Besarnya Kesenjangan antara Mitigasi dan Risiko Bencana di Indonesia
Sebaran potensi bencana merata di berbagai wilayah Indonesia. Tidak ada daerah yang benar-benar aman dari ancaman bencana sehingga langkah mitigasi menjadi keharusan yang wajib dipahami semua orang.
Wilayah berisiko tinggi terlanda bencana alam di Indonesia semakin banyak. Di sisi lain, kesiapan pemerintah daerah melakukan langkah mitigasi relatif masih buruk. Lemahnya antisipasi bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, kerugian ekonomi pun kian besar.
Setiap tahun, ribuan peristiwa bencana terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Dari 34 provinsi, delapan di antaranya termasuk dalam kategori bahaya tinggi karena luasnya cakupan area terdampak serta tingginya intensitas bencana di wilayah bersangkutan. Perlu penguatan sistem mitigasi guna mencegah dampak bencana yang lebih besar di delapan provinsi tersebut dan daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Sepanjang tahun 2022, setidaknya tercatat 3.303 kali kejadian bencana nasional. Pulau Jawa masih menjadi penyumbang terbesar frekuensi bencana tersebut, diikuti Aceh dan Sulawesi Selatan. Hal ini harus menjadi perhatian bersama terutama bagi lembaga-lembaga terkait kebencanaan, baik di level nasional maupun daerah.
Intensitas bencana yang melebihi 3.300 kejadian tersebut hampir menyamai frekuensi bencana tahun lalu yang mencapai 3.514 kejadian. Saat itu, bencana alam menelan korban jiwa hingga 556 orang, luka-luka 8.627 orang, 47 orang masih dinyatakan hilang, dan lebih dari 5 juta orang harus mengungsi. Tingginya frekuensi bencana dan besarnya dampak yang ditimbulkan itu menunjukkan betapa tingginya tingkat bahaya bencana alam di sebagian wilayah Indonesia.
Tingkat bahaya dalam manajemen kebencanaan didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukkan seberapa banyak jenis bencana yang ada di daerah tersebut berikut riwayat frekuensi kejadiannya. Semakin sering terjadi bencana di lokasi yang sama dengan intensitas tertentu, semakin berbahaya lokasi itu.
Berdasarkan data tahun 2022, tingkat bahaya secara nasional menunjukkan tren semakin tinggi apabila dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) melaporkan sedikitnya 1.700 bencana yang pasti melanda di berbagai wilayah Nusantara tiap tahunnya dalam dua dekade ini. Rutinitas ribuan bencana ini memberikan efek negatif bagi setidaknya 3,2 juta manusia setiap tahunnya. Angka ini kemungkinan akan terus meningkat seiring bertambah tingginya frekuensi kejadian bencana di Indonesia.
Pada kurun 2000-2022, intensitas bencana alam telah meningkat rata-rata hingga 26 persen per tahun. Hal ini memiliki dua makna pemahaman. Pertama, semakin banyak wilayah yang terdampak bencana dan, yang kedua, mengindikasikan frekuensi kejadian bencana di suatu wilayah juga makin besar.
Baca Juga: Menekan Kerentanan dan Risiko Bencana Melalui Mitigasi
Pengulangan kejadian bencana itu membuat suatu wilayah masuk kategori bahaya tinggi. Terlebih saat jenis bencana yang melanda sangatlah banyak. Misalnya saja, wilayah Bantul di Yogyakarta yang memiliki tingkat bahaya banjir yang tinggi, tetapi juga memiliki potensi besar terlanda gempa hingga kekeringan. Wilayah lainnya adalah Semarang yang terancam banjir rob dan banjir perkotaan karena luapan air sungai.
Salah satu karakteristik bencana yang sangat mematikan adalah munculnya efek domino, yaitu saat suatu peristiwa bencana memicu kejadian bencana lainnya. Salah satu contohnya adalah gempa bumi di Palu yang berkekuatan M 7,4 pada akhir September 2018. Bencana geologi ini menyebabkan tsunami di sepanjang pesisir bagian teluk Sulawesi Tengah dan diikuti likuefaksi di tiga wilayah. Efek domino serupa juga terjadi setelah gempa Cianjur yang menyebabkan longsoran besar di daerah perbukitan.
Terdampak parah
Sebaran bencana di Indonesia tergolong merata di berbagai lokasi. Artinya, tidak ada lokasi yang benar-benar aman dari bencana. Data Potensi Desa dari Badan Pusat Statistik (BPS) turut merekam dengan jelas wilayah-wilayah yang paling terdampak bencana dan paling buruk dalam sistem mitigasi. Analisis tiga periode pencatatan, yaitu 2014, 2018, dan 2021, memberikan gambaran jelas betapa bahayanya sejumlah wilayah di Indonesia.
Wilayah paling terdampak biasanya memiliki sejarah kejadian bencana yang cenderung terus berulang dalam tempo yang lama. Bisa menjadi siklus tahunan, 5 tahunan, setiap dekade, atau bahkan hingga 50 tahunan atau lebih. Wilayah-wilayah yang ”ajek” terdampak seperti itu dapat dikategorikan sebagai wilayah paling berbahaya.
Biasanya, daerah tersebut memiliki sejumlah faktor kunci yang memicu terjadinya bencana berbahaya. Di antaranya adalah terletak di posisi sesar penyebab gempa, alih fungsi lahan di hulu yang menyebabkan banjir bandang, dan buruknya perencanaan wilayah sehingga menjadi langganan banjir.
