Literasi Sains untuk Mitigasi Bencana di Jawa Barat
Tingginya intensitas bencana perlu diimbangi dengan literasi sains kebencanaan bagi seluruh masyarakat dan para pemangku kepentingan. Hal ini berguna bagi upaya mitigasi dan penanganan pascabencana.
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan catatan bencana yang tinggi secara nasional. Beragam bencana sering kali terjadi mulai dari hidrometeorologi hingga geologi. Fenomena ini menuntut peningkatan literasi sains kebencanaan agar upaya mitigasi terus diutamakan.
Gempa Cianjur yang menewaskan lebih dari 300 jiwa menjadi pengingat bahwa wilayah Jabar memiliki risiko bencana yang sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang periode 2011-2021, ada 4.867 kejadian bencana di Jabar. Intensitas bencana tertinggi terjadi pada 2020.
Jenis bencana yang melanda Jabar sangat beragam. Terbanyak adalah tanah longsor, diikuti puting beliung, banjir, dan gempa. Sebaran wilayah bencana tergolong rata di sejumlah tempat, khususnya yang rawan secara topografi dan geologi.
Awal tahun 2021, terjadi bencana tanah longsor di Kabupaten Sumedang yang mengakibatkan 40 korban jiwa dan sejumlah bangunan rusak berat. Bencana tanah longsor lainnya juga terjadi di wilayah Kabupaten Sukabumi pada Oktober 2022 yang menelan korban jiwa sebanyak 3 orang akibat tertimbun material tanah. Faktor penyebab utama bencana tersebut di antaranya karena curah hujan yang tinggi dan karakteristik tanah lunak di area perbukitan.
Selain tanah longsor, bencana banjir juga turut melanda sejumlah wilayah di Jabar. Salah satunya di Kabupaten Cianjur pada November 2022. Sedikitnya tiga kampung terendam banjir dan menyebabkan kerusakan hingga sekitar 100 rumah. Beberapa saat sebelumnya, pada pertengahan 2022 ini banjir juga melanda wilayah Bogor dan Garut. Bahkan, di kedua daerah ini, bencana banjir juga disertai dengan tanah longsor karena guyuran hujan berintensitas tinggi. Setidaknya ada lima kecamatan di daerah tersebut yang terdampak bencana banjir dan longsor itu. Bencana berikutnya yang masih terkait hidrometeorologi adalah buting beliung. Pada September lalu, setidaknya ada 70 bangunan rusak disapu puting beliung di Kabupaten Sukabumi.
Wilayah Jabar yang marak dilanda bencana alam tersebut kian bertambah rentan dengan posisinya yang berada di jalur patahan aktif sehingga berpotensi besar terjadi gempa bumi. Bencana gempa berkekuatan M 5,6 yang terjadi pada 21 November lalu di Cianjur merupakan bukti dari ancaman bencana geologi itu. Gempa tersebut begitu merusak sehingga mengakibatkan lebih dari 300 orang meninggal dan terjadi sejumlah longsoran di area perbukitan. Bahkan, pascagempa muncul gempa susulan lebih dari 250 kali di wilayah Cianjur dan sekitarnya.
Saat ini proses tanggap darurat sedang dijalankan di wilayah terdampak. Diperkirakan masih banyak korban yang tertimbun reruntuhan atau material longsor pascagempa. Jumlah pengungsi telah mencapai lebih dari 73.000 jiwa yang tersebar di 325 titik pengungsian di 15 kecamatan.
Bencana demi bencana yang terjadi mengisyaratkan pentingnya literasi sains kebencanaan untuk pemangku kebijakan dan masyarakat secara umum. Literasi ini sangat penting untuk meningkatkan langkah mitigasi guna menjauhkan masyarakat dari bencana dan sekaligus meminimalisasi jatuhnya korban, terutama bagi wilayah yang memiliki riwayat intensitas bencana yang sangat besar.
Baca juga: Mitigasi Bencana Tanggung Jawab Bersama
Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2021, dari sekitar 5.900 wilayah setingkat desa atau kelurahan di Jabar tercatat semuanya pernah terdampak bencana minimal satu kali dalam setahun terakhir. Bencana paling berdampak adalah tanah longsor dan banjir yang melanda sedikitnya 1.290 desa di seluruh Jabar.
Kejadian bencana di Jabar tergolong sangat tinggi sehingga perlu diimbangi dengan literasi sains kebencanaan. Aspek pemahaman publik yang tepat turut menentukan keberhasilan upaya mitigasi dan penanganan saat terjadi bencana. Literasi sains menjadi sangat penting terkait upaya mitigasi itu karena membahas tentang pengetahuan dan kecakapan ilmiah individu atau kelompok agar mampu mengidentifikasi masalah dan mengambil keputusan yang tepat secara ilmiah.
Literasi sains
Literasi sains secara umum menggambarkan tentang kemampuan mengidentifikasi masalah,menjelaskan fenomena secara ilmiah, hingga mengambil kesimpulan secara sistematis. Dalam konteks kebencanaan, literasi sains dapat didefinisikan ke dalam tiga tahapan, yaitu mengetahui, menggunakan informasi, dan mengambil keputusan saat krisis.
Ketiganya harus diimplementasikan dalam seluruh tahapan manajemen kebencanaan, mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan. Level dasar dari literasi ini adalah mengetahui risiko bencana yang ada, seperti sejarah kejadian dan jenis bencana. Hal tersebut kemudian disempurnakan dengan informasi tentang mitigasi bencana.
Apabila pengetahuan publik tentang risiko bencana di wilayah tempat tinggalnya telah matang, tahapan pengolahan informasi oleh individu, kelompok, dan pemerintah daerah dapat berjalan efektif. Sering kali ditemukan adanya celah besar saat implementasi kebijakan atau program karena belum cukupnya pengetahuan tentang risiko bencana di suatu daerah.
