Matinya Filosofi Permainan di Piala Dunia
Percuma bermain indah nan filosofis bila tidak ada satu pun piala mampu dijangkau di akhir musim, begitulah dogma industri sepak bola modern.
Apakah penting bagi kesebelasan memiliki suatu filosofi permainan? Antara ya dan tidak. Ya, jika kesebelasan tersebut ingin terus dikenang dengan idealisme dan karakteristiknya. Tidak, jika membawa pulang tiga poin menjadi sebuah tuntutan dalam kompetisi.
Bagi penggemar bola kawakan, istilah-istilah filosofi permainan untuk sejumlah tim unggulan sudah tidak asing lagi. Brasil piawai memainkan joga bonito, Inggris berlari cepat dengan model kick and rush, Belanda bermain rapat ala total football, Jerman perlahan memanas layaknya der panzer, Italia setia bertahan dengan catenaccio, dan Spanyol memainkan orkestra tiki taka.
Sayangnya, kini dalam ajang Piala Dunia Qatar 2022, identitas-identitas permainan tersebut seakan mati suri, hanya menyisakan Spanyol bersama tiki tika-nya. Daripada filosofi, Piala Dunia saat ini lebih riuh dipenuhi sensasi. Mulai dari gimik para pemain, kontroversi kompetisi, sampai pertaruhan di meja-meja judi.
Keindahan dan daya magis sepak bola tidak lagi dinikmati sepenuhnya dari keringat para pemain di atas lapangan dibandingkan jumlah angka di papan skor yang justru lebih dipentingkan. Tidak salah memang, karena hasil akhirlah yang menentukan kemenangan sebuah tim.
Namun, filosofi bermain dalam suatu kesebelasan layaknya kultur yang menjadikan tim negara itu memiliki karakter dan identitas. Sejenak kembali ke final Piala Dunia 2002 antara Brasil dan Jerman. Di sana masih terlihat permainan tim ”Samba” dihiasi gocekan-gocekan memukau dan Jerman bermain layaknya kendaraan tempur panser yang terlambat memanas, tapi meyakinkan saat menyerang maupun bertahan.
Sejak lama Brasil dikenal bermain bola dengan keajaiban yang mengalir di kaki, kepala, dan dada mereka. Di kaki pemain seperti Pele, Zico, Socrates, Ronaldinho, dan Kaka, gerakan bola seakan tersihir bergerak ke arah yang mereka kehendaki. Gaya gocekan yang dimulai dari kerasnya permainan di gang-gang dan jalanan sempit Brasil telah melahirkan joga bonito (bermain dengan cantik).
Kini, Brasil seakan kehilangan ”roh mistik” para legendanya. Kemampuan individual Neymar, Rapinha, atau Antonio di skuad Brasil kali ini hanya pemanis yang hilang dalam sekali kedipan mata. Tite, Pelatih Brasil di Piala Dunia 2022, kali ini tampaknya lebih mengandalkan kemampuan sprint para pemain sayap yang menusuk ke area kotak penalti atau mengirim umpan silang ke penyerang tengah.
Memudarnya identitas permainan juga terjadi pada tim Belanda. Selama ini, tim ”Orange” terkenal dalam memegang teguh prinsip total football yang berfokus pada dua hal utama, yakni memanfaatkan ruang dan keluwesan pemain berganti posisi. Filosofi permainan ini diperkenalkan oleh Jack Reynolds, Vic Buckingham, Rinus Michels, dan Johan Cruyff di era 1970-an. Gaya total football memerlukan stamina kuat pemain karena menuntut garis pertahanan tinggi sekaligus gaya penyerangan yang memanfaatkan semua sisi lapangan.
Baca juga: Gemuruh Suporter Bola di Piala Dunia
Hanya saja, idealisme total football di skuad Belanda pada Piala Dunia kali ini tampak hanya ada di kepala Frenkie de Jong, gelandang tengah yang punya daya jelajah luas sepanjang pertandingan. Sementara secara permainan tim, Belanda sering lengah melakukan pressing saat kehilangan bola. Akibatnya, sang kapten Virgil van Dijk selalu terlihat marah-marah ketika pemain lawan berhasil merangsek menembus area pertahanan.
Beralih ke Jerman, ada baiknya mengingat kembali ucapan Gary Lineker setelah tim Inggris kalah adu penalti melawan Jerman dalam Piala Dunia 1990. ”Sepak bola itu sederhana, 22 orang berebut bola selama 90 menit, dan akhirnya Jerman menang,” begitu ujarnya. Selain karena diasosiasikan dengan tank perang buatannya, julukan Der Panzer juga merujuk pada permainan yang kaku, monoton, membutuhkan jeda (perlahan memanas), dan efektif melumpuhkan lawan.
Era 1980 hingga 1990-an adalah masa kejayaan Jerman yang mengandalkan kekuatan, kedisiplinan, dan daya tahan. Namun, kegemilangan Jerman runtuh dengan kegagalan beruntun di Piala Eropa 2000, Piala Dunia 2002, dan Piala Eropa 2004. Barulah kemudian Jerman mulai merombak ulang visi permainan di bawah arsitek Juergen Klinsmann dan asistennya, Joachim Loew, agar para pemain dapat tampil kreatif dan dinamis pergerakannya.
Reformasi sepak bola Jerman berbuah manis dengan kemenangannya dalam Piala Dunia 2014. Hanya saja, reformasi itu tak bertahan lama. Permainan Jerman dalam dua pertandingan Piala Dunia 2022 ini justru kembali ke setelan awal yang kaku dan monoton serangannya. Tanpa ujung tombak (goal poacher) yang tajam, tim Panser bagaikan kendaraan lapis baja tanpa laras senjata.
