Moda mikromobilitas atau transportasi jarak pendek memiliki potensi besar sebagai bagian dari transportasi perkotaan di masa depan. Butuh perencanaan yang matang agar mikromobilitas dapat digunakan masyarakat luas.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
Skuter listrik dan sepeda listrik yang termasuk dalam alat mobilitas jarak dekat atau mikromobilitas mulai diminati warga perkotaan. Di sejumlah negara, alat transportasi ini diintegrasikan dengan transportasi umum. Meskipun besar potensinya untuk dikembangkan sebagai bagian dari transportasi perkotaan, dibutuhkan investasi besar dan perencanaan matang agar memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan bagi seluruh masyarakat.
Pada 2019, skuter listrik yang dikelola pihak swasta mulai muncul di kota-kota besar di Indonesia. Di Jabodetabek, skuter listrik GrabWheels milik perusahaan jasa transportasi daring Grab mulai beroperasi. Saat itu, ada sekitar 900 skuter GrabWheels yang tersebar di pusat perbelanjaan dan kawasan perkantoran.
Hanya saja, penggunaan otoped listrik itu menuai penolakan lantaran mengganggu pengguna jalan lainnya hingga menyebabkan kecelakaan yang berakibat fatal. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun akhirnya membatasi penggunaan skuter listrik itu hanya pada beberapa lokasi, yaitu kawasan stadion, tempat wisata, dan bandara.
Saat itu masyarakat lebih banyak menggunakan skuter listrik untuk rekreasi ketimbang alat transportasi. Berdasarkan hasil survei Research Institute of Socio Economic Development (RISED) pada 2019, hanya 34,8 persen responden yang memandang skuter listrik sebagai moda transportasi. Padahal, kehadiran skuter listrik itu ditujukan untuk memudahkan masyarakat bermobilitas dalam jarak dekat.
Meski demikian, kini sering ditemui di stasiun, KRL atau MRT, maupun di jalanan sejumlah orang menggunakan skuter listrik untuk membantunya bepergian dalam jarak dekat. Selain itu, skuter listrik juga digunakan untuk membantunya sebagai moda transportasi penghubung dari dan ke pemberhentian transportasi umum. Karena pemanfaatannya yang spesifik, kebanyakan pengguna skuter listrik ini memiliki sendiri unit otopetnya.
Minat terhadap skuter listrik ini nyatanya meningkat saat pandemi. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna skuter listrik yang meningkat di berbagai daerah. Menurut Ketua Electric Scooter Owner Indonesia (ESOI) Eko Sulistyo, pada 2020 penjualan moda transportasi itu meningkat 50 persen (Kompas, 2/8/2020).
Tren ini juga terjadi di belahan dunia lainnya. Ketika pembatasan mobilitas dan aktivitas akibat pandemi Covid-19 diberlakukan, skuter listrik banyak dikendarai untuk mengantarkan penggunanya bepergian dalam jarak dekat. Moda transportasi ini juga digunakan sebagai pengganti transportasi umum karena banyak orang yang menghindari keramaian dalam transportasi umum ketika bepergian.
Apalagi, secara bentuk, skuter listrik ini tidak memakan tempat dan mudah dibawa. Selain itu, tidak dibutuhkan banyak energi untuk menjalankan skuter listrik. Biaya operasionalisasi pun lebih murah dibandingkan dengan motor atau mobil. Kebermanfaatan itulah yang membuat lebih banyak orang tertarik menggunakan skuter listrik untuk bepergian dalam jarak dekat.
Manfaat
Sebenarnya skuter listrik itu hanyalah satu dari beberapa alat transportasi yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bepergian dalam jarak dekat. Di negara-negara lain, selain skuter listrik, ada pula sepeda, skateboard, hingga sepeda kargo sudah biasa digunakan untuk membantu mobilitas jarak dekat. Dalam istilah lain, alat-alat transportasi itu tergolong dalam micromobility atau mikromobilitas.
ITDP mendefinisikan mikromobilitas ini sebagai opsi transportasi efisien dan rendah emisi yang menjadi alternatif untuk perjalanan dekat. Mikromobilitas dapat berupa alat transportasi bertenaga manusia atau listrik. Biasanya memiliki kapasitas kecepatan rendah (maksimal 25 kilometer per jam) hingga kecepatan sedang (maksimal 45 kilometer per jam).
Mikromobilitas ini sebenarnya dapat dikembangkan untuk menjadi bagian dari transportasi perkotaan. Wujudnya berupa integrasi mikromobilitas dengan transportasi umum. Integrasi itu dapat membantu mengurangi beban pengguna transportasi umum saat perjalanan dari dan ke tempat pemberhentian transportasi umum atau disebut first and last mile.
First mile adalah perjalanan dari rumah atau tempat asal seseorang menuju stasiun atau halte transportasi umum. Sementara last mile adalah perjalanan seseorang dari stasiun atau halte transportasi umum ke tempat tujuan akhir.
