Menguatkan Kembali Komitmen Reduksi Emisi Karbon dalam COP27
Kegagalan reduksi emisi karbon akan menyeret bumi pada krisis iklim dan kesehatan. Akibatnya, terjadi penambahan frekuensi kejadian bencana serta serangan wabah penyakit yang melanda banyak negara.

Pemandangan gedung bertingkat yang diselimuti kabut polusi udara di kawasan Jakarta, Senin (6/6/2026). Menurut data AirVisual, situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia, pada senin pukul 13.00 nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Kota Jakarta adalah 161 atau masuk dalam kategori tidak sehat.
Sejumlah negara kembali menguatkan komitmen mereduksi emisi karbon untuk menekan laju krisis iklim global. Penguatan komitmen ini kembali digaungkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim ke-27 atau COP27. Sedikitnya ada 120 negara yang berpartisipasi dalam ajang COP27 yang diadakan di Sharm el-Sheikh, Mesir, kali ini.
Seiring makin jauhnya target penanganan krisis iklim melalui pembatasan emisi karbon oleh negara-negara anggota, COP27 dibayangi rasa pesimistis. Emisi karbon tercatat terus menunjukkan kenaikan meski sejumlah komitmen sudah disepakati sejak beberapa tahun silam. Artinya, krisis iklim sudah di depan mata dan penduduk bumi harus siap menghadapinya.
Berdasarkan data yang dihimpun Global Carbon Project, emisi karbon tahun 1900-an sebesar 6,06 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Lonjakan terbesar mulai muncul tahun 1960, saat emisi karbon meningkat hingga 41,3 persen di angka 16,18 miliar ton CO2e. Tren positif emisi karbon tampak tak terbendung hingga mencapai 38,02 miliar ton CO2e pada tahun 2020.
Implikasi kenaikan emisi karbon tersebut sangat besar. Laporan terbaru Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) tahun 2022 memperingatkan seluruh negara bahwa kenaikan suhu 1,5 derajat celsius akan terjadi dua dekade mendatang. Imbasnya, kejadian katastropik akan lebih sering terjadi, mulai dari bencana hingga wabah penyakit.

Baca Juga: Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
COP27 seharusnya menjadi momentum penguatan komitmen negara-negara anggota yang memang secara sadar menjadi penyumbang emisi karbon ke atmosfer. Berkaca dari hasil COP26 yang relatif mengecewakan karena kegamangan negara-negara memperkuat pembatasan emisi, agenda tahun ini ditetapkan lima target utama untuk mengejar ketertinggalan.
Target pertama adalah mengubah skala dan waktu implementasi kebijakan yang disesuaikan kembali dengan Kesepakatan Paris dan nota kesepakatan COP26 di Glasgow tahun lalu. Kedua, transformasi adaptasi yang lebih radikal, khususnya bagi negara dan komunitas berisiko tinggi. Ketiga, evaluasi mekanisme penanganan situasi krisis di level komunitas di setiap negara.
Keempat, memperbaiki pendanaan iklim, khususnya bagi negara berkembang yang intensitas kegiatan industrinya sedang mengalami kemajuan. Kelima, memastikan transisi kebijakan yang mendukung penanganan krisis iklim berjalan dengan cepat dan tepat. Unsur kepemimpinan makin menjadi urgensi yang menentukan keberhasilan program-program pembatasan emisi karbon di setiap negara.
Seluruh target COP27 ditujukan untuk mendorong pengurangan emisi karbon agar suhu global tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Salah satu instrumen yang digunakan adalah perumusan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang wajib bagi semua negara anggota. NDC merupakan rencana komitmen dan kontribusi negara dalam memotong emisi karbon guna meredam laju krisis iklim.
Hingga November 2022, jumlah negara yang telah mengumpulkan dokumen terbaru NDC baru 25 negara, sisanya 167 negara terpantau belum ada. Mirisnya, dari 25 negara yang telah mengumpulkan, hanya 4 negara yang tercatat melakukan penguatan target pengurangan emisi karbon. Sementara 5 negara lainnya, termasuk Indonesia, tidak ada penguatan target di dokumen NDC tahun 2022.
