Analisis Litbang ”Kompas”: Capres Pilihan Presiden
Gaya komunikasi presiden turut menentukan ke mana arah dukungan politiknya di Pilpres 2024. Di sisi lain, netralitas presiden juga diharapkan tetap terjaga.
Kedudukan presiden kerap kali dipandang berada dalam ruang hampa, khususnya ketika dikaitkan dengan dukungannya terhadap sosok calon presiden di periode berikutnya. Padahal, presiden juga tidak bisa lepas dari dinamika politik di pemilu. Gaya komunikasi politik menjadi kunci bagaimana presiden memosisikan diri dalam bursa kontestasi calon presiden.
Panggung politik bergemuruh setelah Presiden Joko Widodo melemparkan kode ciri pemimpin yang memikirkan rakyat yang disampaikan dalam acara silahturahmi sukarelawan Jokowi bertajuk ”Nusantara Bersatu: Satu Komando untuk Indonesia” di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (26/11/2022). Jokowi menyebutkan, ciri pemimpin ideal itu wajahnya penuh kerutan dan rambutnya yang memutih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tak berselang lama, melalui sosial media, isu ini ramai diperbincangkan. Sejumlah tokoh publik merespons pernyataan Jokowi ini dengan membuat konten di akun media sosial mereka.
Sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang memposting foto dirinya dengan rambut hitam. Padahal, rambut Ganjar asli putih. Tentu, mudah bagi publik menangkap sinyal penyataan Jokowi tersebut cenderung mengarah ke Ganjar meskipun nama Ganjar tidak disebut secara langsung.
Gaya komunikasi politik menjadi kunci bagaimana presiden memosisikan diri dalam bursa kontestasi calon presiden.
Sebaliknya, di akun media sosialnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memposting foto diri dengan rambut sudah memutih. Tentu perubahan rambut ini menggunakan aplikasi untuk mengubah warna rambut Ridwan yang sebenarnya masih dominan warna hitam.
Berbeda dengan Ganjar dan Ridwan, Anies juga mengunggah di media sosialnya dengan tema yang sama, yakni rambut. Namun, Anies tidak secara langsung membahas warna rambut putih seperti yang diungkap presiden. Anies hanya memposting aktivitas dirinya yang baru memangkas rambut di tukang pangkas langganannya.
Selain para tokoh publik yang memanfaatkan gelombang isu setelah Jokowi menyebutkan ciri-ciri pemimpin berambut putih dan wajah penuh kerutan, respons publik sebenarnya cenderung negatif. Secara umum, wacana yang berkembang menarasikan, seorang presiden semestinya netral dalam urusan dukung-mendukung di pemilihan presiden di mana ia akan digantikan oleh presiden terpilih tersebut.
Dalam tayangan di saluran Youtube Rocky Gerung, Selasa (29/11/2022), Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla atau JK, meminta kepala negara bersikap netral di pemilu. Menurut JK, netralitas seorang kepala negara sangat penting agar demokrasi di negara ini berjalan dengan semestinya.
”Ya, artinya menjelang pemilu itu sebagai presiden, kepala negara tentu menjaga demokrasi itu sendiri berjalan dengan baik. Sebagai presiden yang tentu sudah dua kali harus betul-betul netral. Betul-betul menjaga kehidupan sesuai dengan UU,” ujar JK dalam tayangan tersebut.
Kritikan serupa juga dilontarkan Wasekjen DPP Partai Demokrat Irwan yang menyatakan tidak pantas seorang presiden memberikan endorse untuk calon penggantinya, baik secara tersirat maupun tersurat. Irwan membandingkan di era Susilo Bambang Yudhoyono. Di era menjelang berakhirnya masa jabatannya, Presiden SBY tidak pernah mempromosikan kandidat capres tertentu.
Jika ditelurusi dalam pemberitaan Kompas, Presiden SBY tidak pernah secara langsung menyebutkan afiliasi politiknya di Pilpres 2014. Namun, sejumlah aktivitas presiden terkait kontestasi capres saat itu lebih menunjukkan konsolidasi pemerintah menjelang pelaksanaan pemilihan presiden.
Dalam arsip Kompas, misalnya, pada 13 Maret 2013, ”Presiden SBY Bertemu 7 Jenderal Purnawirawan TNI Angkatan Darat di Kantor Presiden”. Para jenderal ini dimintai masukan dalam berbagai bidang, termasuk perkembangan politik menjelang Pemilu 2014 saat itu.
Tujuh jenderal tersebut adalah Letnan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal (Purn) Subagyo HS, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Letjen (Purn) Agus Widjojo, Letjen (Purn) Johny Josephus Lumintang, Letjen (Purn) Sumardi, dan Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy.
Dalam pertemuan tersebut, para purnawirawan tidak menyebutkan nama tokoh yang layak menjadi calon presiden mendatang ataupun kriterianya. Mereka hanya menginginkan, presiden terpilih mendatang mampu melanjutkan dan meningkatkan capaian bangsa saat ini, terutama di bidang ekonomi.
