Bahasa Indonesia Tetap Dijunjung
Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa persatuan sekaligus pengikat kehidupan bangsa. Di tengah gempuran bahasa asing, bahasa Indonesia tetap dijunjung tinggi sebagai bahasa pemersatu anak bangsa.
Butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda menjadi penanda kesadaran nasionalisme yang perlu diikat dengan bahasa persatuan. Sejak ikrar tersebut hingga hari ini, bahasa Indonesia masih menunjukkan taji dan tetap dijunjung sebagai pengikat kehidupan berbangsa yang multikultural.
Peringatan Sumpah Pemuda menjadi momentum tepat untuk merefleksikan bahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat kita. Bahasa Indonesia menjadi satu dari tiga butir yang termaktub dalam ikrar Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II tahun 1928.
Sedikit dari kita tanpa sadar sering keliru menyederhanakannya menjadi ”mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Sejatinya yang diikrarkan dalam butir ketiga adalah menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan berbahasa satu.
Bahasa Indonesia masih menunjukkan taji dan tetap dijunjung sebagai pengikat kehidupan berbangsa yang multikultural.
Perlu direfleksikan pula bahwa kemajuan media cetak yang menjadi sarana penyebaran kesadaran nasionalisme. Koran-koran berbahasa Melayu, yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia, beredar pada masa pra-kemerdekaan dan menjadi salah satu corong utama yang menggelorakan perjuangan untuk merdeka. Bahkan, syair lagu ”Indonesia Raya” dipublikasikan oleh koran Sin Po pada tahun 1928.
Apabila tahun 1928 dipandang sebagai titik awal kesadaran nasional menjunjung tinggi bahasa Indonesia, maka sudah 94 tahun bahasa Indonesia menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia.
Hasil jajak pendapat terbaru Litbang Kompas menunjukkan, bahasa Indonesia masih dijunjung sebagai bahasa persatuan dalam pergaulan yang heterogen. Selain itu, bahasa Indonesia juga menjadi pilihan sarana komunikasi dalam situasi formal.
Jajak pendapat Litbang Kompas juga merekam, sebanyak 75,5 persen responden menyatakan sering menggunakan bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan orang dari luar wilayah tempatnya tinggal.
Penyataan responden ini mencerminkan bahwa bahasa Indonesia lebih banyak dipilih sebagai media komunikasi yang menjembatani perbedaan latar belakang budaya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, persinggungan budaya yang berbeda sangat mungkin terjadi dalam interaksi warga antardaerah.
Di dalam persinggungan tersebut, kemungkinan perbedaan bahasa daerah sangat besar. Hasil jajak pendapat ini menunjukkan, bahasa Indonesia dipegang sebagai bahasa yang menyatukan dalam pergaulan yang heterogen.
Bahasa Indonesia menjadi pilihan dalam situasi formal tampak pada pengakuan responden saat melihat interaksi di kantor maupun sekolah. Dalam situasi yang formal ini, sebanyak 69 persen responden mengaku lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.
Tatkala bergeser dalam pergaulan yang lebih homogen, penggunaan bahasa Indonesia sedikit menurun. Mulai dari lingkup paling kecil, sebanyak 51,3 persen responden mengaku sering menggunakan bahasa Indonesia di dalam keluarga. Sedikit beranjak ke pergaulan di lingkungan sekitar, lebih kurang 50,4 persen responden lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.
Jika membandingkan penggunaan bahasa Indonesia dalam beberapa konteks di atas, dapat dilihat masyarakat Indonesia cenderung peka dalam penggunaan bahasa.
Bahasa Indonesia dijunjung sebagai bahasa persatuan sekaligus menjadi bahasa resmi dalam situasi formal. Kendati begitu, bahasa Indonesia tak lantas menghilangkan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya.
Baca juga: Rumah Bersama di Tengah Keberagaman Bahasa
Modernitas
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mau tak mau menjadi cerminan usaha bangsa Indonesia untuk menatap modernitas. Kehidupan berbangsa yang multikultural tak lantas membuat para pendiri bangsa jatuh pada sikap-sikap primordial. Akan lain soal apabila bahasa persatuan yang dipilih mengambil salah satu bahasa daerah yang identik dengan salah satu suku.
Namun, memeluk modernitas juga perlu dipandang secara kritis. Seiring berjalannya waktu, perkembangan negara Indonesia yang modern dicirikan dengan kemajuan wilayah-wilayah perkotaan. Ketika dipandang berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan, penggunaan bahasa Indonesia menampilkan fakta yang menarik.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, bahasa Indonesia digunakan oleh 38,9 persen responden dalam kehidupan sehari-sehari. Porsi lebih besar jatuh pada penggunaan bahasa daerah, yakni 61,1 persen.
