Sebanyak 90,9 persen responden jajak pendapat ”Kompas” tidak setuju jika bekas terpidana kasus korupsi kembali menjadi calon anggota legislatif di pemilu. Mereka ingin ruang politik bagi bekas koruptor lebih dibatasi.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Mahkamah Konstitusi atau MK menambah syarat masa tunggu selama lima tahun bagi mantan terpidana jika ingin menjadi calon anggota legislatif. Keputusan ini membuka kembali wacana keinginan publik yang justru berharap negara lebih membatasi peluang bekas terpidana, khususnya koruptor, untuk berkontestasi di pemilu.
Keputusan MK ini sebenarnya semakin membatasi ruang bagi bekas terpidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sebelumnya, pada Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU No 7/2017 tentang Pemilu yang menjadi obyek uji materi di MK mengatur mantan terpidana bisa mencalonkan diri sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Setelah putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022, syarat tersebut ditambahkan dengan keharusan telah melewati masa tunggu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasar putusan yang berkekuatan hukum tetap dan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Hanya saja, ekspektasi publik sebenarnya lebih dari itu, khususnya bagi bekas terpidana kasus korupsi yang semestinya benar-benar tidak boleh lagi memasuki lembaga-lembaga negara. Hal ini terbaca dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal Desember 2022. Mayoritas responden (90,9 persen) tidak setuju jika bekas terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif di pemilu.
Dari sisi alasan menolak, 37,1 persen responden beralasan mencegah potensi bekas terpidana korupsi kembali korupsi karena wilayah lembaga negara, seperti halnya lembaga legislatif, rentan korupsi. Sepertiga bagian dari kelompok responden yang menolak juga beralasan, semestinya mereka yang sudah pernah terlibat kasus korupsi tidak layak lagi dipercaya mengemban amanah rakyat yang direbut melalui pemilu.
Sementara itu, kelompok responden yang menyatakan setuju bekas terpidana korupsi bisa kembali menjadi calon anggota legislatif setelah masa jeda lima tahun beralasan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Mereka juga beralasan menghormati hak politik setiap orang untuk dipilih di pemilu. Sebagian dari kelompok responden yang setuju ini juga menjadikan keputusan MK yang memberi masa jeda lima tahun setelah bebas ini sebagai bukti sudah ada upaya membatasi hak politik tanpa menghilangkan hak politik itu.
Ancaman demokrasi
Terbukanya peluang bekas terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif juga dinilai sebagai ancaman terhadap demokrasi. Jajak pendapat merekam, 84,4 persen responden menilai masih terbukanya peluang bekas terpidana, termasuk mantan napi korupsi untuk menjadi kontestan di pemilu, merupakan ancaman besar bagi demokrasi.
Kekhawatiran ini tentu tidak berlebihan mengingat potret situasi demokrasi di Indonesia. Berdasarkan data The Economist pada 2021, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-52 dengan skor indeks di angka 6,71 poin dari skala 0-10. Dengan skor itu, kualitas demokrasi Indonesia di bawah negara tetangga, seperti Malaysia di peringkat ke-39 dan Timor Leste di peringkat ke-43.
Di sisi lain, publik yang menilai bekas terpidana korupsi semestinya tidak lagi diberi kesempatan menjadi pejabat publik pada akhirnya juga melihat putusan MK belum sepenuhnya tegas memenuhi harapan mereka. Hanya saja, penambahan syarat masa jeda lima tahun bagi bekas terpidana untuk bisa menjadi calon anggota legislatif tidak lepas dari aturan yang sama yang sebelumnya diberlakukan bagi syarat pencalonan kepala daerah di pilkada. Tidak heran jika putusan ini belum menunjukkan upaya tegas mencegah bekas terpidana korupsi masuk dalam gelanggang politik.
Bagaimanapun, bagi publik, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diganjar hukuman luar biasa. Jajak pendapat Kompas merekam bagaimana persepsi publik selalu resisten dan negatif setiap merespons isu-isu korupsi. Bahkan, hukuman bagi pelaku korupsi masih dipandang belum optimal. Lebih dari 80 persen responden menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi belum setimpal.
Bagi sepertiga responden lainnya, kejahatan korupsi layak diganjar hukuman maksimal, seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup. Sekitar sepertiga lainnya berharap hukuman keras lain, seperti memiskinkan atau menyita harta dari pelaku korupsi. Selain itu, beberapa hukuman lain yang dirasa sepadan oleh publik adalah hukuman sosial dan penghapusan hak politik.
Tidak heran jika kemudian putusan Mahkamah Konstitusi yang menambah syarat bagi bekas terpidana untuk menunggu masa jeda lima tahun setelah bebas untuk menjadi calon anggota legislatif di pemilu justru ditanggapi tidak dengan antusiasme. Sebagian besar responden jajak pendapat justru menilai putusan ini belum memenuhi harapan publik yang cenderung ingin peluang bekas terpidana, terutama kasus korupsi, kembali menjadi pejabat publik ditutup.
Masih adanya peluang bagi bekas terpidana, termasuk di kasus korupsi untuk kembali menjadi pejabat publik, dinilai menjadi cerminan seberapa permisifnya regulasi terhadap kejahatan korupsi. Bahkan, lebih dari tiga perempat responden memandang masih terbukanya peluang bekas terpidana korupsi di dalam perekrutan pejabat publik merupakan bentuk ”keringanan” hukuman kepada mantan pelaku korupsi.
Apalagi, sebelumnya publik juga dikagetkan dengan momentum sejumlah terpidana kasus korupsi yang bebas bersyarat di tahun 2022. Walau dipastikan belum bisa mengikuti perhelatan Pemilu 2024, para bekas terpidana kasus korupsi ini tidak menutup kemungkinan akan kembali memasuki panggung-panggung politik di kemudian hari untuk merebut kembali mandat rakyat yang pernah ia khianati dengan terlibat kasus korupsi.
Pada akhirnya, ketika regulasi masih memberikan peluang bagi bekas terpidana korupsi untuk masuk gelanggang politik kembali, harapan publik akan bertumpu pada kedewasaan pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Rekam jejak calon anggota legislatif di pemilu harus jadi bahan referensi sebelum memutuskan kepada siapa pilihan politik diberikan.