Refleksi Pemuda tentang Dirinya Sendiri
Sering kali makna pemuda tidak jauh dari kata ”perubahan”. Namun, makna pemuda memang tidak pernah lepas dari sosok menggelora, ciri khas yang dipandang sebagai modal besar saat ini.
Masa muda sering dipandang sebagai masa yang penuh gelora semangat. Sejarah mencatat peran pemuda memegang kunci perjuangan mencapai kemerdekaan hingga perubahan-perubahan sosial setelahnya. Pemuda masa kini masih menyimpan potensi semangat dan optimisme yang sama sebagai generasi penerus.
Dalam membicarakan pemuda, pemaknaan yang sering muncul adalah soal transisi. Beberapa transisi yang diidentikkan dengan pemuda adalah masa perpindahan dari kanak-kanak menjadi dewasa, dari pendidikan menuju pekerjaan, hingga dari yang bergantung menjadi mandiri. Cara pandang seperti ini tidak sepenuhnya keliru sebab faktanya momentum transisi ini memang menjadi salah satu ciri khas masa muda.
Akan tetapi, perlu dicatat, perspektif ini cenderung menjadi cara pandang dari luar diri orang muda. Dari dalam diri anak muda sendiri bisa jadi ciri transisi seakan enggan diamini. Orang muda berusaha untuk mendefinisikan dirinya sendiri.
Masa muda bukan hanya soal transisi semata. Pemuda berusaha memberi pemaknaan yang lebih dalam sehingga keberadaannya dipandang esensial. Pemaknaan transisi memuat konotasi ”peremehan” jika tidak hati-hati.
Pemuda hadir sebagai generasi yang berusaha menjadi aktor kunci proses perkembangan peradaban. Sumpah Pemuda menjadi kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa kaum muda ingin merumuskan sendiri idealisme nasionalismenya.
Meskipun tak bisa tutup mata pula bahwa kaum muda sering dicap sebagai generasi yang tidak sabaran, senang yang instan, dan kurang pertimbangan. Namun, sudah menjadi alami pula bahwa generasi lebih tua cenderung melihat generasi berikutnya tak segigih generasinya.
Jajak pendapat Litbang Kompas mencoba merekam bagaimana pemuda dipandang oleh publik. Dengan pertanyaan apa yang muncul pertama kali dalam benak saat mendengar kata ”pemuda”, 34 persen responden menjawabnya dengan ”generasi penerus”. Pada posisi berikutnya, pemuda diasosiasikan dengan kata ”semangat” oleh 20 persen responden. Sementara itu, 14,8 persen responden mengidentikkan pemuda dengan kata ”anak muda”.
Dalam urutan keempat dan kelima, persepsi publik tentang anak muda adalah ”penggerak” sebanyak 6,1 persen dan ”negatif” sebanyak 3,9 persen. Melihat persepsi publik tentang kata ”pemuda” ini, tampak bahwa sentimen dominan yang muncul tentang pemuda cenderung positif. Meskipun tetap muncul sedikit penilaian yang negatif di sana.
Baca juga : Rumah Bersama di Tengah Keberagaman Bahasa
Optimisme
Perspektif publik ini menjadi makin menarik apabila dilihat secara lebih rinci dalam perbandingan usia responden pemuda awal dengan usia muda akhir. Perbandingan perspektif yang unik tampak dengan menarik usia 30 tahun sebagai batas tengah. Dengan demikian, usia muda awal adalah responden berusia 17-30 tahun, sementara responden usia muda akhir adalah mereka yang berusia 31-40 tahun.
Jika dilihat secara sekilas, tampak kedua kelompok pemuda ini menampilkan kecenderungan yang sama. Tiga kata kunci teratas yang diasosiasikan mewakili anak muda dalam kedua kelompok usia ini adalah ”generasi penerus”, ”semangat”, dan ”anak muda”.
Namun, jika dilihat lebih dalam, penekanannya ternyata berbeda. Dalam soal generasi penerus, 40,2 persen responden usia 31-40 tahun sepakat dengan ini, sementara 29,3 responden berusia 17-30 tahun yang setuju.
Selanjutnya, 17,4 persen responden muda akhir menilai kata ”semangat” dapat mewakili pemuda. Dengan angka sedikit di atas, 22,5 persen responden muda awal sependapat dengan hal ini. Pada urutan ketiga top of mind soal pemuda, kata ”anak muda” mendapat porsi 11,4 persen pada usia muda akhir dan 16,8 persen pada usia muda awal.
Ketika pemuda merefleksikan dirinya sendiri sebagai generasi penerus, hal ini bisa dipandang secara positif. Kesadaran sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan peradaban, baik langsung maupun tidak, akan memberikan energi positif. Dapat dipahami pula refleksi ini lebih ditekankan oleh kaum muda berusia 31-40 tahun.
Dalam rentang waktu ini, kaum muda dalam proses sadar bahwa sebentar lagi kontribusi langsung dari warga yang berusia di atasnya akan berangsur menurun. Kenyataan bahwa pemuda yang akan meneruskan siklus peradaban menjadi makin dekat.
