Lab menemukan bahwa negara-negara yang ekspornya lebih komplek, tumbuh lebih cepat.
Oleh karena itu, pertumbuhan dapat didorong oleh proses diversifikasi pengetahuan untuk menghasilkan rangkaian barang dan jasa yang lebih kompleks.

Serupa dengan IKE, Indeks Kompleksitas Produk (IKP) mengukur tingkat kecanggihan pengetahuan dalam pembuatan produk dan mengukur seberapa banyak negara lain bisa memproduksinya. Secara sederhana, semakin rumit dan semakin langka sebuah produk, nilai IKP-nya semakin tinggi.
Produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk ekstraktif. Minyak sawit, sebagai komoditas ekspor utama di Indonesia yang mengambil 14,15 persen porsi ekspor, masuk dalam kategori produk dengan kompleksitas sangat rendah.
Minyak sawit berada di peringkat ke-17 terendah atau di posisi ke-1.207 dari 1.223 produk yang diteliti. Produk minyak sawit yang dimaksud juga termasuk fraksinya, baik yang dimurnikan maupun tidak, namun tidak dimodifikasi secara kimia.
Selain itu, Indonesia juga mengekspor batu bara yang mengambil porsi 12,04 persen. Batu bara berada pada peringkat ke-1.162 dengan skor -1,72. Produk batu bara yang dimaksud juga meliputi briket, ovoid, dan bahan bakar padat sejenis yang diproduksi dari batubara.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F20%2F20fd0517-8edc-4b48-ab3e-d085659d951f_jpg.jpg)
Aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (20/12/2022). Berdasarkan data BPS, volume dan nilai ekspor batubara masing-masing sebesar 29,69 juta ton dan 4,16 miliar dollar AS.
Produk yang mengambil porsi ekspor ketiga adalah emas dengan porsi 3,65 persen dari toatal ekspor. Emas pada kategori ini termasuk emas berlapis platina, tidak ditempa atau dalam bentuk setengah jadi, dan dalam bentuk bubuk. Produk ini hanya memiliki nilai IKP -2,42.
Salah satu produk yang cukup kompleks diekspor oleh Indonesia adalah asam stearat dengan nilai indeks -0,72. Asam stearat adalah salah satu asam lemak jenuh yang berfungsi sebagai komponen pendukung pada makanan, kosmetik, maupun produk industri.
Meski demikian, produk ini pun belum masuk jajaran kelompok barang dengan tingkat kompleksitas tinggi. Sebagai pembanding, produk dengan kompleksitas tertinggi adalah perlengkapan untuk laboratorium fotografi dan sinematografi dengan skor indeks 2,39. Bank Dunia mencatat valuasi ekspor terbesar produk ini dipegang oleh China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Baca juga : Pertumbuhan Ekspor Kian Menyusut
Manufaktur
Melangkah dari data tersebut, tak terelakkan bahwa teknologi perlu dikawinkan dalam industri manufaktur demi menghasilkan produk turunan yang beragam.
Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas 2016-2019 Bambang Brodjonegoro menyebut manufaktur sebagai salah satu dari empat sumber pertumbuhan Indonesia untuk masa depan, bersamaan dengan jasa, ekonomi digital, dan ekonomi hijau.
Ia turut menyampaikan tantangan industri manufaktur Indonesia yang belum beranjak untuk memperkaya jenis produk. “Kita stuck di garmen. Sementara itu, negara lain melaju terus dengan industri elektronik. Kunci keberhasilan industrialisasi suatu negara adalah kalau negara berhasil membangun industri yang kompleks,” ujarnya dalam acara puncak IDF 2022 pada Senin (21/11).
Badan Pusat Statistik mencatat pada triwulan III 2022, proporsi industri tekstil dan pakaian jadi menyumbng 0,99 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Proporsi ini menjadikan industri garmen berada di posisi ke-5 terbesar setelah industri makanan dan minuman; kimia, farmasi, dan obat tradisional; barang logam;serta alat angkutan. Proporsi ini setidaknya belum berubah dalam lima tahun terakhir.
Indonesia memiliki potensi besar lewat penguasaan bahan mentah yang masih berlimpah. Diversifikasi produk tidak boleh lagi ditunda dengan upaya kuat untuk mengadopsi teknologi dan menguatkan pengetahuan sumber daya manusia yang maju. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Meredam Gejolak Harga akibat Perang Ukraina Rusia