Sebelum pertemuan dengan tujuh jenderal tersebut, Presiden SBY mengundang Letjen (Purn) Prabowo Subianto ke kantornya. Saat itu Prabowo belum resmi maju sebagai calon presiden.
Jadi tidak ada sinyal dukungan langsung SBY terhadap sosok tertentu meskipun saat peresmian pasangan calon di mana Prabowo resmi menjadi calon presiden di Pilpres 2014, Partai Demokrat yang notabene dipimpin SBY akhirnya berada dalam barisan pendukung Prabowo.
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Menakar Efek Promosi (”Endorse”) Jokowi Terkait Capres
Gaya komunikasi
Boleh jadi cara memberikan dukungan seorang presiden terhadap calon presiden antara era Presiden SBY dan Presiden Jokowi berbeda dalam hal gaya komunuikasinya. SBY cenderung tidak secara langsung dan eksplisit menyebutkan siapa sosok yang didukungnya.
Meminjam argumentasi JK dan elite Demokrat di atas, yang menilai seorang presiden semestinya netral dan menjaga kenegarawanannya, boleh jadi cara komunikasi yang dipilih SBY tetap mempertimbangkan posisi netralitas dirinya sebagai presiden yang sedang menjabat.
Hal ini berbeda dengan gaya komunikasi Presiden Jokowi yang cenderung eksplisit meskipun dibungkus dalam kode-kode tertentu. Sebelum pertemuan Nusantara Bersatu, Presiden Jokowi juga pernah bertemu sukarelawannya dalam Rapat Kerja Nasional V Projo di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Magelang, Jawa Tengah, 21 Mei 2022.
Dalam sambutannya di acara itu, Jokowi menekankan untuk tidak terlalu buru-buru mendukung calon presiden meskipun yang ia dukung boleh jadi ada di lokasi tersebut. Nah, saat pertemuan tersebut, Ganjar Pranowo hadir mendampingi Jokowi.
Publik pun perhatiannya pasti lebih tertuju pada Ganjar dibandingkan pejabat lainnya yang juga mendampingi Jokowi. Hal ini tidak lepas dari nama Ganjar yang masuk dalam bursa calon presiden dengan elektabilitas yang cukup tinggi bersama nama-nama lain, seperti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Meskipun demikian, selain nama Ganjar, Jokowi juga pernah memberikan pernyataan secara eksplisit dengan menyebut nama Prabowo di acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-8 Partai Perindo pada 7 November 2022.
Dalam sambutannya, ketika menyinggung soal calon presiden, Jokowi menyebutkan, ”Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo.” Prabowo yang juga hadir dalam acara tersebut langsung berdiri sambil memberikan hormat kepada Jokowi.
Mengapa Jokowi cenderung eksplisit dalam mengungkap nama-nama capres dibandingkan Presiden SBY yang cenderung tertutup? Boleh jadi ini adalah cara Jokowi untuk memperkuat posisi tawarnya.
Berbeda dengan SBY yang menguasai partai dan menjadikan Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya, Jokowi tidak menguasai partai politik. Satu-satunya kekuatan Jokowi adalah dukungan sukarelawannya.
Baca juga: Panitia Bantah Ada Agenda Politik di Silaturahmi Nasional Sukarelawan Jokowi
Daya tawar
Hal ini diamini oleh peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati ,yang menilai hubungan Jokowi dengan sukarelawannya itu setidaknya menunjukkan kekuatan sukarelawan Jokowi yang militan dan loyal.
Menurut dia, Jokowi ingin menunjukkan bahwa daya tarik sukarelawan masih tinggi. Dukungan sukarelawanan ini akan menjadi daya tawar Jokowi dalam menghadapi partai politik dalam konstelasi pencalonan presiden di 2024.
Wasisto juga melihat, Jokowi ingin menepis stigma bahwa ia sebagai kader partai tidak memiliki kekuatan politik. Di partai asalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), setiap keputusan strategis, terlebih penetapan capres dan cawapres, merupakan hak prerogatif Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. ”Pak Jokowi ingin menunjukkan bahwa stigma petugas partai yang melekat di Jokowi (adalah) salah,” kata Wasisto (Kompas, 27/11/2022).
Pada akhirnya ke mana arah dukungan seorang presiden ke calon presiden akan tetap bergantung pada partai politik yang mengusung. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto sendiri sangat menyesalkan sikap elite sukarelawan yang dekat dengan kekuasaan kemudian memanfaatkan kebaikan Presiden Jokowi. Menurut Hasto, sikap itu dinilai dapat menurunkan citra presiden.
Tentu, fenomena sukarelawanan ini tidak terjadi di masa akhir periode Presiden SBY yang lebih menggunakan Partai Demokrat dalam instrumen politiknya.
Pada akhirnya, kondisi ini akan menjadi tantangan bagi Presiden Jokowi terkait bagaimana ia menempatkan diri dalam konstelasi politik. Terutama jika arah pilihan politik antara PDIP dan sukarelawanan yang menjadi kekuatannya lebih memilih jalan yang berbeda di 2024. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: PDI-P Sesalkan Pertemuan Sukarelawan Jokowi di GBK