Sejak tahun 2014, setidaknya ada delapan provinsi yang sebagian wilayahnya memiliki intensitas bencana alam yang tinggi di Indonesia. Provinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Provinsi lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Hampir 10 persen dari total wilayah desa/kelurahan di semua provinsi tersebut terdampak bencana setiap tahunnya. Jumlah tersebut sangatlah besar karena, apabila dikonversi ke dalam cakupan jumlah penduduk, ada ratusan hingga jutaan penduduk terdampak. Sebagai contoh, di Provinsi Jabar terdapat sedikitnya 550 wilayah terdampak bencana sepanjang waktu. Kondisi ini juga terjadi di Aceh dengan jumlah kawasan yang rutin terkena bencana hingga sekitar 485 wilayah.
Baca Juga: Banjir Berulang Bukti Lemahnya Pencegahan
Secara umum, ada dua jenis bencana yang memiliki jangkauan wilayah terdampak paling luas di Indonesia, yaitu tanah longsor dan banjir. Kedua bencana ini memiliki hubungan saling memengaruhi yang sangat kuat, terutama di wilayah-wilayah dengan topografi tertentu. Biasanya di daerah dengan kemiringan curam yang masif terjadi alih fungsi lahan serta adanya ketidaksesuaian tata guna lahan.
Contohnya antara lain adalah Kabupaten Pacitan yang rawan terjadi longsor dan Kabupaten Lamongan yang memiliki potensi tinggi terlanda banjir. Kedua wilayah ini berada Provinsi Jawa Timur.
Selain Jatim, kedua jenis bencana tersebut juga melanda daerah lain. Daerah itu antara lain Kabupaten Garut dan Bekasi di Provinsi Jabar, Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, Nias Selatan di Sumatera Utara, serta Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tiga provinsi lainnya yang juga menyimpan potensi banjir dan longsor adalah Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Di Provinsi Aceh, daerah rawan kedua bencana tersebut terletak di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Utara, Provinsi Sulsel tersebar di Kabupaten Tana Toraja dan Wajo, dan Provinsi Sulteng potensi bencananya berada di Kabupaten Poso dan Parigi Moutong.
Mitigasi lemah
Pemerintah Indonesia perlu melakukan evaluasi besar terkait kebencanaan nasional, terutama dalam memenuhi standar mitigasi menekan dampak bencana. Pasalnya, cakupan wilayah yang memiliki sistem mitigasi bencana di Indonesia sangat rendah.
Rendahnya wilayah yang memiliki antisipasi bencana itu terlihat dari data BPS mengenai jumlah desa atau kelurahan yang telah memiliki sistem mitigasi dasar. Mitigasi dasar yang dimaksud adalah sistem peringatan dini, perlengkapan keselamatan, dan jalur evakuasi. Daerah yang sudah memiliki sistem antisipasi dasar bencana ini cenderung lebih tangguh dari daerah yang belum menerapkan sistem serupa.
Provinsi yang rawan terlanda bencana, seperti Jabar, Jateng, dan Jatim, terus berupaya meningkatkan langkah mitigasinya semakin baik dan menyeluruh. Pada 2021, setidaknya ada 858 desa di Jabar, 1.450 desa di Jateng, dan 1.179 desa di Jatim yang sudah menerapkan sistem mitigasi dasar itu. Hal ini mengindikasikan bahwa ada usaha dari pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan ketahanan wilayah dalam menghadapi bencana.
Baca Juga: Krisis Iklim Menuntut Ketangguhan Desa
Jumlah daerah atau wilayah yang memiliki sistem mitigasi dasar harus terus ditingkatkan. Pasalnya, hingga saat ini, daerah (provinsi) yang telah memiliki sistem mitigasi itu terbanyak hanya sebesar 15,1 persen dari seluruh cakupan wilayahnya. Artinya, masih sangat banyak wilayah di Indonesia yang belum siap dan berisiko tinggi mengalami dampak besar saat terjadi bencana.
Setidaknya ada lima provinsi yang memiliki sistem mitigasi paling rendah di Indonesia. Terdiri dari Provinsi Sulawesi Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara. Kelima provinsi tersebut rata-rata memiliki sistem mitigasi dasar hanya di 37 desa/kelurahan di wilayah provinsinya. Padahal, setiap provinsi tersebut rata-rata memiliki jumlah desa/kelurahan minimal 400 desa.
Oleh karena itu, kesiapan daerah dalam menghadapi bencana harus terus ditingkatkan. Apalagi, kelima provinsi tersebut terlanda berbagai kejadian bencana di sejumlah wilayahnya, seperti tanah longsor, banjir, gempa bumi, gelombang pasang laut, dan puting beliung.
Beragamnya jenis bencana yang melanda di suatu wilayah membuat skema mitigasi menjadi sangat kompleks. Perlu kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan langkah pencegahan. Tujuannya, tercipta informasi dan kolaborasi yang kuat mengenai langkah mitigasi bencana secara umum. Mulai dari pencegahan, kondisi darurat, hingga pemulihan pascabencana. Semakin baik informasi yang dimiliki pemerintah dan masyarakat, akan semakin tinggi pula tingkat keselamatan yang tercipta saat terjadi bencana sesungguhnya.
Akhirnya, keselamatan lebih dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia adalah prioritas. Tidak hanya nyawa saja yang dapat terselamatkan, tetapi juga dampak lainnya, seperti ekonomi, dapat terus diminimalkan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana bisa mencapai puluhan triliun rupiah, sedangkan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penanggulangan risiko hanya berkisar Rp 10 triliun per tahun. Semakin baik langkah mitigasi, akan semakin efisien anggaran yang disediakan dan semakin besar juga harta serta nyawa yang dapat diselamatkan. (LITBANG KOMPAS)