Pandemic Fund dan Masa Depan Penanganan Pandemi Dunia
Dana pandemi menopang kesiapsiagaan sistem kesehatan global. Program ini bekerja sama dengan instrumen lainnya guna meningkatkan kapasitas negara dan komunitas menghadapi berbagai ancaman penyakit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F13%2F73a38386-f34d-49f1-b09f-ddbfaef76255_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan program Pandemic Fund yang diusung dalam presidensi G-20 Indonesia di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11/2022). Dalam sambutan yang disampaikan secara daring, Jokowi mengatakan, dunia harus punya kepastian pembiayaan untuk menghadapi pandemi di masa depan.
Merebaknya pandemi Covid-19 di berbagai belahan dunia telah berimbas besar pada kondisi global. Berbagai sistem sosial, ekonomi, dan budaya terdampak secara masif hingga ke level individu. Berbagai langkah penanganan diberlakukan di seluruh negara agar dampak wabah dapat segera teratasi.
Dari sisi jumlah korban, jutaan kasus Covid-19 telah dilaporkan sedikitnya di 230 negara. Hingga minggu kedua Desember 2022, total kasus setidaknya telah mencapai 651 juta orang di seluruh dunia. Jumlah kematian akibat virus tersebut telah menyentuh angka 6,65 juta jiwa.
Pandemi menjadi salah satu kejadian luar biasa yang mengancam kehidupan manusia modern saat ini. Besarnya dampak kemanusian dan tekanan sosial-ekonomi akibat wabah itu akhirnya mendorong berbagai negara mengeluarkan sejumlah program untuk mengakselerasi penuntasan pembasmian virus tersebut. Khusus di Indonesia, telah diluncurkan Pandemic Fund pada November 2022 untuk mempercepat langkah penyelesaian wabah itu.
Peluncuran program Pandemic Fundmerupakan langkah konkret dari Indonesia dalam forum pertemuan G-20 yang diselenggarakan di Bali bulan lalu. Program tersebut menjadi instrumen penting untuk lebih mempersiapkan dan merespons dampak pandemi dengan lebih baik. Inisiasi itu dilakukan dalam pertemuan G-20 Join Finance Health Task Force dan didukung oleh Bank Dunia dan WHO.
Catatan Kementerian Keuangan menunjukkan dana Pandemic Fund yang terkumpul dalam forum itu mencapai 1,4 miliar dollar AS yang berasal dari anggota G-20, negara non-G-20, dan tiga lembaga filantropis dunia. Hal ini kian menumbuhkan rasa optimisme dalam menambah jumlah dana untuk penanganan pandemi di masa mendatang. Akan semakin banyak negara dan lembaga yang terlibat dalam berkontribusi meningkatkan dana pendemi global itu. Secara keseluruhan, kebutuhan Pandemic Fund mencapai 31,1 miliar dollar AS.
Dana yang terkumpul itu nantinya akan dialokasikan untuk menopang kesiapsiagaan sistem kesehatan global. Program tersebut akan bekerja sama dengan instrumen lainnya untuk meningkatkan kapasitas negara dan komunitas dalam menghadapi pandemi. Jadi, pandemic fund dapat pula disebut sebagai dana katalis untuk mengantisipasi wabah secara masif.
Karena besarnya skala cakupan wilayah dana pandemi tersebut, pengelolaan keuangan menjadi sangat penting. Dana pandemi disepakati akan dikelola bersama oleh para pendonor, perwakilan penerima, dan mitra lainya. Skema yang digunakan adalah mekanisme pengelolaan Bank Dunia atau disebut sebagai wali amanat. Sementara itu, pengaturan strategis dilakukan oleh dewan pengelola.
Dewan pengelola terdiri dari dua orang, yaitu Chatib Basri dari Indonesia dan Daniel Ngajime, Menteri Kesehatan Rwanda. Untuk pelaksanaannya, panduan teknis dan kesekretariatan tetap akan melibatkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Upaya kolektif yang dilakukan banyak negara itu merupakan langkah besar untuk mempersiapkan, mencegah, dan menangani pandemi berikutnya.
Pendanaan pandemi sangat penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sepanjang tiga tahun terakhir, perekonomian Indonesia dalam kondisi pasang surut akibat imbas pandemi. Sejumlah perhitungan proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga saat ini menunjukkan perbaikan signifikan, tetapi dengan sejumlah syarat di dalamnya.
Misalnya saja, estimasi tahun 2020 menunjukkan kerugian ekonomi Indonesia akibat wabah korona mencapai Rp 1.356 triliun atau setara dengan 8,8 persen PDB nasional. Langkah antisipasi untuk menahan runtuhnya perekonomian nasional itu salah satunya melalui optimalisasi APBN. Sektor kesehatan menjadi prioritas sepanjang pandemi, mulai dari penanganan pasien hingga pembatasan mobilitas masyarakat.