Berkurangnya komitmen banyak negara dalam pengurangan emisi karbon menggambarkan tidak memadainya upaya penanganan krisis iklim sehingga dibutuhkan tindakan lebih ambisius. Salah satu penyebab kendornya komitmen itu adalah peperangan antara Rusia dan Ukraina yang telah terjadi lebih dari 8 bulan terakhir.
Perang tersebut berdampak secara global sehingga menyeret banyak negara masuk dalam krisis pangan dan energi. Rusia dan Ukraina menjadi negara pemasok gandum terbesar di dunia. Tak hanya itu, ketahanan energi daratan Eropa sebagian ditopang oleh suplai dari Rusia sehingga kondisi perang tentu sangat merugikan.
Imbas terbesar dari situasi perang adalah krisis ekonomi yang akhirnya memaksa banyak negara Eropa menggunakan kembali energi fosil untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi ini menjadi bukti kemunduran upaya pengurangan emisi karbon secara global.
Bencana dan wabah
Hambatan yang muncul terhadap upaya penanganan krisis iklim perlu segera dibenahi. Salah satunya melalui kesepakatan dalam COP27 tahun ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap negara memiliki kepentingan masing-masing, tetapi dampak pemanasan global sangat nyata dan efeknya sangat luas melanda berbagai negara di dunia. Jadi, diperlukan komitmen dan kerja sama yang kuat antarnegara di dunia.
Laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa emisi karbon semua negara masih terbilang sangat besar dan jauh dari penanganan yang tepat. Hasil pantauan UNEP menunjukkan, dengan target NDC saat ini, pengurangan emisi karbon hingga 2030 hanya sebesar 0,5 miliar ton CO2e. Angka tersebut sangat kecil karena masih ada kelebihan target reduksi emisi karbon sebanyak 23 miliar ton CO2e.
Baca Juga: Dilema Pembangunan dan Peningkatan Emisi Karbon

Besarnya proyeksi ”kegagalan” reduksi emisi karbon itu akan menyeret bumi pada krisis iklim. Hasil riset IPCC menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan krisis iklim secara global. Dua hal yang paling mungkin terjadi adalah penambahan frekuensi kejadian bencana serta serangan wabah penyakit. Kuantitas penambahannya bisa berkali-kali lipat dan menyebabkan jutaan manusia menderita.
Laporan IPCC tahun 2022 yang berjudul Climate Change 2022: Impacts, Adaptation, and Vulnerability menunjukkan ada dua sistem global yang sangat terdampak karena krisis iklim, yaitu sistem ekologi dan kehidupan manusia. Kerusakan ekologi terjadi secara cepat dan berdampak luas. Mulai dari anomali suhu laut yang menyebabkan banyak spesies ikan, terumbu karang, dan mamalia punah hingga perubahan siklus hidup makhluk hidup atau dikenal dengan kalender fenologi.
Sementara itu, dampak bagi kehidupan manusia terbagi menjadi tiga aspek, yaitu ketersediaan air bersih dan pangan, kesehatan dan kesejahteraan, serta keberlanjutan kota, permukiman, dan infrastruktur. Pasokan air bersih dan pangan sudah dipastikan akan terganggu karena adanya krisis iklim. Produksi tanaman pangan dan peternakan juga akan terdampak dan menurun.
Aspek kesehatan publik akan terancam kolaps karena wabah penyakit menular yang makin sering terjadi. Diperparah dengan adanya gangguan di sektor pertanian sehingga berimbas pada munculnya kelaparan, stunting, hingga kematian bayi dan ibu melahirkan karena kurangnya nutrisi. Tak hanya itu, kesehatan mental publik diyakini akan terganggu karena situasi sosial-ekonomi yang turut memburuk setiap hari.
Aspek terakhir dalam kehidupan manusia yang terdampak krisis iklim adalah kerusakan kota karena kejadian bencana banjir, intrusi air laut, hingga kerusuhan karena keterbatasan sumber daya. Dampak ikutan turut yang muncul adalah runtuhnya ketahanan ekonomi publik yang salah satunya berupa resesi ekonomi.
Indikasi perburukan kondisi karena krisis iklim makin banyak dan berimbas pada semua sektor kehidupan. Keadaan bisa saja kian tidak terkendali apabila langkah-langkah yang diambil negara-negara di COP27 tidak ambisius. Salah satu alasan makin sulitnya mengendalikan situasi adalah penambahan jumlah penduduk yang besar. Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB menyatakan bahwa penduduk Bumi akan mencapai 8 miliar orang pada pertengahan November 2022.
