Analisis Litbang ”Kompas”: Diplomasi Olahraga dan Geopolitik Piala Dunia 2022
Piala Dunia menjadi panggung bagi Qatar untuk menarik perhatian dunia. Sepak bola menjadi ajang diplomasi politik bagi negara ini.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Timur Tengah menjadi salah satu kawasan dengan situasi geopolitik yang kompleks dan tidak stabil. Sebagai salah satu negara termuda dan terkecil di kawasan tersebut, tak mudah bagi Qatar untuk meninggalkan jejaknya di peta politik global. Melalui eventPiala Dunia 2022, Qatar coba menunjukkan eksistensi sekaligus relevansinya di mata dunia.
Di atas kertas, Qatar bukanlah negara yang strategis. Secara geografis, posisinya negara ini cukup terpencil. Ia terletak di pesisir Teluk Persia, berbatasan dengan Bahrain, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Dengan posisi seperti ini, Qatar rentan terdampak blokade konflik wilayah. Apabila Teluk Persia ditutup, praktis arus logistik dari dan menuju Qatar akan terhambat.
Kerentanan geografis dari Qatar ini kian menjadi akibat hubungan dengan negara tetangga yang kurang harmonis. Puncak ketidakharmonisan antara Qatar dan negara sekitarnya terjadi pada 2017, di mana Arab Saudi bersama UEA, Mesir, Bahrain, dan Maladewa sepakat untuk mengisolasi Qatar.
Melalui event Piala Dunia 2022, Qatar coba menunjukkan eksistensi sekaligus relevansinya di mata dunia.
Arab Saudi menuduh Doha mendukung kelompok teroris dan memiliki kedekatan dengan Iran. Tuduhan itu telah dibantah Qatar. Setelah mengalami blokade, krisis Qatar diselesaikan oleh bantuan diplomasi Amerika Serikat sehingga boikot dihentikan pada 2021.
Dalam hal pertahanan, negara ini juga tak bisa dibilang kuat. Berdasarkan data Global Fire Power, militer Qatar berada di peringkat ke-77 dari seluruh negara di dunia.
Dibandingkan dengan negara sekitarnya, seperti Arab Saudi (20), Iran (14), dan Mesir (12), kekuatan militer Qatar jauh tertinggal. Tak heran, pertahanan negara ini juga sangat bergantung pada bantuan AS.
Meskipun begitu, secara ekonomi Qatar justru menjadi salah satu negara terkuat di kawasan Timur Tengah. Berdasarkan data dari IMF pada 2021, Qatar jadi negara dengan PDB per kapita tertinggi di kawasan tersebut. Maka, bisa disimpulkan, negara ini cukup mampu membuat masyarakatnya hidup relatif makmur.
Kekuatan ekonomi dari Qatar ini tidak lepas dari faktor energi. Berbagi nasib dengan negara Arab lainnya, bumi Qatar diberkahi dengan cadangan minyak dan gas yang melimpah.
Bahkan, data dari Energy Information Administration (EIA) AS menunjukkan, Qatar memiliki cadangan gas bumi terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Iran. Tak heran, sektor energi ini menopang sekitar 70 persen dari perekonomian Qatar.
Maka, selama ini Qatar menambatkan posisi politiknya di panggung internasional melalui pintu energi. Bagaimanapun posisinya sebagai eksportir gas alam terbesar ketiga di dunia ini membuat banyak negara bergantung kepadanya.
Namun, arah kebijakan luar negeri Qatar sedikit demi sedikit bergeser sejak awal abad ke-21. Jika sebelumnya bergantung pada minyak dan aliansi dengan Barat, negara ini mulai menemukan strategi baru untuk menegaskan posisi geopolitiknya. Strategi tersebut ialah diplomasi olahraga.
Ambisi ini terlihat jelas dari upaya Qatar untuk menyelenggarakan event olahraga internasional. Sejak 2004 hingga 2023, tak kurang dari 23 acara yang telah, sedang, dan akan diselenggarakan oleh negara tersebut. Belum lagi, Qatar juga sempat mencoba ikut beradu sebagai calon negara penyelenggara Olimpiade 2016 walau gagal.
Upaya Qatar ini berbuah manis. Selama 20 tahun, negara ini mampu menyelenggarakan beberapa acara bergengsi, seperti Piala Dunia 2022, Piala Dunia Antarklub FIFA 2019-2020, dan Asian Games 2006. Capaian ini bisa dibilang spektakuler bagi negara dengan jumlah populasi dan luas wilayah sekecil Qatar.
Sebab, acara-acara internasional ini perlu kekuatan logistik dan finansial yang tidak sedikit. Sebagai contohnya, berdasarkan catatan beberapa Piala Dunia yang lalu, rata-rata terdapat lebih dari 3 juta orang yang menghadiri pertandingan secara langsung. Artinya, Qatar harus bisa menjamu pengunjung lebih dari populasi penduduknya dalam waktu yang bersamaan.
