Analisis Litbang ”Kompas”: Sinkronisasi Strategi ”Pull” dan ”Push” Atasi Kemacetan
Salah satu upaya pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan moda transportasi umum adalah dengan menyediakan transportasi publik yang memadai. Namun, animo untuk menggunakan kendaraan publik masih belum optimal.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Strategi Pull dan Push harus dijalankan selaras dan seimbang dalam mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Pasalnya, sikap masyarakat baru pada tahap memberikan apresiasi terhadap langkah konkret pembenahan transportasi publik, belum menarik minat dan mengubah perilaku untuk beralih memanfaatkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Berdasarkan hasil survei komuter yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 dan 2019, mayoritas komuter masih mengandalkan kendaraan pribadi dalam perjalanan ulang alik menuju tempat beraktivitas dari rumah tinggal.
Paling tidak, hal tersebut dilakukan enam dari sepuluh responden di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Tidak berubahnya pola bertransportasi para komuter tersebut tentu saja menjadi biang problem kemacetan yang masih membelenggu lalu lintas Jakarta.
Salah satu upaya pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan moda transportasi umum adalah dengan menyediakan transportasi publik yang memadai. Berbagai upaya pembenahan pun dilakukan untuk meningkatkan kualitas transportasi publik, baik bus kota, angkutan umum, maupun moda kereta api.
Tak dapat dimungkiri, semakin berkembangnya populasi dan kota-kota belakang (hinterland) di sekitar Ibu Kota sebagai pusat pertumbuhan harus diikuti dengan ketersediaan sistem transportasi publik yang memadai untuk kelancaran mobilitas. Itu karena, secara sosial ekonomi, penduduk di kota-kota tersebut masih tergantung pada fasilitas dan infrastruktur di Ibu Kota.
Pembenahan sistem transportasi publik tersebut menjadi suatu keniscayaan dan merupakan strategi Pull untuk mengatasi kemacetan agar menarik masyarakat menggunakan moda transportasi umum.
Sejalan dengan upaya pemerintah itu, warga Jabodetabek yang menjadi responden jajak pendapat Kompas pertengahan November lalu juga berpendapat, meningkatkan pelayanan transportasi umum dan menyediakan transportasi umum yang terintegrasi adalah dua terobosan yang dinilai paling efektif mengatasi kemacetan Ibu Kota. Hampir 60 persen responden menyatakan hal tersebut.
Jajak pendapat juga memotret bahwa masyarakat memberikan apresiasi terhadap berbagai langkah konkret pembenahan transportasi publik yang telah dilakukan pemerintah daerah.
Namun, apresiasi tersebut belum diikuti dengan perubahan gaya bertransportasi yang mengandalkan transportasi publik, karena hampir 80 persen responden masih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk beraktivitas.
Padahal, apresiasi sudah diberikan masyarakat pada semua aspek kualitas pelayanan angkutan dengan tingkat kepuasan yang merata. Tidak kurang tujuh dari sepuluh responden mengungkapkan, pelayanan angkutan umum di Jakarta terkait aspek ketepatan waktu dan metode pembayaran, termasuk tarif, semakin terkelola dengan lebih baik. Bahkan, pada aspek kebersihan dan kenyamanan fasilitas angkutan umum, diapresiasi lebih dari 88,6 persen responden.
Apresiasi yang diberikan masyarakat ini tak lepas dari upaya pembenahan transportasi umum yang sudah dilakukan, paling tidak sejak beroperasinya Transjakarta tahun 2004 dan semakin masif dalam sepuluh tahun terakhir.
Sebagai sebuah sistem transportasi bus rapid transit (BRT) pertama di Asia Tenggara dan Selatan, Transjakarta memiliki jalur lintasan terpanjang di dunia (208 km), 278 halte yang tersebar di 13 koridor, dan melayani 247 rute pada 2019 hingga 83 persen cakupan populasi sudah terlayani. Bahkan, tahun ini lima rute baru ditambahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Strategi ”Pull” dan ”Push” harus dijalankan selaras dan seimbang dalam mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Animo warga Ibu Kota dan sekitarnya memilih moda transportasi publik ini juga besar, terlihat dari pertumbuhan jumlah pelanggan setiap tahunnya. Tertinggi pada tahun 2019 sebanyak 264.032.780 pelanggan. Angka tersebut meningkat 40 persen dibandingkan tahun 2018, bahkan meningkat 82 persen dari tahun 2017.
Tak hanya bus kota, pembenahan dan perbaikan infrastruktur transportasi umum juga dilakukan pada moda transportasi berbasis rel, yaitu dengan adanya transformasi KRL komuter yang semakin nyaman, disusul kemudian dengan kehadiran moda raya terpadu (MRT) , dan kereta layang ringan (LRT) dengan layanan yang semakin terintegrasi.
Saat ini KAI Commuter mengoperasikan 1.081 perjalanan setiap hari, pada pukul 04.00-24.00 WIB, dengan jumlah penumpang yang kian meningkat. Meski demikian, berbagai upaya perbaikan moda transportasi umum tersebut belum mendapat timbal balik positif yang signifikan dari masyarakat.
Jajak pendapat Kompas memotret hanya sekitar 20 persen responden yang menggunakan transportasi umum. Bahkan, dalam Statistik Komuter Jabodetabek 2019 dilaporkan, sebanyak 91,6 persen komuter pengguna kendaraan pribadi tidak ingin beralih menggunakan moda transportasi umum. Sepuluh hingga 12 persen komuter di Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Jakarta Timur, dan Kabupaten Bogor menyatakan hal tersebut.
Waktu tempuh lama, tidak praktis, dan jauhnya akses ke kendaraan umum menjadi tiga alasan utamanya. Bahkan, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik, 86 persen responden dalam jajak pendapat Kompas mengaku tidak terpengaruh untuk meninggalkan kendaraan pribadi dalam beraktivitas.
Perilaku masyarakat dalam bertransportasi tersebut tentu menjadi tantangan bagi strategi Pull yang sedang digenjot pemerintah. Upaya tersebut tak akan efektif mengatasi kemacetan jika tidak bisa mengurangi dengan signifikan pengguna kendaraan pribadi.
Hal itu harus diimbangi dengan optimal strategi Push yang mendorong masyarakat untuk mengurangi dan meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi.
Berbagai upaya strategi Push juga sudah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan. Membatasi kendaraan roda empat yang memasuki wilayah Jakarta menjadi salah satu pilihan.
Tahun 2003, pemprov memberlakukan kebijakan 3 in 1, di mana pada area dan jam tertentu mobil pribadi yang boleh melintas hanya yang berpenumpang minimal tiga orang. Pada tahun 2016, sistem ini diganti dengan sistem ganjil-genap karena dinilai tidak efektif dan menyebabkan masalah sosial baru, seperti munculnya joki jalanan.
Perlu pula mengoptimalkan kebijakan pembatasan kepemilikan atau usia kendaraan, menaikkan pajak kendaraan, memanajemen parkir, hingga memberlakukan jalan berbayar. Sekitar 30 persen responden jajak pendapat juga sepakat dengan hal tersebut sebagai kebijakan atau terobosan yang efektif untuk mengurangi kemacetan di Ibu Kota.
Oleh karena itu, sinkronisasi kedua strategi tersebut harus dijalankan seimbang dengan regulasi yang tegas. Dengan demikian, masyarakat mau beralih menggunakan transportasi umum agar Jakarta tak terus berkutat dengan masalah kemacetan. (LITBANG KOMPAS)