Baca Juga: Wawancara Khusus Menkes: Dana Pandemi Solusi Atasi Krisis Keuangan Global

Apabila dilihat secara global, sepanjang tahun 2020 telah terjadi kemunduran ekonomi hingga sebesar 3,4 persen. Kontraksi ekonomi ini setara dengan hilangnya uang sebanyak 84,54 triliun dollar AS. Hal ini mengakibatkan angka pengangguran turut naik tajam hingga 6,18 persen di seluruh dunia. Estimasi jumlah pengangguran tahun 2020 mencapai 223,67 juta jiwa. Angka unemployment ini kemudian sedikit berkurang pada 2021 menjadi sekitar 214 juta jiwa.
Fenomena penurunan ekonomi tersebut berakibat pada situasi resesi ekonomi secara global. Sebagian besar negara di dunia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam masa pandemi 2020-2021. Terjadi pelemahan di berbagai sektor ekonomi akibat adanya pembatasan mobilitas yang berdampak pada lesunya industri dan daya beli masyarakat. Pembatasan mobilitas itu turut menekan arus produksi dan konsumsi sebagian besar entitas usaha serta individu di seluruh dunia.
Oleh karena itu, program pendanaan pandemi secara global adalah langkah strategis. Turun mempercepat penanganan wabah di sejumlah negara dalam tempo yang bersamaan sehingga mengakselerasi terciptanya status kondisi endemi. Masyarakat di seluruh dunia mampu hidup berdampingan dengan virus tersebut dan mampu mengatasinya secara efektif dan efisien. Degan demikian, kondisi global akan pulih secara akseleratif. Sendi-sendi perekonomian kembali aktif dan terhubung secara optimal, baik dalam lingkup domestik suatu negara maupun dalam jaringan global dunia.
Ancaman zoonosis
Implementasi dana pandemi tersebut sangat berguna untuk mengantisipasi penanganan berbagai pandemi berikutnya. Terlebih saat dunia sangat rentan terhadap zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Dalam perkembangannya, zoonosis mampu mewabah dan menjadi kejadian luar biasa yang dapat terjadi tanpa pernah terduga sebelumnya.
Dalam sejarahnya, kasus zoonosis itu bukanlah hal baru bagi dunia ini. Mulai dari pandemi virus H1N1 tahun 1918 hingga SARS-CoV-2 tahun 2019. Artinya, dunia ini sangat rentan terhadap berbagai ancaman wabah yang berasal dari mutasi penyakit dari manusia ke hewan ataupun sebaliknya. Apalagi, pola wabah zoonosis memiliki kemungkinan besar untuk menjadi pandemi karena patogen mampu menyebar luas, bermutasi cepat, dan punya banyak inang.
Sebagai contoh, wabah virus flu spanyol (H1N1) yang terjadi tahun 1918 mampu menginfeksi sepertiga populasi dunia saat itu dengan total kematian sekitar 50 juta jiwa. Dua wabah sebelum Covid-19, yaitu SARS (2002) dan MERS (2012), memiliki agen satwa liar yang kemudian menginfeksi manusia. Penyebarannya begitu luas dan cepat.
Baca Juga: Pengalaman Indonesia Hadapi SARS dan MERS

Asam nukleat RNA berubah menjadi asam nukleat DNA komplementer selama analisis untuk virus A (H1N1), influenza A (H1N1), yang biasa disebut sebagai flu babi, di laboratorium Berlin-Brandenburg pada 14 Agustus 2009 di Berlin, Jerman.
Bukan hanya penularan melalui virus, sejumlah wabah penyakit muncul karena interaksi hewan dengan manusia. Sebagai contoh, penyakit malaria yang menyebabkan angka kesakitan hingga 350 juta jiwa per tahun. Penyakit rabies juga menyebabkan 35.000 orang meninggal setiap tahunnya. Sementara itu, infeksi cacing parasit yang disebut schistosomiasis mampu menginfeksi sedikitnya 120 juta jiwa per tahun.
Risiko besar kesehatan publik karena zoonosis diproyeksikan membesar di masa mendatang. Terlebih saat faktor utama transisi patogen dari tubuh hewan ke manusia makin dekat. Mempertimbangkan kondisi tersebut, dana pandemi penting untuk diperluas ke ranah pencegahan dan pengelolaan ekologi.
Munculnya penyakit zoonosis tidak terjadi secara tiba-tiba. Patogen penyebab penyakit mampu menyebar dan menginfeksi manusia apabila batasan alaminya terganggu atau rusak. Batas alami yang dimaksud adalah perlindungan ekologi. Organisasi PBB bidang lingkungan hidup, UNEP, mencatat dua poin utama penyebab munculnya penyakit zoonosis, yakni kerusakan ekosistem dan pengelolaan sumber daya yang tidak berkelanjutan.
