Analisis Litbang ”Kompas”: Menolak Plastik demi Laut yang Hidup dan Menghidupi
Pengurangan penggunaan plastik menjadi langkah awal penyelamatan lingkungan, termasuk kelestarian laut. Sampah plastik menjadi ancaman kehidupan di laut.
Mengurangi konsumsi plastik berdampak besar bagi kelestarian laut yang menjadi penyokong kehidupan spesies bumi. Pilihan untuk menolak kemudahan yang ditawarkan plastik merupakan keputusan satu detik yang berdampak puluhan tahun.
Setengah juta ton sampah plastik yang berasal dari daratan bocor ke perairan. Timbulan sampah plastik karena aktivitas di laut juga tercatat di angka lebih dari 10.000 ton.
Artinya, laut menanggung beban setara dengan 200 truk sampah per hari. Tanpa adanya upaya mengurangi penggunaan plastik, laut Indonesia akan menjadi kubangan sampah yang tidak lagi bisa hidup dan menghidupi.
Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) pada 2020 mencatat sampah plastik dari daratan yang bocor ke perairan sebesar 521.539 ton.
Pilihan untuk menolak kemudahan yang ditawarkan plastik merupakan keputusan satu detik yang berdampak puluhan tahun.
Sampah plastik tak terkelola yang ada di perairan memang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Namun, temuan kebocoran sampah ke laut ini masih menunjukkan adanya potensi kerusakan ekosistem laut dari kebocoran sampah plastik.
Sepanjang tahun 2018, limbah plastik yang mencemari perairan tercatat sebesar 615.673 ton. Pada tahun 2019, angka tersebut turun 8,1 persen dan stabil turun di angka 7,9 persen pada 2020.
Meski demikian, tingkat penyusutan sampah plastik di perairan ini disumbang besar oleh makin rendahnya timbulan limbah plastik di lautan. Penurunan sampah dari daratan relatif tidak signifikan.
Hal tersebut patut mendapat perhatian mengingat sampah plastik dari darat menyumbang hampir seluruh limbah plastik yang berada di laut. Pada 2018, sampah plastik darat yang hanyut ke perairan adalah 538.182 ton.
Jumlah ini mewakili 87,4 persen dari total sampah plastik di perairan. Tak hanya besar, proporsi sampah plastik darat pun makin bertambah. Tercatat pada tahun 2020, jumlah plastik darat yang masuk ke perairan mengambil porsi 97,6 persen dari total sampah plastik laut.
Penurunan timbulan sampah plastik darat juga tidak sesignifikan timbulan sampah plastik dari laut. Pada 2019, hanya terekam penurunan 3,7 persen. Di tahun 2020, tingkat penyusutan limbah plastik yang terbuang ke perairan bahkan tak lebih dari 2 persen.
Upaya nyata untuk mengurangi penggunaan produk-produk plastik dan penguatan tata kelola sampah di laut perlu diakselerasi. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi jumlah sampah plastik di laut sampai 70 persen pada tahun 2025.
Baca juga : Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Pengelolaan Sampah Laut Paling Butuh Perhatian
Kurangi
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik. Upaya ini perlu terus didengungkan mengingat alternatif daur ulang plastik belum menunjukkan hasil optimal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) menyebut hanya 7 persen sampah plastik yang dapat didaur ulang.
Dalam tataran perilaku, komitmen pengurangan plastik perlu berangkat dari setiap individu. Pilihan untuk menolak kemudahan yang ditawarkan plastik merupakan keputusan satu detik yang berdampak puluhan tahun. Upaya pengurangan dapat dimulai dengan menekan penggunaan plastik sekali pakai.
Cara untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait isu plastik salah satunya dapat ditempuh lewat media film. Dalam film dokumenter Pulau Plastik (2021), misalnya, masyarakat akan diajak menelusuri jejak sampah plastik yang kini telah menyusup ke rantai makanan manusia.
Sampah plastik yang ditemukan di pantai, pesisir, dan laut tak jarang merupakan plastik yang telah diproduksi puluhan tahun lalu. Jenis-jenis plastik yang diklaim ramah lingkungan pun nyatanya masih terdiri dari komponen yang sulit terurai.
Potret ini harapannya mampu menyentil kesadaran publik untuk bijaksana saat memutuskan untuk menggunakan produk berbungkus atau berbahan plastik, khususnya yang hanya sekali dipakai.
Dalam serial Netflix Broken berjudul Recycle Sham, dinarasikan pula bahwa pilihan daur ulang tidak selamanya berdampak baik. Daur ulang plastik juga dapat menimbulkan masalah lain, seperti masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, dan pemborosan energi.
Dalam konteks kesehatan, misalnya, Human Rights Watch menemukan bahwa paparan bahan kimia dalam debu dan asap selama proses daur ulang membahayakan pekerja fasilitas daur ulang dan masyarakat sekitar.
Dengan begitu, kegiatan reduce dan refuse atau mengurangi dan menolak penggunaan plastik perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat luas dalam upaya penyelamatan lingkungan. Semangat ini kemudian perlu diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi produksi dan peredaran plastik sekali pakai.
Berdasarkan penelusuran, hingga tahun 2021 setidaknya sudah ada 56 daerah yang menerapkan aturan pelarangan plastik sekali pakai. Daerah ini terdiri dari tiga provinsi, yakni Bali (2018), DKI Jakarta (2019), dan Riau (2019), ditambah dengan 31 kota dan 22 kabupaten. Kebijakan ini harapannya menular ke daerah-daerah lain demi turut membentuk perilaku masyarakat yang pro-lingkungan.
Pemerintah daerah juga harapannya dapat bersinergi dengan pemerintah pusat untuk menciptakan program kolaboratif yang berdampak terukur. Misalnya saja melalui program Bulan Cinta Laut yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Program ini berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir pada pengelolaan limbah dan sampah plastik, baik dari aktivitas di darat maupun laut.
Baca juga : Potret Pejuang Lingkungan dalam Baju Sehari-hari
Menghidupi
Tidak hanya aspek lingkungan, persoalan sampah plastik di laut turut berdampak pada aspek ketahanan pangan nasional. Dengan kontaminasi plastik dan mikroplastik di laut, ekosistem laut akan terganggu dan tidak mampu lagi hidup atau bahkan menghidupi.
Padahal, laut digadang menjadi penopang pangan di masa mendatang. Laporan The 2022 Edition of The State of World Fisheries and Aquaculture – Towards Blue Transformation menyebut laut akan menjadi penopang ketercukupan pangan dunia.
Produksi makanan akuatik diperkirakan akan meningkat sebesar 15 persen lagi pada tahun 2030 demi menyediakan makanan sehat dan bergizi bagi populasi yang terus bertambah.
Ketergantungan penduduk pada laut juga semakin meningkat. Di Asia, makanan akuatik menyumbang separuh dari kebutuhan protein hewani. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Tangkapan produk laut di Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2020, tangkapan laut mencapai 6,43 juta ton. Angka ini naik 7,5 persen dibandingkan era 2010-an. Jika dibandingkan dengan empat dekade silam, produksi bahan pangan akuatik Indonesia dari laut telah meningkat hampir empat kali lipat.
Dalam gambaran yang besar, mengurangi sampah plastik berarti pula menyelamatkan keberlangsungan kestabilan pangan nasional. Akhirnya, keputusan satu detik untuk menolak plastik berpotensi menyelamatkan hidup dan kehidupan di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Siapa Mau Jadi Pejuang Lingkungan?