Akselerasi Ekonomi di Tahun Ketiga Pandemi
Ekonomi Indonesia kembali pulih setelah mengalami pasang surut akibat pandemi Covid-19. Ekspor dan investasi mengalami peningkatan yang mengesankan di tahun ini.
Upaya bangkit dari pandemi telah Indonesia wujudkan di tahun ini. Sejumlah indikator mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan. Kendati demikian, kewaspadaan tetap perlu ditingkatkan di tengah ancaman gejolak ekonomi global agar akselerasi pertumbuhan dapat terus berkesinambungan.
Setelah mengalami pasang surut akibat wabah Covid-19, ekonomi Indonesia kembali pulih di tahun ini. Setiap triwulan, laju pertumbuhan ekonomi nasional selalu berada di atas 5 persen. Terbaru, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2022 mencapai 5,72 persen secara tahunan (YoY).
Sebelumnya, sejak pandemi melanda, ekonomi nasional cukup terkendala untuk dapat tumbuh pada besaran yang relatif tinggi. Bahkan, sepanjang triwulan II-2020 hingga triwulan I-2021 pertumbuhan ekonomi nasional justru mengalami kontraksi yang berujung pada resesi.
Pemulihan ekonomi baru mulai terlihat sejak triwulan II-2021. Kala itu, laju pertumbuhan YoY mencapai 7,07 persen atau tertinggi sepanjang pandemi. Hanya saja, pertumbuhan ekspansif tersebut dapat dikatakan relatif semu. Pasalnya, dasar perhitungan pertumbuhan mengacu pada kinerja ekonomi triwulan II-2021 yang terkontraksi sangat dalam, yakni -5,32 persen (low base effect).
Kondisi tersebut berbeda dengan situasi sekarang dengan data perbaikan ekonomi yang relatif tidak bias. Pertumbuhan ekonomi YoY saat ini berdasarkan perhitungan saat kondisi ekonomi 2021 kian membaik. Laju ekonomi yang ekspansif ini, setidaknya hingga triwulan III-2022, tak lepas dari kontribusi sejumlah sektor ekonomi yang terus mengalami peningkatan nilai produksi barang dan jasa.
Baca Juga: Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Publik Membangun Optimisme pada Tahun 2023
Secara sektoral, perbaikan ekonomi terjadi pada semua kelompok usaha, baik agrikultur, industri, maupun jasa. Hanya sektor jasa pendidikan dan administrasi pemerintahan yang sempat mengalami kontraksi di tahun ini, tepatnya pada triwulan I dan II. Namun, kembali tumbuh positif pada triwulan berikutnya.
Sektor kesehatan yang sempat mencatatkan pertumbuhan tertinggi saat pandemi kini justru bernotasi sebaliknya, yakni minus pada triwulan III tahun ini. Seiring meredanya wabah, kebutuhan terhadap sektor kesehatan tidak semasif ketika ancaman penularan virus masih sangat tinggi. Tes antigen dan PCR tak lagi menjadi kewajiban bagi para pelaku perjalanan setelah menerima vaksin penguat.
Dari sisi pengeluaran, hanya komponen konsumsi pemerintah yang mengalami pertumbuhan negatif. Polanya hampir sama seperti sektor kesehatan. Seiring pandemi yang mereda, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi salah satu pos belanja pemerintah tidak lagi setinggi tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 455,62 triliun untuk PEN. Nilainya lebih kecil dari realisasi PEN tahun lalu yang berkisar Rp 658 triliun dari alokasi anggaran sebesar Rp 744,77 triliun.
Sementara itu, komponen pengeluaran lainnya konsisten tumbuh positif, setidaknya hingga triwulan III tahun ini. Motor penggerak utama pertumbuhan dari sisi pengeluaran adalah komponen ekspor barang dan jasa. Badan Pusat Statistik mencatat, laju pertumbuhan ekspor pada triwulan III mencapai 21,64 persen secara tahunan. Besaran ini sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor YoY triwulan II yang naik sebesar 20,02 persen.
Sepanjang Januari-Oktober 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai 244,1 miliar dollar AS. Dengan besaran impor 198,6 miliar dollar AS, maka Indonesia mencatat neraca perdagangan surplus sebesar 45,4 miliar dollar AS. Capaian tersebut melanjutkan tren surplus neraca perdagangan Indonesia yang terjadi setidaknya dua tahun terakhir. Nilainya pun 47 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kondisi perdagangan internasional Indonesia relatif semakin membaik.
Baca Juga: Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Generasi Muda Yakin Kondisi 2023 Akan Lebih Baik
Nonmigas mendominasi kinerja ekspor 2022 dengan hampir seperlimanya berasal dari komoditas pertambangan mineral. Komoditas utama lainnya adalah lemak dan minyak hewani/nabati (12,87 persen), besi dan baja (10,04 persen), serta mesin atau peralatan listrik (5,24 persen).
Fenomena kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pendorong peningkatan ekspor Indonesia. Pada awal tahun, Indonesia merasakan windfall effect dari naiknya harga komoditas global akibat konflik senjata antara Rusia dan Ukraina. Adapun komoditas yang harganya meningkat cukup signifikan adalah batubara, minyak sawit, dan nikel yang merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia.
