Guru sebagai pemeran sentral dalam transformasi pendidikan digital harus dipersiapkan dan didukung dari hulu ke hilir agar terbentuk guru berkualitas untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Sudah 77 tahun Hari Guru diperingati, tetapi problem guru dalam visinya mencerdaskan anak bangsa belumlah tuntas. Selain persoalan kuantitas, masalah kualitas juga masih membelenggu guru. Perkembangan teknologi yang melaju semakin cepat bahkan membuat permasalahan guru menjadi semakin berat.
Pandemi Covid-19 yang datang tiba-tiba menjadi pemantik transformasi besar-besaran dalam dunia pendidikan. Ketergantungan pada teknologi menjadi suatu keniscayaan dan, demi keberlangsungan pembelajaran, guru sebagai pilar utama pendidikan rela ”jatuh bangun” mengupayakan segala bentuk pengajaran agar kegiatan belajar mengajar tetap berjalan. Oleh karena itu, tak berlebihan apabila apresiasi setinggi-tingginya diberikan kepada ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini.
Pandemi telah menunjukkan pentingnya digitalisasi dalam sistem pembelajaran. Transformasi pendidikan digital yang diakselerasi oleh pandemi Covid-19 menuntut guru sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas juga turut melakukan transformasi. Proses ini menjadi tantangan baru bagi guru yang dituntut lebih kreatif dan inovatif untuk menyukseskan program Merdeka Belajar.
Perkembangan teknologi yang melaju semakin cepat bahkan membuat permasalahan guru menjadi semakin berat.
Inovasi menjadi kunci dalam mengimplementasikan kebijakan Merdeka Belajar yang merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul.
Tahun ini pun, tema Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November mengambil tema ”Serentak Berinovasi, Wujudkan Merdeka Belajar”, untuk mendorong guru-guru supaya semakin termotivasi melakukan atau membuat inovasi-inovasi baru dalam pengajaran.
Kebijakan Merdeka Belajar yang merespons kebutuhan sistem pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 ini mendapat momentum dengan datangnya pandemi Covid-19. Salah satu terobosan yang diluncurkan adalah program Guru Penggerak.
Program yang diluncurkan pada 3 Juli 2020 ini merupakan upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam mendorong Guru Penggerak menjadi pemimpin-pemimpin pendidikan di masa depan.
Bahkan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 sebagaimana dilansir Kompas.com mengatakan, Merdeka Belajar dan kehadiran guru penggerak menjadi poin terpenting dalam peningkatan pendidikan di Indonesia.
Sebagai pendorong transformasi pendidikan di Indonesia, kehadiran Guru Penggerak diharapkan dapat mendukung tumbuh kembang murid secara holistik sehingga menjadi Pelajar Pancasila. Selain itu, juga menjadi pelatih atau mentor bagi guru lainnya untuk pembelajaran yang berpusat pada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan.
Perjalanan Guru Penggerak yang merupakan episode ke-5 Merdeka Belajar dimulai dengan tahap seleksi dan diikuti rangkaian pendidikan selama 9 bulan yang terdiri dari kelas pelatihan daring, lokakarya, dan pendampingan. Hingga tahun 2022, program Guru Penggerak telah diikuti tujuh angkatan.
Merujuk Laporan Kinerja Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek, tahun 2021 terealisasi jumlah kumulatif Guru Penggerak sebanyak 41.948 peserta, tercapai 105 persen dari target 40.000.
Capaian tersebut juga menunjukkan peningkatan sebesar 118,2 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2020 yang baru menyentuh 19.218 Guru Penggerak yang saat itu baru mencapai 68,6 persen dari target. Tren positif ini menumbuhkan keyakinan akan tercapainya target 100.000 Guru Penggerak yang menjadi target akhir Renstra 2024, yang saat ini baru terealisasi 42 persen.
Selain program Guru Penggerak, pembelajaran daring akibat pandemi juga menuntut guru lebih kreatif dalam memanfaatkan teknologi, selaras dengan kebebasan dan kemandirian dalam menjalankan program Merdeka Belajar. Tak dapat dimungkiri, tuntutan yang tak dapat dihindari oleh para pendidik ini masih menghadapi kendala karena penguasaan teknologi yang masih terbatas.