Urgensi pencegahan pandemi berikutnya melalui pengelolaan ekologi turut diperkuat dalam laporan The Global Risk Report 2022 oleh World Economic Forum. Dari 10 risiko terbesar global, tujuh di antaranya terkait ekologi dan kesehatan global. Terdiri dari penyakit menular, krisis penghidupan manusia, kehilangan biodiversitas, cuaca ekstrem, kegagalan aksi iklim, kerusakan lingkungan manusia, dan krisis sumber daya alam. Kerusakan ekologi dan kesehatan ini secara tidak langsung dapat berimbas pada kondisi perekonomian yang dapat memicu situasi krisis moneter.
Dukungan menyeluruh
Inisiasi dana pandemi patut mendapatkan apresiasi, apalagi tujuan utamanya adalah membangun daya tahan infrastruktur finansial sektor kesehatan secara global. Krisis kesehatan selama pandemi Covid-19 mengingatkan bahwa mitigasi risiko dan perencanaan keuangan di sejumlah negara masih relatif sangat lemah.
Akibatnya, banyak negara yang terlihat tidak siap menghadapi serangan wabah tersebut. Upaya preventif dan kuratif mulai dari penyediaan vaksin, obat, alat kesehatan, hingga penanganan para korban terlihat tidak solid dan berantakan pada masa-masa awal pandemi. Perlu waktu untuk beradaptasi dan berkoordinasi dengan banyak pihak guna menghadapi penularan virus itu.
Hingga kini, sejumlah negara di dunia juga terus berjuang untuk menuntaskan wabah dengan kemapuan anggarannya masing-masing. Oleh karena itu, dengan adanya program Pandemic Fund diharapkan tercipta mobilisasi dana yang besar berskala internasional sehingga dapat turut membantu negara-negara yang membutuhkan tambahan dana untuk mengakselerasi penanganan wabah.
Baca Juga: Butuh Komitmen Berkelanjutan untuk Keberhasilan Dana Pandemi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F16%2Fc4cf1acc-fd38-4736-b4f0-aa0045295b85_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo seusai memberikan keterangan pers di Media Center Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (16/11/2022). Presiden melaporkan hasil KTT G-20 yang menghasilkan Deklarasi Pemimpin G20 yang antara lain berisi mengecam perang Rusia-Ukraina, pembiayaan dana pandemi (program Pandemic Fund), dan transisi energi hijau.
Dana pandemi diharapkan menjadi salah satu simpul penguat keberhasilan penanganan pandemi di masa mendatang. Kebutuhan dana hingga 31,1 miliar dollar AS harus dipenuhi untuk mencapai standar penanganan yang direncanakan. Perlu dukungan dan kolaborasi antarinstitusi dan antarnegara untuk mencapai target tersebut.
Kolaborasi tersebut dapat dimulai dari kesiapan setiap negara dalam membuat rancangan pendanaan secara nasional untuk situasi krisis. Selain itu, peran sektor swasta atau institusi filantropi juga tak kalah penting. Mereka diharapkan mampu menutup celah antara modal yang dimiliki dan kebutuhan secara nasional.
Karena dimulai dari setiap negara, pemerintah melalui berbagai regulasi dan prosedur perlu mengedepankan prinsip inklusivitas dan transparansi. Kekurangan dana mampu menciptakan risiko terhadap sistem kesehatan di sebuah negara menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, ketesediaan dana untuk langkah mitigasi pandemi itu sangatlah penting terpenuhi secara cukup di setiap negara. Pasalnya, kian terbukanya hubungan antarnegara sangat memungkinkan penularan wabah secara global menjadi relatif sangat mudah. Jadi, perlu kesiapsiagaan seluruh negara di dunia untuk menciptakan berbagai skenario mitigasi yang didukung anggaran yang memadai.
Sebagai negara yang menginisiasi dana pandemi, Indonesia memiliki peluang besar dalam diplomasi kebijakan kesehatan global. Di sisi lain, ada dua tantangan utama yang harus diantisipasi oleh Indonesia. Tantangan pertama adalah memastikan keberlanjutan kontribusi finansial. Kontribusi tersebut dapat terganggu karena adanya potensi resesi global di tahun-tahun mendatang, serta skema dana hibah yang kurang menarik bagi pendonor yang berharap ada keuntungan finansial dari program tersebut.
Tantangan kedua adalah menyeimbangkan penggalangan dana sebab banyak negara dan pendonor yang telah mengikuti skema pendanaan kesehatan global di tempat lain. Artinya, ada kekhawatiran tentang proporsi dana yang dikeluarkan pendonor tidak konsisten. Jadi, langkah inisiasi tersebut perlu untuk terus dikawal dan digaungkan secara global demi menciptakan kewaspadaan dan kolaborasi bersama-sama untuk menghadapi berbagai ancaman kesehatan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)