Selain kenaikan harga sejumlah komoditas itu, membaiknya kinerja ekspor nasional juga didorong oleh meningkatnya permintaan negara mitra dagang seiring dengan membaiknya perekonomian global. Hingga Oktober 2022, volume ekspor Indonesia mencapai 535.400 ton atau lebih tinggi 2,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Jika besaran volume ekspor November dan Desember tidak jauh berbeda dari permintaan empat bulan terakhir, volume ekspor sepanjang tahun 2022 akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Apabila pengiriman ekspor konsisten 58.000-60.000 ton sebulan, total ekspor hingga akhir tahun ini mencapai lebih dari 630.000 ton. Volume ini lebih tinggi dari capaian tahun lalu. Meningkatnya permintaan produk dari Indonesia ini mengindikasikan pemulihan kondisi internasional yang semakin membaik.
Meningkatnya ekspor Indonesia tersebut salah satunya didorong oleh membaiknya sektor manufaktur dalam negeri sehingga mampu meningkatkan hasil produksi olahannya. Perbaikan tersebut tampak dari nilai kinerja industri (promp manufacturing index) yang konsisten ekspansif (di atas angka 50). Bahkan, pada September PMI Indonesia terpantau mencapai angka 53,7, tertinggi sepanjang tahun 2022.
Hingga saat ini, mayoritas ekspor Indonesia terserap di sejumlah negara tujuan utama, di antaranya China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Malaysia. Lebih dari separuh dari total ekspor Indonesia dikirim ke lima negara tersebut.
Investasi
Untuk mempercepat pemulihan ekonomi, diperlukan dukungan permodalan yang kuat. Sepanjang Januari-September, realisasi investasi Indonesia mencapai Rp 892,4 triliun, 35 persen lebih unggul dari capaian periode yang sama tahun lalu.
Porsi antara penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) cukup berimbang. Namun, PMA sedikit lebih besar dengan kontribusi sebesar 53,7 persen. Laju pertumbuhan PMA juga lebih besar, yakni mencapai 44,5 persen, sedangkan PMDN hanya tumbuh 26,1 persen.
Dengan kata lain, kepercayaan investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia kembali menguat. Salah satu indikatornya karena Indonesia dinilai cukup berhasil menangani pandemi, termasuk dalam menjaga stabilitas pertumbuhan ekonominya. Singapura, China, Hong Kong, Jepang, dan Malaysia menjadi negara penyuntik dana terbesar hingga September tahun ini.
Baca Juga: Perkuat Strategi Atasi Ancaman Peningkatan Pengangguran
Transportasi dan pergudangan masuk dalam kategori lima besar sektor dengan nilai investasi tertinggi. Pada PMDN porsinya mencapai 14,5 persen, sedangkan PMA sebesar 7,8 persen. Oleh sebab itu, tak heran jika sektor tersebut mengalami laju pertumbuhan yang spektakuler di tahun ini. Pada triwulan II dan III-2022, pertumbuhannya mencapai lebih dari 20 persen dan menjadi yang tertinggi di antara sektor lainnya.
Selanjutnya, sektor yang juga diminati investor berikutnya adalah industri logam, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, sektor perumahan; pertambangan; hingga listrik, gas, dan air. Sektor-sektor ini mendapat kucuran modal yang juga besar baik PMA ataupun PMDN.
Dari total investasi yang masuk tersebut, setidaknya terdapat lebih dari 130.000 proyek, di semua sektor dan seluruh provinsi di Indonesia. Pengerjaan proyek itu mampu menyerap sekitar 325.000 tenaga kerja atau sekitar 12 persen lebih besar dari serapan tenaga kerja tahun lalu.
Dengan serapan tenaga kerja tersebut, jumlah penduduk bekerja di tahun ini pun meningkat. BPS mencatat, penduduk bekerja pada Agustus 2022 mencapai 135,30 juta orang. Dibandingkan tahun lalu, terjadi peningkatan tenaga kerja sebesar 3,24 persen. Bahkan, melampaui capaian tahun 2019 ketika pandemi belum melanda. Saat itu, jumlah penduduk bekerja Indonesia baru sebesar 128,76 juta orang.
Walaupun masih tergolong cukup tinggi, tingkat pengangguran secara nasional pun perlahan turun. Kini, masih ada 8,42 juta orang yang menganggur atau sekitar 5,86 persen dari total penduduk usia kerja. Relatif lebih rendah dari kondisi tahun 2020 dan 2021 saat masih terdapat lebih dari 9 juta pengangguran dengan persentase lebih dari 6,5 persen.
Hanya saja, membaiknya sejumlah indikator makroekonomi tersebut kemungkinan akan kembali sedikit mengalami perlambatan pada akhir tahun ini. Salah satu penyebabnya adalah gejolak ekonomi global yang masih belum mereda sehingga menimbulkan disparitas harga antarnegara yang memicu kenaikan harga untuk stabilisasi suplai dan permintaan.
Namun, pemerintah optimistis bahwa kinerja ekonomi sepanjang tahun 2022 tidak akan jatuh terlalu dalam. Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2022 masih berada di kisaran 5,0-5,3 persen.
Prediksi perlambatan ekonomi akibat gejolak global itu perlu disikapi dengan waspada, tetapi juga tetap berupaya seoptimal mungkin agar kinerja perekonomian tetap terjaga tinggi hingga triwulan terakhir. Perluasan kerja sama antarnegara juga perlu dilakukan mengingat sejumlah negara mitra dagang tengah berada di ambang resesi, seperti AS dan negara Barat lainnya. Komitmen investor, baik dari dalam maupun dari luar, juga perlu dijaga di tengah kebijakan pengetatan suku bunga agar ekonomi tetap tumbuh sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang berlimpah di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)