Evolusi filosofi
Meskipun secara idealisme banyak yang menyurut, tampaknya masih ada tim sepak bola yang masih berupaya mempertahankan nilai-nilai teknik pertandingannya. Salah satunya adalah tim kesebelasan dari Inggris. Filosofi kick and rush yang diperkenalkan Inggris masih dapat ditemukan cita rasanya pada Piala Dunia kali ini. Bryan Robson, Geoff Hurst, Gordon Banks, Bobby Moore, dan Bobby Charlton adalah beberapa deretan pemain yang mengangkat ketenaran gaya bermain ini di era 1980-an. Secara taktik, gaya Inggris mengandalkan umpan panjang untuk mengatur serangan daripada intensitas penguasaan bola, seturut ide Charles Reep.
Banyak pihak telah berpendapat bahwa kick and rush sudah lama ditinggalkan. Namun, di Piala Eropa 2020/21 dan Piala Dunia 2022, skuad asuhan Gareth Southgate justru mengombinasikan kick and rush dengan gaya sepak bola modern. Tengok saja panen gol di laga awal Piala Dunia melawan Iran, tiga dari enam gol Inggris disusun atas formula umpan panjang yang dipadukan dengan kecepatan sprint para pemain.
Selain Inggris, tim kesebalasan lain yang masih memegang teguh filosofinya adalah Spanyol. Tim ”Matador” ini masih mempertahankan tempo permainan operan cepat dan penguasaan bola pamungkasnya (tiki taka). Jika diartikan secara harfiah, istilah tiki taka berarti ”sentuh-sentuh” atau tidak membiarkan pemain menguasai bola terlalu lama di kakinya. Filosofi permainan yang populer sejak 2000-an ini sebenarnya merupakan evolusi dari taktik total football di era 1970-an.
Johan Cruyff dan kemudian dilanjutkan oleh Pep Guardiola di Barcelona FC adalah dua sosok utama yang membawa sekaligus mengembangkan filosofi permainan ini. ”Jika kamu menyentuh bola sekali, kamu bermain sangat baik. Jika kamu menyentuh bola dua kali, kamu bermain sedang-sedang saja. Jika kamu menyentuh bola tiga kali, kamu bermain jelek sekali,” begitulah doktrin Cruyff sewaktu Pep menjadi anak asuhnya. Rondo berestafet dari kaki ke kaki menjadi menu latihan utama baik di Barcelona maupun timnas Spanyol.
Baca juga: Tuah Pelatih Lokal di Piala Dunia 2022
Filosofi tiki taka secara simultan membawa kedigdayaan bagi Barcelona dan Spanyol di masa duet brilian Xavi Hernandez dan Andres Iniesta (keduanya sering disebut el Xaviniesta). Tiga kompetisi besar secara berturut dimenangi La Roja; Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2018. Sayang, duet el Xaviniesta mulai menua dan strategi tim lawan terus berkembang hingga akhirnya tiki taka lambat laun kehilangan daya magisnya.
Kini di Piala Dunia 2022, Spanyol berharap reinkarnasi el Xaviniesta hadir di dua pemain muda berbakatnya, Pedri Gonzalez dan Pablo Martín Páez Gavira. Layaknya anak muda yang masih dididik di lini tengah, Sergio Busquets tampil sebagai gelandang bertahan sekaligus mentor yang nantinya siap meninggalkan lapangan hijau. Hujan gol di laga pertama Spanyol kontra Kosta Rika menjadi bukti filosofi permainan masih hidup di jantung skuad Spanyol.
Sepak bola modern
Hingga kini tidak dapat ditunjuk dengan pasti penyebab memudarnya filosofi permainan di tim-tim unggulan. Sepak bola modern kini menuntut kombinasi permainan kolektif, kemampuan individu pemain, kecepatan, serta stamina kuat. Idealnya, semua lini dan aspek bertahan maupun menyerang pokoknya harus komplet.
Baca juga: Membaca Animo Publik Sambut Piala Dunia
Tuntutan industri sepak bola pun tidak kalah andilnya. Filosofi permainan yang semula bisa ditanamkan pada level klub kini terus diteror dengan raihan trofi agar sponsor tidak lari. Percuma bermain indah nan filosofis bila tidak ada satu pun piala mampu dijangkau di akhir musim, begitulah dogma industri sepak bola modern.
Filosofi penguasaan bola ala Spanyol tidak serta-merta memudahkan langkah mereka di putaran babak penyisihan Piala Dunia yang penuh kejutan kali ini. Tumbangnya Argentina dan Jerman di pertandingan perdana mereka dari tim gurem sontak menjungkirbalikkan prediksi yang bertebaran di laman-laman pemberitaan. Permainan pragmatis asal menang menjadi solusi tim unggulan tatkala bayang-bayang pulang lebih cepat terus menghantui.
Akhirnya seperti yang dituliskan penyair Friedrich Schiller dalam syairnya (Nanie, 1881), ”Keindahan pun pada suatu saat mesti mati.” Kombinasi antara filosofi dan prestasi di atas lapangan masih jauh dari titik temunya. Kemungkinan lainnya, tim-tim unggulan saat ini benar-benar menghayati filosofi yang tertulis di kuil Delphi Yunani, ”Gnothi seauton kai meden agan” yang artinya, “Kenalilah dirimu sendiri, sadarilah keterbatasanmu.” (LITBANG KOMPAS)