Lantas, mengapa Qatar begitu ambisius untuk mengejar acara-acara ini? Padahal, pariwisata bukanlah penopang utama dari ekonomi Qatar? Selain itu, olahraga juga bukan menjadi budaya yang kuat di masyarakat Qatar.
Jika ekonomi, pariwisata, dan budaya bukan menjadi alasan utama, pertimbangan politik bisa jadi merupakan target utama Qatar. Dalam konteks dalam negeri Qatar, perhelatan ini memberikan rasa kebanggaan dan menumbuhkan identitas baru bagi warga. Perlu dipahami, secara politik dan kenegaraan, Qatar belum bisa dibilang mapan.
Di satu sisi, negara ini terlihat stabil karena menganut pemerintahan monarki. Namun, di sisi lain, struktur monarki di negara ini masih relatif baru setelah pergantian rezim di 1995. Bahkan, sebelumnya Qatar hanya dianggap negara boneka yang dibentuk oleh Arab Saudi.
Terlebih lagi, Qatar merupakan negara yang didominasi oleh imigran. Dari 2,9 juta penduduk negara tersebut, hanya 10 persennya yang merupakan warga negara. Walhasil, cukup sulit bagi Qatar untuk membangun indentitas kenegaraan yang jelas bagi masyarakatnya.
Dalam konteks luar negeri, keberhasilan Qatar untuk menyelenggarakan berbagai acara bergengsi ini merupakan pembuktian. Meskipun tidak punya militer sekuat Iran dan Mesir atau wilayah sebesar Arab Saudi, Qatar menjadi negara pertama yang menyelenggarakan Piala Dunia. Dari sudut pandang diplomasi, Piala Dunia menjadi pengakuan dunia yang dinanti setelah Qatar bertahun-tahun dikucilkan oleh ”saudara” sendiri.
Namun, langkah Qatar untuk menyelenggarakan acara sebesar Piala Dunia ini tidak mudah dan penuh dengan risiko. Kontroversi demi kontroversi mencuat selama masa penentuan hingga penyelenggaraan Piala Dunia kali ini. Meski mendapatkan apa yang diincar, Qatar harus membayarnya dengan harga yang mahal.
Kontroversi pertama berkaitan dengan keputusan asosiasi untuk memberikan Qatar lisensi untuk menyelenggarakan Piala Dunia. Berbagai faktor cukup memberatkan, mulai dari ketersediaan logistik, finansial, infrastruktur, hingga iklim di negara tersebut terbilang cukup ekstrem.
Bahkan, ketika musim panas, suhu di negara ini bisa menembus 50 derajat celsius. Hal ini menjadi faktor yang berbahaya bagi atlet dan penonton.
Terlebih lagi, Qatar pada 2009 bersaing dengan beberapa negara yang telah cukup mapan dan berpengalaman meanyelenggarakan acara semacam Piala Dunia, seperti AS, Belanda, Beliga, dan Inggris.
Tak heran, banyak selentingan bahwa Qatar mendapat hak untuk menyelenggarakan Piala Dunia dengan cara-cara yang kurang fair. Di satu sisi, tudingan ini sebagian terbukti melalui investigasi Kementerian Hukum AS dan Kejaksaan Agung Swiss yang menemukan serangkaian indikasi penyuapan hingga pencucian uang terkait dengan proses persiapan Piala Dunia 2022.
Selain itu, kontroversi lain yang juga muncul adalah terkait dengan dugaan perbudakan. Setelah terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar punya waktu 12 tahun untuk membangun 8 stadion beserta fasilitas penunjang lainnya. Dengan populasi yang kecil, mustahil bagi negara ini untuk bisa menyelesaikannya tanpa bantuan dari tenaga migran.
Namun, tenaga migran yang sebagian besar datang dari Asia Selatan ini dilaporkan mengalami sejumlah pelanggaran HAM. Selain dipaksa untuk tinggal di kamp yang tidak layak, mereka pun tidak diberikan kebebasan untuk berhenti atau berpindah kerja.
Dua kontroversi ini menjadi sorotan yang sempat ditujukan kepada Qatar. Namun, terlepas dari kontroversi tersebut, Qatar telah berhasil memulai penyelenggaraan Piala Dunia 2022.
Presiden FIFA Gianni Infantino memberikan apresiasi kepada Qatar yang tidak hanya menyelenggarakan Piala Dunia, tetapi juga membantu pendidikan di negara berkembang dari keuntungan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Dengan capaian ini, negara kecil Qatar telah berhasil menunjukkan eksistensi sekaligus relevansinya di mata dunia. (LITBANG KOMPAS)