Pembatasan aktivitas demi memutus mata rantai penularan virus berdampak pada melambatnya perputaran roda ekonomi. Sebagian besar kinerja di berbagai sektor industri mengalami penurunan. Tidak sedikit entitas usaha yang memilih memberhentikan sebagian tenaga kerjanya demi menjaga kesehatan keuangan perusahaan.
Alhasil, angka pengangguran nasional meledak hingga mencapai 9,77 juta orang atau bertambah lebih dari 2,5 juta orang dari periode yang sama tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran pun melonjak hingga mencapai 7,07 persen dari total angkatan kerja nasional.
Baca juga : Gelombang Badai PHK

Kini, seiring dengan meredanya pandemi, jumlah penganggur pun perlahan berkurang. Terakhir, pada Agustus 2022, angka pengangguran nasional susut menjadi 8,42 juta orang atau sebesar 5,86 persen dari total angkatan kerja. Kendati demikian, angka pengangguran ini belum kembali seperti masa prapandemi, ketika jumlah penganggur rata-rata 7 juta orang atau bahkan kurang.
PHK
Belum seutuhnya pulih dari pandemi, badai PHK kembali menerpa tenaga kerja Indonesia. Merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang terdampak PHK sepanjang Januari-Juli 2022 mencapai 3.321 orang secara nasional. Bahkan, data terbaru menunjukkan, hingga Oktober 2022, jumlah penganggur sudah bertambah lagi menjadi 11.626 orang (Kompas, 2 Desember 2022). Artinya, dalam kurun waktu tiga bulan saja angka pengangguran sudah bertambah 250 persen.
Beberapa waktu terakhir, PHK besar-besaran datang dari sejumlah perusahaan rintisan (start up) yang bergerak di bidang jasa dengan model bisnis digital atau daring. Beberapa di antaranya adalah Shopee Indonesia, Indosat, TaniHub, Ruangguru, GoTo, dan perusahaan investasi Ajaib Grup.
Perampingan usaha pada perusahaan start up yang sempat berkembang pesat tersebut tak dapat dipisahkan dari kondisi pandemi yang mulai membaik. Dengan berkurangnya intensitas penularan virus, sejumlah larangan beraktivitas pun mulai dilonggarkan. Kendati berdampak baik pada ekonomi secara keseluruhan, aktivitas fisik (offline) masyarakat yang meningkat membuat kebutuhan pada jasa online berkurang.
Salah satu contohnya adalah Ruangguru. Usaha rintisan yang bergerak di bidang pendidikan itu sempat booming di tengah pandemi. Pasalnya, hampir seluruh aktivitas belajar-mengajar dilaksanakan secara daring dari rumah masing-masing. Dampak postifnya, layanan Ruangguru semakin diminati lantaran tidak sedikit orangtua yang kewalahan mengurus anak-anaknya belajar di rumah.
Namun, seiring dengan meredanya pandemi, kegiatan belajar-mengajar kembali dilakukan di sekolah secara tatap muka langsung. Kebutuhan pada jasa layanan Ruangguru pun turut berkurang.
Begitu pula dengan TaniHub dan Shopee yang bergerak di bidang layanan jasa dan belanja daring. Pasar-pasar kini telah kembali dibuka bersamaan dengan aktivitas masyarakat yang kembali longgar. Aktivitas belanja konvensional pun kembali dilakukan sehingga kebutuhan tenaga kerja TaniHub tidak sebanyak sebelumnya. Pola yang sama terjadi pada usaha rintisan lainnya.
Baca juga : Instabilitas Ekonomi Menguji Daya Tahan Perusahaan Rintisan

Gelombang PHK usaha rintisan yang notabene merupakan pekerja kerah putih tersebut berpotensi memperberat upaya meningkatkan jumlah pekerja formal di dalam negeri. Per Agustus 2022, proporsi tenaga kerja formal Indonesia baru mencapai 40,69 persen. Padahal, sebelum masa pandemi, proporsinya sempat mencapai 44,12 persen. Fenomena ini mengindikasikan bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia kian sulit diwujudkan.
Hingga saat ini, tenaga kerja Indonesia masih didominasi pekerja informal, terutama yang bekerja di sektor pertanian. Jumlahnya mencapai 28,61 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Bahkan, menurut catatan BPS pada Agustus 2022, peningkatan tenaga kerja sektor agraris tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan sektor lain.
Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian menjadi salah satu penyangga dalam penyerapan tenaga kerja meskipun tingkat pendapatan pekerja sektor pertanian ini termasuk terendah di antara sektor lain.
Sektor kedua yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah perdagangan, yakni mencapai 19,36 persen. Posisi selanjutnya, industri pengolahan dengan serapan tenaga kerja sebanyak 14,17 persen dari seluruh pekerja nasional. Selebihnya diisi oleh para pekerja pada sektor-sektor jasa.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Problem Ketenagakerjaan, Tantangan bagi Pemuda

