Ke Mana Pilihan Warga NU Berlabuh pada Pemilu 2024?
Pemilih dari kalangan warga Nahdlatul Ulama adalah cerminan dari wajah pemilih secara nasional. Karakter pemilihnya lebih terbuka dan otonom. Siapa yang bisa menarik simpati pemilih nahdliyin ini?
Oleh
YOHAN WAHYU
·4 menit baca
Pemilih dari kalangan warga Nahdlatul Ulama cenderung mencerminkan gambaran dari pemilih secara nasional. Pilihan terhadap partai politik maupun kepada tokoh yang digadang menjadi calon presiden, relatif tidak jauh berbeda dengan gambaran pilihan dari pemilih secara umum. Ini menjadi sinyal karakter pemilih nahdliyin yang relatif terbuka, menyebar, dan tidak tunggal.
Gejala ini setidaknya terekam dari tiga kali survei tatap muka yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang tahun 2022 ini. Pilihan responden berlatar belakang warga Nahdlatul Ulama, yang notabene ormas keagamaan terbesar di Indonesia, cenderung mencerminkan pilihan secara umum responden secara nasional.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kita lihat dari sisi bursa tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden di Pemilu 2024, responden dari kalangan NU ini juga memunculkan tiga nama teratas yang selama ini mendominasi tingkat elektabilitas calon presiden.
Pemilih dari kalangan warga Nahdlatul Ulama cenderung mencerminkan gambaran dari pemilih secara nasional.
Ketiga nama itu adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Secara umum, di tingkat responden umum, tiga survei Litbang Kompas ini menyebutkan, tingkat elektabilitas ketiga nama tokoh tersebut rata-rata sudah menguasai 60 persen pilihan responden. Hal yang sama juga bisa kita lihat di pilihan responden warga NU. Menariknya, selain mendominasi elektoral di tingkat responden survei, ketiga nama ini di tiga survei tersebut juga mengalami dinamika di antara ketiganya.
Dinamika itu terjadi terkait pergeseran angka elektabilitas di tiga nama tokoh ini. Di responden pemilih NU, penguasan angka elektabilitas ketiga nama tersebut juga mencapai rata-rata 60 persen. Namun, di tiga nama ini terjadi naik turun di masing-masing angka elektabilitasnya. Hal ini bisa diartikan ada gejala peralihan dukungan yang terjadi di antara ketiga nama tersebut.
Kita mulai lihat dari elektabilitas Ganjar Pranowo. Di mata responden warga NU, nama Ganjar relatif stabil menjadi pilihan teratas. Rata-rata tingkat elektabilitas Gubernur Jawa Tengah ini berada di angka 23,6 persen.
Dengan mempertimbangkan margin error, elektabilitas yang diraih Ganjar di tiga kali survei, di mata responden NU, relatif stabil. Di survei Juni angkanya sempat menurun 2,4 poin dibandingkan survei Januari. Namun, di survei Oktober ini kembali naik seikit 1,5 poin.
Kemudian, Prabowo Subianto dinamikanya cenderung lebih tinggi tensinya. Di tiga survei ini, elektabilitas Prabowo rata-rata berada di angka 22,4 persen.
Elektabilitas Prabowo awalnya relatif stabil seperti halnya Ganjar, terutama di survei Juni dibandingkan dengan Januari 2022. Namun, di survei Oktober ini angkanya menurun hampir 6 poin. Jika di survei Juni lalu tingkat keterpilihannya mencapai 24,4 persen, di survei Oktober ini turun menjadi 18,5 persen.
Karakter pemilih dari kalangan nahdliyin yang relatif terbuka, menyebar, dan tidak tunggal.
Data juga menunjukkan penurunan angka ini karena ada kecenderungan pemilih NU yang memilih Prabowo lebih mengalihkan dukungan ke Anies Baswedan. Di kelompok responden NU, elektabilitas Anies pada Oktober ini mencapai 15,1 persen. Angka ini di atas rata-rata tingkat keterpilihan Anies dari tiga survei yang berada di angka 13,2 persen.
Resminya Anies diusung Partai Nasdem sebagai calon presiden pada 3 Oktober lalu sedikit banyak turut memengaruhi persepsi responden di survei, termasuk di mata responden dari kalangan warga NU.
Menyebarnya pilihan responden NU terkait calon presiden ke tiga nama tokoh di atas juga tidak lepas dari karakter pemilih dari kalangan nahdliyin ini yang relatif terbuka dan otonom dalam menggunakan hak pilihnya di pemilu.
Apalagi, hal ini sudah pernah ditegaskan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf bahwa tidak ada calon presiden atau wakil presiden dari PBNU pada Pemilu 2024 mendatang. ”Saya tidak mau ada calon presiden dan wakil presiden dari PBNU,” kata Gus Yahya dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Minggu (20/12/2021).
