Implikasi Makroekonomi dari Ledakan Penduduk Dunia
Pesatnya perkembangan jumlah penduduk akan memberikan tekanan berat bagi perekonomian makro dunia. Beban itu akan sangat terasa terutama bagi negara-negara yang relatif miskin dan minim sumber daya.

Perkampungan padat penduduk di Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, yang berada di pinggir Sungai Ciliwung, Senin (10/10/2022). Sebagian rumah di perkampungan ini tergenang banjir akibat meluapnya Ciliwung.
Pada pertengahan November 2022, PBB memperkirakan penduduk dunia akan mencapai 8 miliar jiwa. Jumlah penduduk yang kian besar ini berimplikasi luas bagi perekonomian makro dunia. Perlu sejumlah langkah antisipasi agar berbagai proyeksi persoalan dapat termitigasi secara optimal.
Dalam buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga karya Michael P Todaro, seorang profesor ilmu ekonomi dari New York University menyebutkan bahwa permasalahan pertumbuhan penduduk memiliki dua makna. Pertama, pertumbuhan bukan sebagai masalah sebenarnya dan, yang kedua, pertumbuhan sebagai penyebab masalah sesungguhnya.
Pertumbuhan penduduk sebagai permasalahan semu diartikan bahwa dengan banyaknya penduduk berpotensi memunculkan berbagai permasalahan lain di luar populasi itu sendiri. Di antaranya akan melahirkan persoalan tentang keterbelakangan ekonomi, penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, penyebaran penduduk yang tidak merata, serta rentannya posisi kaum perempuan.
Masalah keterbelakangan ekonomi menjadi isu yang kerap dikaitkan dengan negara yang belum maju, yang jumlah penduduknya banyak, tetapi belum mampu memberikan kesejahteraan secara merata. Negara-negara yang padat penduduknya ini identik dengan kemiskinan, tingkat pendidikan yang relatif rendah, kualitas kesehatan yang belum baik, serta memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi antaranggota keluarga. Permasalahan seperti ini akan semakin menyusut atau berkurang seiring membaiknya kualitas pembangunan perekonomian suatu negara. Fase seperti ini umumnya juga dialami oleh negara-negara maju pada periode masa lalunya.
Permasalahan laten lainnya adalah penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Pertambahan jumlah penduduk selalu dikaitkan dengan kekhawatiran akan sulitnya konsumsi pangan dan juga menurunnya kualitas lingkungan di seluruh dunia. Hanya saja, ketika dilihat secara global, sebetulnya yang banyak menyebabkan degradasi lingkungan justru negara-negara maju.
Data Bank Dunia menunjukkan jumlah penduduk negara maju yang hanya kurang dari seperempatnya penduduk dunia ternyata mengonsumsi sumber daya alam global hingga kisaran 80 persen. Negara-negara yang berada di level ekonomi lebih rendah ternyata memiliki tingkat konsumsi sumber daya alam jauh lebih kecil. Bahan-bahan pangan, energi, sumber daya material, dan sumber daya alam lainnya sebagian besar terserap di negara-negara maju daripada negara lain yang lebih rendah kualitas perekonomiannya.
Akibatnya, tingkat emisi karbon yang dihasilkan masyarakat negara maju menjadi yang terbesar di antara penduduk dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, emisi karbon yang dihasilkan penduduk negara-negara maju pada kurun 2010-2019 rata-rata lebih dari 10 ton per kapita setahun. Angka ini terpaut jauh dari buangan emisi karbon rata-rata penduduk dunia yang hanya sekitar 4,5 ton per kapita per tahun. Tingginya buangan emisi karbon itu mengindikasikan bahwa konsumsi barang dan jasa di negara maju sudah sangat masif sehingga menghasilkan efek negatif bagi lingkungan yang juga sangat besar.
