Publik mengapresiasi kerja sukarelawan di bidang sosial-kemanusiaan dan kebersihan-lingkungan. Namun, di tengah fenomena aktivitas sukarelawan politik yang meningkat jelang Pemilu 2024, citra sukarelawan tak begitu baik.
Oleh
Gianie
·3 menit baca
Tak banyak orang yang mengetahui tanggal 5 Desember diperingati sebagai Hari Sukarelawan Internasional. Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 22-24 November 2022 menunjukkan hanya 2 dari 10 responden yang mengetahui 5 Desember diperingati sebagai Hari Sukarelawan Internasional. Minimnya pengetahuan ini sejalan dengan rendahnya keterlibatan dalam kegiatan kesukarelawanan.
Kondisi ini perkuat 3 dari 10 responden yang mengaku memiliki anggota keluarga, teman, kerabat, atau kenalan yang bekerja sebagai sukarelawan, baik itu di bidang sosial-kemanusiaan, kebersihan-lingkungan, maupun sukarelawan politik yang mendukung partai atau tokoh tertentu.
Umumnya sukarelawan bekerja dalam senyap, terutama untuk kerja-kerja kemanusiaan dan pelestarian alam/lingkungan. Mereka bergerak untuk suatu idealisme tertentu dan tak banyak yang ingin aktivitasnya menjadi sorotan.
Menurut Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Sukarelawan (UNV Programme), kehadiran sukarelawan dibutuhkan sebagai mitra tak resmi pemerintah dalam menjawab tantangan-tantangan mendesak yang muncul sebagai dampak dari pembangunan. Mulai dari masalah dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan, hingga dampak pandemi Covid-19.
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
Warga Kampung Cibeureum RT 001 dan RT 002 RW 001 yang sedang mengungsi dikunjungi oleh sukarelawan dokter yang membawa logistik dan makan minum, Rabu (23/11/2022). Sukarelawan tersebut juga melakukan pemeriksaan medis kepada beberapa warga yang terluka dan sakit.
Berdasarkan State of The World’s Volunteerism Report 2022 yang dikeluarkan UNV Programme, meski kondisi sosial-ekonomi masyarakat berubah selama pandemi, hal itu tak membuat kerja sukarelawan menurun. Mereka memainkan peran utama memperkuat relasi masyarakat dan negara. Aksi mereka sedikit banyak membantu atau memengaruhi kebijakan pemerintah.
Di mata responden, citra sukarelawan relatif baik, bergantung pada bidang yang ditekuni. Mayoritas responden (91,6 persen) menyebut citra sukarelawan sosial-kemanusiaan baik. Begitu juga sukarelawan di bidang lingkungan-kebersihan yang dianggap 89,4 persen responden memiliki citra baik.
Namun, tidak demikian halnya dengan citra sukarelawan politik pendukung partai atau tokoh tertentu. Publik terbelah menyikapi sukarelawan politik. Sebanyak 41,3 persen menyatakan citra sukarelawan politik baik. Sementara 39,7 persen menyatakan citra sukarelawan politik adalah buruk.
Kondisi ini agaknya dipicu gerakan sukarelawan yang akhir-akhir ini meningkat menunjukkan kekuatannya dalam mendukung tokoh yang berpotensi menjadi calon presiden mendatang atau pejabat yang sedang berkuasa.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Presiden Joko Widodo pada acara Nusantara Bersatu, Satu Komando untuk Indonesia, yang digelar Gerakan Nusantara Bersatu, dari simpul-simpul sukarelawan Jokowi, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (26/11/2022).
Kehadiran sukarelawan
Sebagai negara yang banyak mengalami bencana alam dan ikut terdampak perubahan iklim, Indonesia tentu banyak membutuhkan kehadiran sukarelawan. Namun, belum tampak antusiasme publik yang tinggi untuk menjadi sukarelawan. Sebanyak 43,8 persen responden menyatakan tak berminat menjadi sukarelawan.
Akan tetapi, responden yang berminat menjadi sukarelawan terbanyak memilih menjadi sukarelawan sosial-kemanusiaan (37,2 persen). Hanya 9,1 persen yang berminat menjadi sukarelawan kebersihan-lingkungan dan 7,3 persen yang berminat menjadi sukarelawan politik.
Minat menjadi sukarelawan ini berbeda jika dilihat dari usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi responden. Dilihat dari usia, responden yang berminat menjadi sukarelawan terbanyak ada di usia 24-39 tahun (sekitar 50 persen). Disusul 40-55 tahun (30 persen).
Perempuan lebih banyak yang berminat menjadi sukarelawan di bidang kebersihan-lingkungan. Sementara laki-laki lebih banyak berminat menjadi sukarelawan sosial-kemanusiaan dan sukarelawan politik.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Sukarelawan mengevakuasi lansia di tengah banjir yang merendam Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (18/3/2022). Sekitar 20 warga mengungsi ke tempat aman.
Dilihat dari latar belakang pendidikan, yang berminat menjadi sukarelawan sosial-kemanusiaan datang dari kelompok responden berpendidikan menengah. Sementara responden yang berpendidikan dasar lebih berminat menjadi sukarelawan kebersihan-lingkungan dan politik.
Sementara itu, dilihat dari tingkat sosial ekonomi, responden dari kalangan menengah ke bawah berminat menjadi sukarelawan sosial-kemanusiaan dan kebersihan-lingkungan. Sementara responden dari kalangan bawah lebih berminat menjadi sukarelawan politik. Kalangan berpendidikan tinggi dan dari kelompok sosial ekonomi atas umumnya tak terlalu berminat jadi sukarelawan.
Meski minat menjadi sukarelawan tergolong rendah, publik meyakini pada tahun-tahun politik menjelang Pemilu 2024 akan banyak orang yang menjadi sukarelawan politik. Fenomena ini didasari meningkatnya intensitas sukarelawan pendukung capres atau pemerintah yang berkumpul unjuk kekuatan di berbagai daerah.
Orientasi materi
Responden menganggap keberadaan sukarelawan merupakan kelompok eksklusif dalam masyarakat (68,5 persen). Citra tersebut juga tidak lepas dari penilaian bahwa kerja sukarelawan masih mengharapkan imbalan. Setidaknya 47,3 persen responden menyatakan sukarelawan bekerja tidak murni tanpa berorientasi pada materi atau imbalan.
Fenomena ini bisa dikaitkan dengan bagi-bagi uang dalam penggalangan massa atau lebih jauh lagi bagi-bagi jabatan ketika tokoh yang sukarelawan politik dukung berkuasa. Namun, masih ada 44,5 persen responden yang meyakini kerja para sukarelawan masih murni tanpa mengharapkan imbalan.
Selalu ada sisi positif dan negatif dari sepak terjang sukarelawan. Namun, sebagai elemen yang memperkuat relasi masyarakat-negara, keberadaan sukarelawan diharapkan menjadi mitra yang dapat mendorong pemerintahan berjalan lebih baik. Harapan ini diyakini 70 persen responden. Untuk itu, perlu merekonstruksi ulang citra sukarelawan menjadi lebih baik, inklusif, dan tidak berorientasi materi.
Di banyak negara lain, pemerintahan yang baru pulih dari pandemi membuka ruang-ruang kerja sama dengan sukarelawan sebagai bentuk kontrak sosial dalam merespons berbagai kebutuhan masyarakat. Hal itu untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam kemitraan yang fokus pada pemberdayaan kelompok-kelompok marjinal atau minoritas. Dengan relasi masyarakat-negara yang makin kuat, citra sukarelawan akan makin baik.