Secara praktis di dunia kerja, pemuda yang berada pada rentang usia ini kemungkinan besar sudah menempati posisi-posisi strategis, baik mereka yang bekerja sebagai karyawan maupun mereka yang mengambil karier wirausaha.
Sementara itu, bagi pemuda berusia 17-30 tahun, penekanan lebih pada soal semangat dan kata ”anak muda” dibandingkan kaum muda akhir. Pemuda rentang waktu ini sangat mungkin secara finansial dan peran di dunia kerja masih belum mencapai titik mapan. Oleh karena itu, semangat dan kemudaan dari segi umur menjadi modal untuk melakukan eksplorasi dan mencoba hal-hal baru.
Terlepas dari penekanan-penekanan di atas, satu poin penting yang pantas diapresiasi dalam refleksi anak muda tentang dirinya sendiri adalah optimisme. Dilihat dari sentimennya, dalam tiga kata kunci refleksinya tidak muncul nada negatif.
Dari sini dapat ditarik anggapan bahwa pemuda memandang dirinya sendiri sebagai generasi yang muda secara usia, memiliki semangat tinggi, serta menyadari perannya sebagai penerus.
Baca juga : Selingkung dan Siasat Berbahasa
Kritik
Akan tetapi, refleksi yang cenderung positif ini perlu dilengkapi juga dengan cara pemuda ini mengkritik dirinya sendiri. Kembali dengan perbandingan antara responden berusia muda awal dan muda akhir, tampak penekanan kritik yang berbeda terhadap peran pemuda.
Mereka yang berusia 17-30 tahun memandang peran pemuda paling memprihatinkan dalam bidang pengembangan desa atau tempat tinggalnya. Tak kurang dari 31,1 persen mereka yang berusia muda melihat hal ini sebagai tantangan. Dalam hal yang sama, 27, 3 persen responden berusia 31-40 tahun setuju.
Namun, responden berusia muda akhir menunjukkan penekanan terbesar pada kurangnya peran pemuda dalam hal pendidikan. Tak kurang dari 34,8 persen responden usia 31-40 tahun menilai pemuda kurang berprestasi dalam pendidikan. Dalam hal ini, 28 persen responden berusia muda awal sependapat.
Peran pemuda berikutnya yang dipandang kurang adalah prestasi olahraga. Dalam hal ini, baik mereka yang berusia muda awal maupun muda akhir punya persepsi mirip. Sebanyak 14,5 persen responden muda awal dan 15,2 persen responden muda akhir memandang kurangnya peran pemuda dalam hal prestasi olahraga.
Baik kritik responden muda akhir maupun muda awal terhadap peran pemuda ini sangat mungkin merupakan bentuk permenungan terhadap dirinya sendiri. Responden berusia muda akhir bisa jadi sedang mengalami kenyataan bahwa modal intelektual yang didapat dari pendidikan ternyata cukup memengaruhi dinamika pekerjaan ataupun keseharian mereka. Menjadi wajar jika penekanan kritik responden berusia 31-40 tahun lebih pada soal pendidikan.
Sementara itu, mereka yang berusia 17-30 tahun lebih menekankan kritik pada bidang pengembangan desa/tempat tinggal. Hal ini terjadi sangat mungkin akibat kedekatan mereka dengan isu-isu global lewat gawai mereka. Sementara mereka sadar minimnya interaksi dengan lingkungan hidup terdekat sehingga peran anak muda dipandang problematis di wilayah tempat tinggalnya.
Setelah melihat bagaimana pemuda melakukan refleksi atas dirinya sendiri, penting juga untuk melihat harapan publik terkait peran pemerintah untuk meningkatkan kualitas pemuda.
Dalam jajak pendapat ini terekam, 45,5 persen responden melihat pemuda perlu diberi pelatihan di segala bidang. Sementara 28,3 persen lainnya memandang memberi modal untuk memulai usaha perlu diusahakan oleh pemerintah bagi anak muda.
Pemberian akses terhadap infrastruktur dan tekhnologi menjadi poin ketiga yang perlu diusahakan pemerintah. Sebanyak 23 persen responden sepakat dengan hal ini. Jika melihat harapan publik terkait peran pemerintah ini, tampak bahwa konsentrasi pada hal-hal fisik menjadi sumbangan pemerintah yang paling mungkin diusahakan.
Jika kembali pada refleksi pemuda dan melihat sejarah kontribusi pemuda sejak zaman pra-kemerdekaan, tampak bahwa semangat menggelora masih menjadi ciri khas yang dipandang pemuda sebagai modal besar saat ini.
Hal ini menjadi ciri khas sekaligus modal penting peran pemuda dalam masyarakat. Pada akhirnya, stereotipe yang berkembang dalam memandang pemuda secara sinis akan pudar dengan sendirinya jika energi muda mampu menggerakkan perubahan sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Banyak Jalan Menuju Cinta Bahasa Indonesia