Dampak Gempa Cianjur terhadap Ekosistem Pendidikan
Pemulihan sektor pendidikan di Kabupaten Cianjur perlu mendapat perhatian. Banyaknya bangunan sekolah yang rusak berakibat mengganggu pemenuhan hak pendidikan siswa.
Ratusan sekolah rusak, puluhan ribu guru dan ratusan ribu siswa terganggu kegiatan belajar-mengajarnya di 16 kecamatan yang terdampak gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sebagai sektor sosial paling terdampak, pemulihan pendidikan perlu mendapat perhatian lebih.
Dua minggu pascagempa yang mengguncang Cianjur dan wilayah sekitarnya pada Senin, 21 November 2022 pukul 13.21 WIB, proses evakuasi korban dan pemulihan bagi penyintas terus dilakukan.
Gempa bermagnitudo 5,6 tersebut tak hanya menimbulkan ratusan korban jiwa, tetapi juga meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas kesehatan, kantor pemerintah, termasuk bangunan sekolah pun tak luput dari kehancuran.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 3 Desember 2022, sebanyak 16 dari 32 kecamatan dan 169 desa di Kabupaten Cianjur yang terdampak. Artinya separuh dari total kecamatan di Cianjur terdampak gempa dan yang mengalami kerusakan terparah adalah Kecamatan Cugenang karena merupakan episentrum gempa.
Dilaporkan 334 korban meninggal dunia, 593 orang mengalami luka berat kumulatif, 49 orang masih dirawat, 8 orang dalam pencarian, dan 114.683 orang mengungsi akibat gempa bumi yang diikuti longsor di beberapa titik.
Dari 36.419 bangunan yang rusak dari skala ringan hingga berat, 518 bangunan diantaranya adalah fasilitas pendidikan, terbanyak kedua setelah bangunan rumah.
Berdasarkan data rekapitulasi sementara Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur yang dilaporkan pada 26 November 2022, gempa yang terjadi pada jam dimana sebagian anak-anak masih belajar di sekolah itu telah menyebabkan 10 guru dan 42 siswa meninggal dunia.
Baca Juga: Pencarian Korban Gempa Cianjur Kini Fokus di Dua Lokasi
Anak dan pendidikan
Anak-anak rentan menjadi korban saat rumah dan bangunan sekolah rawan runtuh ketika diguncang gempa. Mengutip pemberitaan Kompas, 25 November 2022, BNPB mencatat 34 persen atau 51 orang dari 165 korban jiwa yang telah teridentifikasi adalah anak-anak.
Terkait ekosistem pendidikan, berdasarkan data Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2022, terdapat 1.719 jumlah sekolah atau satuan pendidikan dari TK hingga SMA/SMK termasuk sekolah-sekolah/madrasah di bawah Kementerian agama di 16 kecamatan yang terdampak gempa.
Jika tercatat 518 bangunan sarana-prasarana pendidikan yang rusak, artinya sekitar sepertiga jumlah sekolah yang ada di 16 kecamatan terdampak mengalami kerusakan. Jumlah tersebut belum termasuk 31 pondok pesantren yang juga dilaporkan rusak ataupun ambruk.
Merujuk Open Data Jawa Barat tahun 2021, tercatat ada 353 pondok pesantren di Kabupaten Cianjur, urutan kesembilan terbanyak di Provinsi Jawa Barat.
Tidak mengherankan ketika banyak pondok pesantren tempat anak-anak menimba ilmu agama Islam juga ikut terdampak, bahkan di Ponpes Tarbiyah Shibyan, Mangunkerta, Kecamatan Cugenang, dilaporkan ada 21 orang yang meninggal.
Rusaknya sarana dan prasarana pendidikan tersebut tentu mengganggu proses kegiatan belajar mengajar yang sedang dalam tahap pemulihan setelah dua tahun menghadapi pandemi Covid-19.
Belum diketahui berapa persisnya guru dan siswa yang terganggu pembelajarannya dari 518 sekolah yang rusak. Namun berdasarkan data Kabupaten Cianjur dalam Angka 2022, jumlah total guru 19.119 orang dan murid atau peserta didik sebanyak 335.947 siswa. Laporan sementara Disdikpora Kabupaten Cianjur, diperkirakan 50 persen siswa yang terdampak.
Jika dilihat hanya wilayah Kecamatan Cugenang sebagai lokasi dengan kerusakan terparah, terdapat 122 sekolah, 1.006 guru, dan 25.158 siswa di wilayah tersebut.
Artinya, bisa puluhan ribu siswa yang kehilangan waktu belajarnya karena sekolah yang rusak, belum lagi harus mengungsi karena tempat tinggalnya pun ikut hancur diguncang gempa.
Baca Juga: Masyarakat Cianjur Mulai Bertani Pascagempa
Tanggap darurat pendidikan
Kehilangan waktu untuk kegiatan belajar-mengajar tentu akan berdampak pada kualitas pendidikan anak-anak di wilayah tersebut ke depannya. Apalagi proses rekonstruksi bangunan dan pemulihan pascagempa membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Belajar dari pengalaman gempa di Palu bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018 lalu yang mengakibatkan kerusakan pada 1.299 sekolah, dibutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan hingga 2 tahun pascagempa pembangunan sekolah ada yang belum selesai.