Literasi sains yang berbasis pengolahan informasi layaknya motor penggerak dalam pengambilan keputusan saat situasi krisis. Akibatnya, semakin minim literasi kebencanaan yang dimiliki maka seseorang, kelompok, ataupun pemerintah daerah akan tergagap saat menghadapi kondisi bencana yang melanda tiba-tiba. Lemahnya literasi ini akan berdampak pada tingginya korban jiwa karena publik kebingungan harus bertindak seperti apa saat bencana terjadi ataupun penanganan pascabencana.
Terkait risiko bencana di Jabar, maka pemerintah provinsi bersangkutan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan literasi sains kebencanaan diterima oleh semua unsur masyarakat. Turunan tugasnya harus jelas, mulai dari level provinsi kemudian diteruskan hingga level kota/kabupaten, dan bermuara di level desa serta individu.
Salah satu ukuran obyektif untuk melihat tingkat literasi sains kebencanaan adalah bagaimana publik membangun kewaspadaan dan upaya-upaya mitigasi. Saat upaya pencegahan dan kesiapsiagaan sangat kurang, maka hal tersebut menggambarkan lemahnya pemahaman tentang risiko bencana di wilayah mereka sendiri.
Sedikitnya ada tiga bentuk program mitigasi bencana yang dapat diukur di level kebijakan pemerintah daerah setempat. Terdiri dari kepemilikan sistem peringatan dini, kelengkapan peralatan keselamatan, dan jalur evakuasi. Ketiganya adalah faktor paling dasar dalam implementasi manajemen kebencanaan.
Meskipun tergolong wilayah dengan risiko bencana tinggi, Jabar termasuk daerah yang minim program mitigasi bencana. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2021, desa atau kelurahan yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam hanya 13,6 persen dari total 5.957 desa atau kelurahan di seluruh Jabar.
Baca juga: Zona Gempa Cianjur dan Rumah Tahan Gempa
Tidak hanya sistem peringatan dini yang minim, desa atau kelurahan yang melengkapi dirinya dengan perlengkapan keselamatan hanya 20,4 persen. Bahkan, untuk jalur penyelamatan kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Persentase wilayah yang membuat jalur evakuasi sangat kecil, yaitu hanya 9,2 persen. Kondisi demikian menunjukkan betapa minimnya mitigasi risiko bencana alam di Jabar sehingga berpotensi besar mengancam keselamatan masyarakat di provinsi tersebut.
Lebih mematikan
Minimnya program mitigasi dari pemerintah daerah tersebut harus diimbangi dengan penguatan mitigasi melalui literasi sains kebencanaan. Dari sekian banyak bencana, gempa yang baru saja melanda Cianjur itu menjadi yang paling mematikan selama satu dekade terakhir.
Bencana alam di Cianjur tersebut membawa duka dan kehilangan yang begitu besar. Gempa berkekuatan M 5,6 dengan kedalaman hanya 10 kilometer itu mampu menghancurkan lebih dari 27.400 rumah. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi segenap warga Cianjur, Jabar, Pulau Jawa, dan sejumlah daerah lain di Indonesia bahwa gempa bumi dapat terjadi setiap waktu tanpa terduga sebelumnya. Jadi, ancaman bencana geologi ini akan terus selalu ada sepanjang masa. Oleh sebab itu, literasi sains kebencanaan menjadi suatu keharusan bagi seluruh masyarakat agar memahami langkah mitigasi bencana di wilayahnya masing-masing.
Khusus wilayah Jabar misalnya, masyarakat di provinsi ini harus mengetahui bahwa daerahnya menyimpan banyak potensi gempa yang bisa saja lebih mematikan dari pada gempa di Cianjur kemarin. Berdasarkan data BMKG, ada 10 sesar aktif yang tersebar di seluruh wilayah Jabar yang mampu memicu gempa bumi hingga berkekuatan M 6,8.
Secara akumulatif, ada 23 wilayah kabupaten/kota yang masuk kategori risiko tinggi terdampak gempa dari keberadaan sesar tersebut. Bahkan, ada sebagian kabupaten/kota yang wilayahnya dilalui tiga hingga empat sesar aktif seperti di Kabupaten Sumedang, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Untuk wilayah Cianjur yang baru saja terlanda gempa merupakan daerah yang dilalui oleh dua sesar aktif, yakni sesar Lembang dan Cimandiri.
Baca juga: Menahan Risiko Gempa Cianjur dari Kerentanan Geologis dan Lemahnya Infrastruktur
Ada sejumlah wilayah konsentrasi penduduk yang sangat berisiko tinggi terlanda bencana gempa bumi di Jabar. Opsi relokasi bisa saja dipilih, tetapi akan memakan banyak waktu dan biaya. Apalagi, sebagian besar wilayah telah terbangun sistem sosial dan budaya yang kuat. Oleh karena itu, pemahaman tentang sains kebencanaan menjadi sebuah keniscayaan karena banyak manusia harus hidup berdampingan dengan berbagai risiko bencana di wilayahnya masing-masing.
Sains kebencanaan menjadi salah satu sarana mitigasi yang penting demi menjaga keselamatan warga dari berbagai bencana. Seiring penguatan literasi, proses manajemen kebencanaan perlu dijalankan secara paralel dengan kesiapan sarana dan prasarana, mulai dari sistem peringatan dini, perlengkapan keselamatan, hingga jalur evakuasi. Berbagai upaya preventif ini harapannya dapat menjadi langkah mitigasi terbaik dalam meminimalisasi jatuhnya korban akibat terjangan bencana.(LITBANG KOMPAS)