Jurnal Solving the First Mile/ Last Mile Problem: Electric Scooter and Dockless Bicy Dockless Bicycles are Positioned to Provide Relief to Commuters o Commuters Struggling with a Daily Commute (2020) menyebutkan kesulitan menemukan transportasi dalam first-last mile membuat sebagian orang enggan menggunakan transportasi umum. Transportasi umum tidak selalu bisa mengantarkan penumpangnya sampai tujuan akhir. Para pengguna transportasi umum biasanya harus berjalan kaki atau menggunakan kendaraan lain untuk menuju tujuan akhirnya.
Dengan adanya integrasi mikromobilitas dengan sistem transportasi umum, kendala ini dapat sedikit teratasi. Pengguna transportasi umum dapat menggunakan sepeda ataupun skuter untuk menuju stasiun atau halte maupun dari situ ke tujuan akhir mereka.
Integrasi itu sebenarnya sudah dilakukan di beberapa negara. Dimulai dari sepeda, yang termasuk mikromobilitas konvensional, hingga alat-alat transportasi bertenaga listrik seperti skuter listrik dan sepeda listrik. Dengan teknologi digital, integrasi itu berkembang lebih baik dengan model bikesharing atau dockless e-bike/e-scooter.
Di Berlin, Jerman, misalnya, wujud integrasi mikromobilitas dengan transportasi umum dibantu dengan aplikasi khusus bernama Jelbi. Melalui Jelbi, tiket transportasi umum hingga penyewaan e-skuter dapat dipesan.
Jelbi juga menyediakan serta mengoordinasi penyewaan lebih dari 40.000 kendaraan seperti sepeda, mobil, dan e-skuter. Di sekitar halte atau stasiun tersedia juga parkir khusus e-skuter dan sepeda untuk mengakomodasi pengguna transportasi yang bepergian menggunakan dua alat itu.
Pengguna e-skuter juga dimudahkan dengan fleksibilitas lokasi peminjaman dan pengembalian alat. Beberapa perusahaan penyewaan e-skuter yang sudah memadukan teknologi digital memberikan keleluasaan konsumennya untuk mengembalikan alat di mana saja, tidak harus di stasiun parkir. Beberapa juga menawarkan jasa peminjaman e-skuter yang dapat diantar ke rumah.
Perencanaan
Meskipun besar potensinya, penggunaan mikromobilitas sebagai bagian dari transportasi perkotaan membutuhkan perencanaan yang matang. Hal ini menyangkut pembenahan sistem transportasi kota yang benar-benar mendasar. Mulai dari infrastruktur, ketersediaan sarana, respons masyarakat sebagai pengguna, hingga aturan hukumnya.
Melihat contoh kasus di Milan, Italia, pengembangan mikromobilitas sebagai bagian dari transportasi perkotaan yang berhasil menunjukkan perlunya langkah nyata dari pemerintah setempat. Saat pandemi, Milan melakukan pengembangan mikromobilitas melalui sebuah perencanaan yang disebut strade aperte atau open street.
Dalam rencana itu, pemerintah kota Milan menambah zona jalur sepeda sejauh 35 kilometer dan target 100 kilometer pada April 2021. Kendaraan yang melintas di zona itu harus dengan kecepatan maksimal 32,2 kilometer per jam. Selain itu, mereka juga menambah unit e-skuter untuk disewakan kepada masyarakat dari 2.500 unit menjadi 6.000 unit.
Milan juga terus menambah investasinya untuk mikromobilitas. Biaya sebanyak 6,5 juta dollar AS telah dianggarkan untuk menambah lebih banyak sepeda listrik dan skuter listrik. Investasi itu tidak sia-sia. Per November 2021, tercatat ada 5.000 hingga 6.000 sepeda dan skuter melintas di jalanan setiap harinya. Capaian itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi.
Contoh kasus dari Milan memang menginspirasi untuk mengembangkan mikromobilitas di daerah lain, termasuk Indonesia. Hanya saja, di Indonesia, hal itu masih sulit untuk diterapkan.
Jalanan kota-kota besar Indonesia masih didominasi oleh motor dan mobil sebagai kendaraan utama. Jalur sepeda yang telah disediakan masih sering dilewati motor dan mobil saking padatnya jalanan. Dengan kondisi seperti ini, pengguna sepeda dan skuter akan kesulitan melewati jalan karena harus bersaing dengan kendaraan lainnya.
Bahkan, jika jalur mikromobilitas tersedia di trotoar, tampaknya tetap akan mempersulit penggunanya. Trotoar yang selama ini tersedia di jalanan masih kurang layak kondisinya. Butuh perombakan besar-besaran jika mikromobilitas menjadi bagian dari transportasi perkotaan.
Meski demikian, bukan tidak mungkin sepeda listrik dan skuter listrik akan meramaikan jalanan kota-kota besar Indonesia di masa depan. Ketika saatnya tiba, akan butuh perencanaan matang dan ketegasan aturan hukum agar pengguna jalan tetap aman dan nyaman melintas.
Sementara belum ada perencanaan itu, pengguna mikromobilitas diharapkan dapat dengan sadar dan siap menjaga keselamatan diri dan pengguna jalan lainnya saat mengendarai alat itu. (LITBANG KOMPAS)