Baca Juga: Ancaman Resesi dan Kegagalan Emisi Nol Dunia 2050

Hanya saja, jika melihat penyebab, emisi karbon secara global lebih didominasi negara-negara berkembang yang tengah bertransformasi menuju negara maju. Banyaknya industri yang sangat masif dikembangkan di negara-negara dengan level pendapatan menengah atas (upper middle income), pendapatan menengah (middle income), dan pendapatan menengah rendah (lower middle income). Setiap tahun, ketiga kelompok negara ini rata-rata menyumbang emisi karbon ke atmosfer dunia lebih dari 20 juta kiloton. Angka ini terpaut cukup jauh dengan negara-negara maju yang menyumbang emisi karbon sekitar 12 juta kiloton setahun.
Meskipun demikian, tingginya emisi karbon di negara level negara berkembang sebagian besar juga berkaitan erat dengan negara-negara maju. Banyaknya perusahaan multinasional yang dimiliki negara-negara maju terus melakukan ekspansi usaha dan produksi ke negara-negara berkembang. Demi efisiensi produksi dengan menekan biaya tenaga kerja dan bahan baku, sejumlah industri besar di bangun jauh dari negara asalnya. Selain memasifkan pemasaran, langkah ini untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi dengan harga terjangkau.
Langkah tersebut menjadi benefit bagi negara berkembang yang sangat membutuhkan investasi guna menyerap lapangan pekerjaan di negaranya. Namun, secara lingkungan, langkah ini menjadi semacam pengalihan sumber emisi karbon yang sejatinya dari negara maju bergeser ke negara-negara berkembang.
Persoalan semu lainnya dari pertambahan jumlah penduduk adalah ketimpangan penyebaran penduduk dan rentannya status perempuan. Daerah yang cenderung minim potensi ekonomi akan relatif sepi dan ditinggalkan penduduknya. Akibatnya, muncul masalah urbanisasi yang semakin membebani masalah perkotaan. Negara-negara berkembang acap kali kesulitan mengantisipasi fenomena urbanisasi karena sulitnya meratakan pembangunan antara kawasan desa dan perkotaan.
Negara yang mengalami fenomena tersebut posisinya kian dilematis dalam memosisikan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Terbatasnya lapangan pekerjaan serta tingkat pendidikan yang umumnya relatif rendah membuat posisi kaum perempuan kian terpinggirkan. Kondisi demikian membuat status kaum perempuan menjadi tidak begitu diperhitungkan dalam berbagai lini sektor kehidupan.
Permasalahan sebenarnya
Uraian tersebut mengindikasikan bahwa multiplier effect dari masifnya pertumbuhan penduduk sangatlah luas. Hampir setiap negara akan mengalami fase ”efek semu” seperti ini. Hanya saja, karakteristik persoalan yang berbeda di setiap negara menuntut pendekatan yang khas dan beragam disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi negara bersangkutan.
Secara umum, masalah ”tidak sebenarnya” itu akan diawali atau disertai dengan permasalahan ”sebenarnya” ketika terjadi fenomena lonjakan jumlah penduduk. Secara umum, ada tujuh konsekuensi negatif yang berlaku di semua negara dari pertumbuhan penduduk yang pesat.

Suasana permukiman padat yang sebagian besar dihuni warga miskin di tepi Sungai Ciliwung yang membelah wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (10/10/2022). Tingginya target pemerintah dalam menekan angka kemiskinan pada kisaran 7,5-8,5 persen pada 2023 perlu didukung dengan keberpihakan lewat kebijakan dan politik anggaran pemerintah.
Baca Juga: Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia
Pertama, ledakan penduduk akan cenderung menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, terutama bagi negara-negara berkembang yang kondisi dasarnya masih miskin. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakatnya masih mengandalkan sektor pertanian, tetapi terbatas kepemilikan lahan dan sumber daya alam.
Kedua, terjadi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan terutama bagi masyarakat yang sulit mengakses pekerjaan. Dengan semakin banyak manusia, persaingan mendapatkan pekerjaan kian sulit. Di sisi lainnya, daya tawar pekerja kian rendah sehingga akan cenderung diberi upah murah oleh para pengusaha. Akibatnya, masih rentan terjadi kemiskinan dan ketimpangan yang lebar dengan kaum pemodal.