Gejolak global
Kendati sedang terjadi peralihan kembali pada bidang usaha konvensional, tidak semua usaha sektor riil tersebut dalam situasi aman. Sebagian sektor padat karya yang menyerap pekerja kerah biru pun sedang tertatih-tatih. Pekerja kerah biru adalah karyawan yang melakukan jenis pekerjaan manual dan mendapat upah per jam atau harian.
Salah satu sektor penyerap tenaga kerja yang kini kondisinya kian sulit adalah industri tekstil ataupun garmen. Asosiasi Pengusaha Indonesia mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2022 terdapat sekitar 73.000 karyawan industri tekstil yang terdampak PHK.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebutkan, PHK sudah menyasar hampir 500.000 tenaga kerja di Jawa Barat. Diperkirakan gelombang PHK akan terus meningkat dan berimbas pada jutaan pekerja di Indonesia.
Indikasi tersebut terlihat dari kinerja industri pengolahan yang diperkirakan akan terus melambat. Hal ini tampak dari nilai prompt manufacturing index yang disusun Bank Indonesia (PMI-BI).Pada triwulan IV tahun ini, PMI-BI diperkirakan akan turun menjadi 53,18 persen.
Total jumlah karyawan sebagai salah satu komponen penyusun indeks tersebut diperkirakan akan memasuki fase kontraksi. Angkanya diprediksi akan turun menjadi 49,60 persen dari posisi sebelumnya sebesar 50,32 persen pada triwulan III lalu.
Kondisi tersebut tak lepas dari ekonomi dunia yang tengah bergejolak. Invasi Rusia ke Ukraina membuat rantai pasok global terganggu. Sebagai dampaknya, pasokan bahan baku sejumlah industri Tanah Air terhambat. Akhirnya, penawaran (supply)terganggu di tengah permintaan yang sedang meningkat bersamaan dengan meredanya pandemi.
Baca juga : Bersiap Menghadapi Lonjakan Inflasi dan Penurunan Laju Ekonomi

Ketidakseimbangan tersebut berdampak pada melonjaknya harga-harga secara umum. Hal ini kian diperparah dengan semakin mahalnya harga energi dunia sebagai imbas dari invasi militer itu. Akibatnya, terjadi kenaikan inflasi dalam tempo relatif lama.
Situasi tersebut direspons kebijakan moneter global berupa peningkatan suku bunga di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Beban keuangan perusahaan pun menjadi bertambah. Sebagai langkah mitigasi penyelamatan bisnis, PHK pun dilakukan oleh sejumlah perusahaan.
Hal lain yang turut memperlambat kinerja sejumlah industri di Indonesia adalah rendahnya daya saing dengan komoditas dari negara lain. Salah satu contohnya terjadi pada industri tekstil yang kurang kompetitif di pasaran global. Produk massal yang dihasilkan industri tekstil Indonesia kalah saing dengan produk buatan negara lain yang harganya cenderung lebih murah.
Bahkan, tidak sedikit barang impor yang terus mengalir ke Indonesia sehingga para pengusaha lokal pun kalah bersaing di rumah sendiri. Tidak hanya pada produk tekstil dan kebutuhan fashion, tetapi juga produk-produk lain, seperti furnitur dan makanan. Ironis.
Strategi
Merespons situasi tersebut, pemerintah perlu merumuskan strategi yang jitu untuk membendung peningkatan angka pengangguran. Pemberian insentif kepada korporasi di tengah peningkatan suku bunga menjadi salah satu solusi agar keuangan perusahaan dapat terjaga.
Sektor usaha pun perlu mengimbanginya dengan lebih selektif dalam mengeluarkan dana. Dengan kata lain, menyesuaikan pengeluaran sesuai kemampuan perusahaan. Jika memungkinkan, PHK menjadi opsi yang paling akhir.
Korporasi juga dapat menjajaki model bisnis yang lebih fleksibel, misalnya memungkinkan kombinasi online dan offline mengingat kebutuhan konsumen yang dapat berubah sewaktu-waktu. Hal ini dapat menekan biaya operasional perusahaan menjadi lebih hemat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, juga perlu untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga terkait lain.Kerja sama, misalnya, bisa dilakukan dengan Kementerian Perindustrian untuk memetakan kebutuhan tenaga kerja. Berikutnya, dapat pula bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyusun kurikulum yang tepat sesuai kebutuhan dunia usaha. Pendidikan vokasi guna meningkatkan keterampilan juga perlu untuk terus digalakkan guna menciptakan SDM yang lebih berkualitas.
Pemberian bantuan sosial kepada tenaga kerja terdampak juga menjadi keharusan agar daya beli tetap terjaga. Dalam hal ini, sosialisasi terkait jaminan kehilangan pekerjaan perlu terus ditingkatkan agar pekerja yang terdampak PHK tidak dirundung kebingungan.
Guna menjaga keberlangsungan usaha dalam negeri, pemerintah juga perlu untuk menekan arus barang impor agar permintaan terhadap barang domestik tetap terjaga. Pasalnya, konsumsi masyarakat masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Menjaga daya beli masyarakat terhadap komoditas dalam negeri menjadi kunci penting untuk menumbuhkan perekonomian sekaligus menjaga keberlangsungan industri lokal. (Litbang Kompas)