Berpijak dari realitas tersebut, warga NU relatif terbuka untuk memilih dalam pemilu. Kemandirian pemilih yang otonom dan tidak digerakkan oleh kekuasaan apa pun membuat pemilih lebih menggunakan hak pilihnya sesuai dengan apa yang ia yakini dan kehendaki tanpa dipengaruhi oleh pihak mana pun.
Apalagi, jika mengacu rekam jejak dalam pemilu, sosok tokoh NU yang pernah maju di kontestasi pemilihan presiden, terutama sejak pemilihan langsung, tidak menjamin secara utuh didukung oleh pemilih dari kalangan nahdliyin ini.
Pengalaman dalam Pemilihan Presiden 2004, misalnya, dengan munculnya dua tokoh NU sebagai calon wakil presiden, yakni KH Hazyim Muzadi dan KH Salahudin Wahid, menjadi gambaran bagaimana pilihan warga NU relatif menyebar.
Bahkan, ketika putaran dua dengan KH Hasyim Muzadi yang mendampingi calon presiden Megawati Soekarnoputri, belum berhasil memenangi kontestasi. Hasil survei Litbang Kompas ketika itu memang menyebutkan pilihan responden dari warga NU relatif menyebar, tidak tunggal kepada pasangan calon tertentu.
Kecenderungan yang sama juga terekam dari pilihan warga NU terhadap partai politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara historis didirikan dan dekat dengan warga nahdliyin tidak serta merta mendapatkan sokongan penuh dari pemilih warga NU ini. Tingkat elektabilitas PKB di mata responden warga NU ini, rata-rata di tiga kali survei Litbang Kompas tahun ini, sebesar 7,6 persen.
Sementara sama sepertinya halnya pada pilihan sosok calon presiden, orientasi pilihan responden warga NU cenderung masih lebih banyak memberikan dukungan kepada partai-partai yang selama ini masuk kategori papan atas partai-partai politik peraih elektabilitas teratas.
Di antaranya, PDI-P, Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Senada dengan elektabilitas calon presiden, keempat partai di atas jika ditotal elektabilitasnya sudah menguasai rata-rata 60 persen dukungan pemilih.
Dari tiga survei Litbang Kompas sepanjang 2022 ini, PDI-P memang tercatat mengalami pergerakan elektabilitas paling dinamis di mata responden warga NU. Di dua survei terakhir, Juni dan Oktober ini, PDI-P mengalami penurunan dukungan di mata responden NU.
Pada survei Juni, elektabilitasnya menurun 4,3 persen dibandingkan Januari. Pada survei Oktober ini kembali menurun sekitar 3,9 persen. Namun, secara rata-rata, dari tiga survei ini, PDI-P masih berada paling atas dibandingkan partai politik lainnya.
Sementara PKB yang merupakan partai ”anak kandung” dari NU elektabilitasnya cenderung stabil dan tidak mengalami pergerakan yang mencolok. Di survei Juni, elektabilitasnya di mata responden NU ini sempat menurun 1,8 poin. Namun, angkanya kembali naik 1 poin di survei Oktober. Artinya, PKB memang relatif masih stabil, belum beranjak pada angka elektabilitas yang berada di rata-rata 7,6 persen.
Sebaliknya, Gerindra dan Demokrat menjadi dua partai yang mengalami tambahan elektoral di dua survei terakhir oleh pemilih warga NU ini. Di survei Oktober ini Gerindra mengalami peningkatan 4,5 poin, sedangkan Demokrat 3,4 poin.
Ada sinyal kuat pemilih NU memang relatif terbuka pada siapa pun dan partai politik mana pun.
Meskipun demikian, jika membandingkan dengan survei sebelumnya pada Juni, kedua partai ini pernah mengalami penurunan dibandingkan survei Januari. Artinya, meskipun angkanya beranjak naik, dinamika naik turun dan pergeseran dukungan dari pemilih NU tetap berpeluang terjadi.
Berpijak dari pergerakan elektabilitas calon presiden dan partai politik di mata responden warga NU ini, ada sinyal kuat pemilih NU memang relatif terbuka pada siapa pun dan partai politik mana pun. Upaya PKB yang mengusung ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 akan menjadi ujian apakah niat ini akan disambut oleh dukungan dari pemilih NU.
Jika mengacu rekam sejarah pemilih NU di pemilu, arah dukungan politik dari warga nahdliyin memang tidak tunggal. Semua tetap kembali pada keyakinan dari pemilih itu sendiri terhadap partai politik atau sosok calon presiden yang berkontestasi. Hal ini tidak lepas dari posisi pemilih NU yang relatif otonom dalam menggunakan hak pilihnya di pemilu nanti. (LITBANG KOMPAS)