Dampak berikut yang terjadi relatif simultan adalah menurunnya kualitas pendidikan, rendahnya pelayanan kesehatan, dan anggaran penyediaan pangan yang terus meningkat. Semakin banyak jumlah penduduk, peranan negara untuk meningkatkan kualitas kehidupan juga semakin besar.
Anggaran pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan dan jaminan kesehatan semakin besar. Apabila pemerintah terkendala pendanaannya, beban yang ditanggung masing-masing individu di setiap negara akan kian besar. Biaya untuk bersekolah dan berobat akan kian mahal sehingga akan berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan dan angka harapan hidup yang relatif kecil karena banyaknya orang sakit yang tidak terobati.
Demikian juga dengan penyediaan pangan, beban beban negara untuk menjamin harga pangan yang terjangkau akan kian besar dengan semakin banyaknya penduduk. Pemerintah harus berupaya mengakselerasi produksi pangan agar dapat memenuhi permintaan domestik. Bahkan, berbagai alternatif pilihan impor juga harus segera dilakukan agar tidak terjadi defisit suplai pangan. Apabila negara gagal menyediakan stok pangan ini, asupan gizi penduduk akan berkurang sehingga akan menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Persoalan berikutnya yang juga sangat krusial akibat jumlah penduduk yang kian besar adalah degradasi lingkungan. Pengolahan tanah yang kian masif demi penyediaan pangan dan industrialisasi untuk meningkatkan kualitas kehidupan nyatanya berefek secara negatif bagi lingkungan. Berbagai bahan pencemar lingkungan selalu diemisikan setiap saat, baik itu di darat, air, maupun udara. Akibatnya, daya dukung lingkungan kian rendah dan muncul berbagai anomali cuaca beserta iklim yang menimbulkan berbagai dampak, seperti bencana alam dan perubahan siklus alam yang merugikan pertanian.
Terakhir, dengan adanya ledakan penduduk di sejumlah negara berkembang dan negara ekonomi lebih rendah akan menimbulkan gelombang migrasi internasional. Negara-negara maju yang sudah menikmati banyak kemakmuran akan merasakan dampak sosial ini. Pada 2017, negara-negara maju dan negara level pendapatan menengah tinggi (upper middle income) menjadi tujuan migrasi sekitar 18 juta penduduk dari berbagai negara.
Baca Juga: Pemudik, Cerminan Fenomena Migrasi Indonesia

Para imigran berjalan meninggalkan Huixtla, Negara Bagian Chiapas, Meksiko, untuk melanjutkan perjalanan ke utara menuju negara bagian utara Meksiko dan perbatasan AS, Rabu (27/10/2021). Imigran dari negara-negara Amerika Tengah itu berjalan ke arah perbatasan AS untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya untuk menghindari kekerasan dan krisis ekonomi yang diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Di sisi lain, sejumlah negara dengan level ekonomi menengah ke bawah telah ditinggalkan oleh 23 juta penduduknya. Sulitnya meningkatkan kualitas kehidupan di sejumlah negara berkembang ini membuat beberapa penduduknya bermigrasi ke sejumlah negara yang relatif lebih makmur dari negara yang ditinggalkan.
Berbagai fenomena akibat ledakan penduduk tersebut pada akhirnya menciptakan suatu relasi hubungan yang kuat antara negara berkembang dan negara maju. Pasalnya, berbagai efeknya juga berimbas besar bagi negara-negara advanced economics sehingga perlu kolaborasi yang kuat agar berbagai masalah tersebut dapat teratasi.
Oleh sebab itu, perlu dukungan dari negara kaya untuk mendorong kemajuan bagi negara lainnya yang relatif masih berkembang. Dukungan tidak hanya terbatas pada penyediaan bantuan keuangan dan investasi, tetapi juga relasi menjalin rantai perdagangan, transfer teknologi, pengembangan riset, perbaikan harga komoditas bahan mentah, serta kolaborasi pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, seluruh dunia akan agile, adaptif, dan kolaboratif menghadapi lonjakan penduduk yang akan terus bertambah secara masif. (LITBANG KOMPAS)