Di awal pandemi, Kemendikbudristek mengungkapkan, 60 persen guru di Tanah Air belum menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal ini menjadi ”pekerjaan rumah” tersendiri ketika guru dihadapkan pada kondisi harus menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memberikan dukungan pada guru dan meminimalisir kesenjangan. Kemendikbudristek melalui Pusdatin menyediakan sumber belajar berbasis TIK yang bisa diakses guru untuk meningkatkan literasi digitalnya.
Sejumlah toolkit pembelajaran untuk guru disediakan, seperti Rumah Belajar, TV Edukasi, Suara Edukasi, dan PembaTIK (Pembelajaran Berbasis TIK) diminati oleh guru sebagai ruang belajar. Capaian target jumlah guru kumulatif yang memanfaatkan toolkit pembelajaran pada 2021 terealisasi 749.566 orang atau 184 persen melampaui target 408.323 orang dan meningkat dua kali lipat lebih dari tahun sebelumnya.
Hal tersebut menggambarkan animo yang besar dari para pendidik untuk terus belajar mengembangkan diri agar dapat memberikan pembelajaran terbaik bagi murid-muridnya. Jumlah guru yang telah memanfaatkan toolkit pembelajaran dari pemerintah tersebut bahkan sudah mencapai 75 persen dari target akhir Renstra 2024 sebanyak 1.005.481 guru.
Di luar itu para guru juga dapat saling belajar dan berbagi melalui laman gurubelajardanberbagi.kemdikbud.go.id. Guru Belajar dan Berbagi hadir sebagai tempat bertemunya guru-guru dari berbagai bidang di seluruh Indonesia untuk bisa mengikuti ragam seri belajar serta berbagi ragam bentuk pembelajaran.
Praktik baik tersebut tentu saja untuk meningkatkan kualitas guru dan mendukung percepatan transformasi guru berkualitas meski masih menghadapi banyak kendala karena keterbatasan infrastruktur terutama di wilayah 3T (terluar, terpencil, dan tertinggal).
Berbagai upaya dan terobosan yang dilakukan pemerintah tersebut tentu saja untuk menumbuhkan profesionalisme guru yang masih menjadi persoalan. Bagaimana menghasilkan guru yang memiliki kompetensi unggul, full passion, berkarakter kuat, berkemampuan TIK, dan berwawasan masa depan. Tidak sekadar memenuhi standar guru layak sesuai undang-undang.
Terkait standar guru layak mengajar, yaitu guru dan kepala sekolah yang memiliki ijazah D-4/S-1 atau lebih, data Kemendikbudristek menunjukkan telah terjadi peningkatan persentase guru layak mengajar untuk semua jenjang pendidikan. Tahun Ajaran 2020/2021, persentase guru layak mengajar untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK sudah di atas 95 persen.
Hal ini menjadi indikator yang baik, paling tidak dari latar belakang pendidikan sudah memadai. Sementara jika dilihat pemetaan guru berdasarkan usia, terpotret rata-rata 60 persen guru semua jenjang pendidikan adalah generasi milenial, yaitu berusia <30-40 tahun. Sisanya, guru dari generasi X dan Baby Boomers, bahkan 4-13 persen guru sudah memasuki persiapan pensiun dan akan digantikan oleh generasi milenial lagi.
Artinya, dominasi guru dari generasi milenial yang memiliki ciri antara lain melek teknologi menjadi modal yang potensial dalam ekosistem pendidikan digital. Apalagi, siswa yang diajar semakin banyak dari generasi yang lahir di era teknologi digital, yang sudah berinteraksi dengan teknologi sejak lahir. Hal tersebut menjadi tantangan para guru ke depan.
Terlebih pendidikan berkualitas untuk semua dan teknologi digital dalam pendidikan merupakan dua dari empat agenda prioritas pendidikan pasca-presidensi G20.
Unifah Rosyidi, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dalam webinar Transformasi Guru Berkualitas Pascaperhelatan Presidensi Indonesia dalam G20 pada 23 November 2022 menyebut, yang diperlukan untuk mencapai dua agenda prioritas tersebut adalah transformasi yang menyeluruh dan sistematis pada dua faktor.
Faktor tersebut adalah instrumen kebijakan (kurikulum, proses pembelajaran, asesmen, dan sebagainya) dan aktor pelaksana (guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan) yang mengeksekusi instrumen kebijakan tersebut.
Untuk itu, solusi yang harus dilakukan pemerintah adalah membangun sistem menyangkut status, masa depan, dan tata kelola guru dari hulu ke hilir. Dengan demikian, akan terbentuk guru berkualitas untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. (LITBANG KOMPAS)