Namun, upaya agar kegiatan belajar mengajar tidak berhenti terus dilakukan antara lain dengan menggunakan tenda-tenda darurat. Karena pendidikan adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi apa pun situasinya termasuk dalam situasi darurat.
Tanggap darurat pendidikan juga dipersiapkan secara bertahap pascagempa Cianjur. Namun, keselamatan dan pemulihan dari trauma akibat bencana menjadi prioritas utama. Pemerintah Kabupaten Cianjur menyiapkan tiga tahap tanggap darurat pendidikan pacagempa.
Tahap pertama, pemulihan kegiatan belajar mengajar bagi yang tidak terdampak dimulai pada Senin, 28 November 2022, sementara anak-anak yang terdampak masih diliburkan.
Tahap kedua, pemulihan psikologi korban dari trauma gempa dengan menempatkan lokasi pembelajaran pada tenda darurat di ruang terbuka. Anak-anak penting untuk segera mendapatkan layanan dukungan psikososial yang termasuk dalam unsur pendidikan pada situasi darurat. Tujuan utamanya untuk memastikan anak-anak dapat mengatasi rasa khawatir, takut, dan cemas akibat gempa.
Adapun tahap ketiga, menyiapkan bentuk pembelajaran yang optimal bagi peserta didik dengan memperhatikan situasi kegawatdaruratan gempa. Mekanisme belajar bisa ditempuh dengan pilihan dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).
Upaya Pemkab Cianjur tersebut tentu mendapat dukungan dari pemerintah pusat, bahkan pihak swasta dan lembaga sosial juga turut berkontribusi menangani tanggap darurat pendidikan tersebut.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan, Kemendikbudristek terus berupaya menyediakan berbagai dukungan untuk mempercepat pemulihan satuan pendidikan dan warga pendidikan, termasuk memberikan dukungan beragam model pembelajaran untuk memenuhi hak belajar anak.
Sementara untuk perbaikan bangunan sekolah akan segera dikoordinasikan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Baca Juga: Banyak Korban Anak Gempa Cianjur, Segera Audit Bangunan Sekolah
Mitigasi ekosistem pendidikan
Banyaknya anak-anak yang menjadi korban meninggal serta bangunan sekolah yang hancur di saat bencana gempa bumi terjadi pada jam belajar di sekolah menjadi pemacu untuk meningkatkan kewaspadaan dalam ekosistem pendidikan. Antara lain dengan edukasi mitigasi bencana gempa yang lebih baik di lingkungan sekolah.
Apalagi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan catatan bencana yang tinggi secara nasional. Terkait bencana kegempaan yang mengguncang wilayah Cianjur dan sekitarnya, perlu ditumbuhkan pengetahuan tentang risiko bencana tinggal di kawasan yang dilalui oleh dua sesar aktif, yakni sesar Lembang dan Cimandiri yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan gempa.
Literasi untuk melakukan mitigasi kebencanaan dalam ekosistem pendidikan penting dilakukan mengingat Indonesia rawan terhadap gempa dan sekolah beserta ekosistemnya rentan terdampak.
Kemendikbudristek sendiri telah menyelenggarakan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019.
Program SPAB ditetapkan dalam rangka meningkatkan ketangguhan satuan pendidikan terhadap bencana, sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan. Penyelenggaraannya dilaksanakan pada saat situasi normal atau pra-bencana, pada situasi darurat dan pasca bencana.
Dalam buku Pendidikan Tangguh Bencana “Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana di Indonesia” yang diterbitkan Sekretariat Nasional SPAB Kemendikbudristek tahun 2019, tercatat 52.902 sekolah yang berada di wilayah rawan gempa atau 24,05 persen dari total sekolah yang berada di wilayah rawan bencana.
Terpotret, sepanjang 2009-2018 presentase fasilitas pendidikan yang rusak akibat gempa bumi sebesar 13,93 persen, terbesar kedua berdasarkan jenis bencana.
Selain meningkatkan literasi pengetahuan risiko bencana dan upaya mitigasi, yang penting pula adalah menyiapkan bangunan sekolah yang tahan gempa.
Pengalaman gempa Cianjur lalu membuktikan dua Sekolah SD yang dibangun menggunakan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yang didesain tahan terhadap gempa, yakni SD Kidang Kencana dan SD Cibantala 1 di Kecamatan Cilaku yang bersebelahan dengan Kecamatan Cugenang, aman dari kerusakan gempa.
Hal tersebut menjadi pelajaran bersama, tidak hanya sekolah yang telah rusak terdampak gempa saja yang dibangun dengan teknologi RISHA, tetapi bagi pembangunan sekolah-sekolah baru di wilayah lain yang berada di kawasan rawan gempa sebaiknya sudah mempersiapkan kemungkinan terjadinya gempa dengan bangunan yang aman bagi ekosistem pendidikan.
Paling tidak siswa dan guru mempunyai kesempatan untuk keluar ruangan menuju lokasi yang aman ketika terjadi gempa. Belajar dari Gempa Cianjur, guncangan gempa yang hanya beberapa detik ternyata sanggup meluluhlantakkan gedung sekolah yang terlihat kokoh.
Jangankan untuk berlari, mencari tempat berlindung dalam ruangan pun mungkin belum sempat dilakukan, sehingga timbul korban cukup banyak. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Hak Anak Penyintas Bencana Perlu Dipenuhi