Menariknya jika dibedah berdasarkan wilayah, bahasa Indonesia digunakan oleh 31,8 persen masyarakat perdesaan. Sementara itu, angka ini lebih tinggi di wilayah perkotaan yang mencapai 45,9 persen.
Data ini dapat dimaknai bahwa pada akhirnya memang ciri modernitas dengan penggunaan bahasa Indonesia lebih ditunjukkan oleh masyarakat perkotaan dibanding masyarakat perdesaan.
Meski begitu, bahasa daerah tetap mendapat porsi yang sesuai. Jika dalam perkembangannya ke depan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah bertahan dengan proporsi seimbang, masyarakat kita memiliki sensitivitas berbahasa yang matang.
Selain hal-hal positif yang tercermin dari data di atas, perlu dilihat secara jeli pula beberapa potensi tantangan yang muncul. Dalam setiap diskursus soal bahasa, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dipandang sering mendapat ancaman dari pemakaian bahasa informal dan pengaruh istilah asing. Walaupun begitu, anggapan ini terus memunculkan perdebatan panjang dalam perspektif konservatif dan progresif.
Hasil jajak pendapat menunjukkan sebanyak 41,4 persen responden mengaku sering menggunakan bahasa informal dalam pergaulan. Data ini mengindikasikan bahwa bahasa informal memang sudah mendapat tempat dalam perilaku berbahasa masyarakat kita.
Kembali dengan sudut pandang kewilayahan, bahasa Indonesia langgam informal selama ini diasumsikan dengan ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Namun, hasil jajak pendapat merekam adanya pergeseran tersebut.
Tak kurang dari 41,3 persen masyarakat perdesaan mengaku sering menggunakan bahasa informal (seperti nggak, dong, sih, dan slebew). Dengan angka yang mirip, 41,5 persen masyarakat perkotaan mengakui hal yang sama.
Hal ini menunjukkan bahasa informal tak hanya akrab dengan masyarakat yang hidup di kota, tetapi juga sudah sering dipakai oleh masyakarat perdesaan. Peran media sosial dan jaringan internet yang makin terjangkau di semua wilayah tentu menjadi alasannya.
Sebagaimana terkait istilah asing, sebanyak 49,7 persen responden mengaku mendapat paparan istilah asing dari media sosial. Peringkat kedua diisi oleh televisi sebanyak 23,4 persen.
Namun, penggunaan istilah asing tidak sesering penggunaan bahasa informal. Hanya 11,3 persen responden yang mengaku sering menggunakan istilah asing dalam pergaulan. Meski begitu, responden sudah menunjukkan kekhawatiran bahwa istilah asing dapat merusak bahasa Indonesia. Tak kurang dari 43,3 persen responden mengaku khawatir akan hal ini.
Baca juga: Banyak Jalan Menuju Cinta Bahasa Indonesia
Harapan
Data hasil jajak pendapat di atas menunjukkan bahwa publik masih menjunjung bahasa Indonesia sebagai pengikat yang menyatukan kenyataan hidup yang plural. Dengan sikap ini pula, publik masih memberikan perhatian dengan ancaman-ancaman istilah asing yang mungkin merusak. Meskipun di sisi lain, tanpa disadari bahasa informal secara tak sadar sudah menjadi bagian hidup berbahasa masyarakat kita.
Melihat kenyataan ini, pengajaran bahasa Indonesia di sekolah masih dipandang sebagai cara terbaik untuk menjaga kualitas bahasa Indonesia. Sebanyak 53,1 persen responden menginginkan bahasa Indonesia diajarkan sedini mungkin di sekolah. Sementara 15,3 persen responden berharap bahasa Indonesia tetap diwajibkan dalam acara-acara resmi.
Terkait dengan istilah asing, sebanyak 15,6 persen responden melihat pentingnya membatasi penggunaannya dalam pergaulan. Selain itu, 12,9 responden melihat pentingnya mengawasi penggunaan bahasa Indonesia di media massa.
Dari harapan publik ini tampak bahwa sinergi diperlukan, baik dari pemangku kepentingan maupun masyarakat sendiri demi menjaga kualitas bahasa Indonesia.
Pada akhirnya, roh Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tak kehilangan semangatnya hingga kini. Sikap ini pun tak lantas mengerdilkan bahasa daerah.
Kehadiran bahasa Indonesia berhasil mengasah kepekaan berbahasa masyarakat Indonesia dalam corak kehidupan yang sarat keanekaragaman budaya. Hal yang perlu untuk terus dijunjung tinggi dalam hidup bersama. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Selingkung dan Siasat Berbahasa