Populasi manusia di bumi diperkirakan terus bertambah hingga tiga dekade mendatang. Estimasi PBB menunjukkan bahwa jumlah manusia mencapai hampir 10 miliar jiwa pada 2050. Ini adalah peringatan keras bagi seluruh negara bahwa usaha menekan krisis iklim bisa saja terancam gagal. Makin banyak manusia, krisis iklim makin sulit terbendung karena segala aktivitas manusia sebagian besar akan menghasilkan emisi karbon.
Perkuat komitmen
Perjalanan panjang kesepakatan global untuk mengurangi emisi karbon telah dimulai sejak tahun 1992 silam di Rio de Janeiro, Brasil. Saat itu, PBB mengumpulkan pemimpin-pemimpin negara dalam forum Earth Summit dan melahirkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Komitmen yang telah dibentuk 3 dekade silam harus diperkuat tiap tahunnya.
Sepanjang 3 dekade ini telah banyak dilahirkan komitmen kebijakan ambisius melalui ajang COP. UNFCCC bertransformasi dan menghasilkan Protokol Kyoto pada 1997 yang mengharuskan negara-negara maju menetapkan batas emisi karbon hingga tahun 2012. Secara kolektif target Protokol Kyoto akan mengurangi 5,3 persen emisi karbon dibandingkan tahun 1990.
Protokol Kyoto telah berjalan, kemudian komitmen diperkuat kembali melalui Paris Agreement tahun 2015 lalu. Isi kesepakatan tersebut tidak lagi menargetkan negara maju saja, tetapi semua negara harus membatasi emisi karbon. Negara-negara sepakat membatasi pemanasan global tidak melebihi 2 derajat celsius dibandingkan masa praindustri.

Seorang pengunjung mengambil foto panel surya di PLTS Sengkol di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pembangkit listrik Sengkol dan dua pembangkit listrik tenaga surya lainnya di Selong dan Pringgabaya, Lombok Timur, masing-masing memiliki kapasitas terpasang 5 megawatt dan merupakan komitmen pemerintah untuk menggunakan energi baru terbarukan.
Baca Juga: Optimisme Pencapaian Bauran Energi Baru Terbarukan
Lahirnya Paris Agreement menandakan era penguatan komitmen negara-negara melalui instrumen dokumen Nationally Determined Contributions (NDC). Dokumen NDC merupakan rencana nasional sebuah negara dalam menentukan target pengurangan emisi dan tahun tercapainya target tersebut. Hasil pantauan dokumen NDC hingga 2022, sejumlah negara memiliki target net zero emission antara tahun 2050 dan 2070.
Net zero emission merupakan kondisi saat jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap kembali oleh bumi. Artinya, semua emisi karbon yang diproduksi akan diserap penuh sehingga tidak menyebabkan pemanasan global. Istilah lainnya disebut karbon negatif. Bagi negara maju, karbon negatif harus tercapai pada 2050.
Beragam dampak negatif dari pemanasan global telah diprediksi oleh banyak peneliti dan lembaga riset di seluruh dunia. Pesan untuk melakukan langkah-langkah ambisius juga telah diserukan banyak pihak di berbagai kesempatan dan forum. Sebagai salah satu pertemuan tingkat tinggi pemimpin-pemimpin dunia, penyelenggaraan COP27 menjadi momen penting dalam upaya penyelamatan bumi.
Hal-hal yang menghambat komitmen pengurangan emisi karbon hendaknya diselesaikan dengan segera, termasuk konflik di dalam negeri atau antarnegara. Selain itu, perlu kolaborasi antara negara-negara maju dan negara-negara lainnya yang tengah berkembang untuk bersama-sama mereduksi emisi karbon. Negara maju ”berkewajiban” membantu setidaknya dari segi pendanaan, ilmu pengetahuan dan keahlian, serta transfer teknologi kepada negara-negara kelas ekonomi di bawahnya agar terjalin visi yang sama dalam mengahadapi krisis iklim yang berefek secara global. (LITBANG KOMPAS)