Survei ”Kompas” mengindikasikan 9 parpol parlemen memiliki potensi penurunan loyalitas pemilih rata-rata 35,9 persen. Loyalitas pemilih bisa kembali turun rata-rata 21 persen jika sosok capres yang diusung tak disukai.
Oleh
YOHAN WAHYU/Litbang KOMPAS
·5 menit baca
Survei ”Kompas” pada Oktober 2022 menunjukkan ada tantangan loyalitas pemilih parpol.
Ada potensi sepertiga lebih pemilih partai politik akan bergeser pilihan politiknya ke partai politik lain di pemilu mendatang.
Loyalitas pemilih parpol berpeluang kembali ”terganggu” jika calon presiden yang diusung tak sesuai keinginan pemilih.
Partai politik dihadapkan pada dua fenomena yang menjadi tantangan dalam memperjuangkan raihan elektoralnya di Pemilihan Umum 2024. Fenomena pertama adalah berjaraknya pemilih dengan partai politik. Fenomena kedua, partai politik dihadapkan pada rapuhnya pilihan pemilih karena bergantung pada sosok calon presiden yang diusung partai politik.
Dua fenomena yang menjadi tantangan partai politik ini tertangkap dari hasil Survei Nasional Kompas periode Oktober 2022. Tantangan pertama terkait fenomena loyalitas dan volatilitas pemilih partai politik. Loyalitas dimaknai sebagai pemilih yang tetap setia memilih partai politik yang sama dengan pilihannya di Pemilu 2019. Sementara volatilitas didefinisikan sebagai gejala pergeseran kesetiaan pemilih dari satu partai ke partai politik lain.
Relasi antara loyalitas dan volatilitas ini ibarat bandul, jika salah satu naik atau turun, akan berdampak pada kenaikan atau penurunan pada salah satunya. Survei Kompas periode Oktober ini menangkap fenomena menurunnya sikap loyal pemilih terhadap partai politik. Hal ini berimbas pada kecenderungan meningkatnya angka volatilitas pemilih. Artinya, kecenderungan pemilih bergeser terhadap pilihan partai berpeluang lebih besar terjadi.
Kita lihat saja dari sembilan partai politik pemilik kursi DPR yang sudah dipastikan lolos menjadi peserta Pemilu 2024 semuanya mengalami penurunan loyalitas pemilih. Hal ini juga dialami oleh partai politik yang memiliki kedekatan dengan pemilihnya karena faktor kuatnya nilai identitas dan ideologi partai, seperti halnya yang terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga masuk dalam kategori ini relatif lebih stabil loyalitas pemilihnya.
Sepanjang tiga survei Kompas yang digelar pada tahun ini, PDI-P, PKS, dan PKB selama ini dikenal memiliki tingkat loyalitas pemilih relatif lebih tinggi dibandingkan partai politik lain. Dalam survei Oktober ini, ketiga partai ini tetap meraih tingkat kesetiaan pemilih yang lebih tinggi dibandingkan parpol lain. Namun, kecenderungan penurunan lebih terjadi pada pemilih PDI-P dan PKS.
Loyalitas pemilih PDI-P berada di angka 65,3 persen pada Oktober ini. Angka ini menurun 3 persen dibandingkan survei pada Juni 2022, bahkan turun 6 persen dibandingkan survei periode Januari 2022. Hal yang sama dialami PKS. Dalam survei Oktober ini, loyalitas pemilih PKS berada di angka 65,2 persen, turun 8 persen dari survei Juni 2022. Penurunannya lebih tinggi hingga mencapai 10 persen jika dibandingkan survei Januari 2022.
Sementara itu, tingkat kesetiaan pemilih PKB relatif terjaga dalam survei kali ini. Di atas kertas, partai yang berbasis pemilih tradisional seperti halnya karakter pemilih PKB yang secara emosional dekat dengan nahdliyin ini relatif memiliki loyalitas pemilih lebih tinggi.
Brennan dan Lomasky dalam bukunya, Democracy and Decision (1977), menyebutkan, loyalitas pemilih partai hubungannya timbal balik. Keputusan memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi jika tidak ada loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai politik pilihannya. Hal yang sama juga terjadi, pemilih tidak akan memberikan pilihannya jika mereka menilai partai politik tidak loyal serta tidak konsisten terhadap janji dan harapan yang diberikan kepada pemilih.
Volatilitas
Kecenderungan menurunnya kesetiaan pemilih kepada partai politik setidaknya seperti yang dialami oleh sebagian besar partai politik parlemen, berdampak pada meningkatnya potensi pergeseran pilihan pemilih dari tiap partai politik itu. Rata-rata tingkat pergeseran (volatilitas) pilihan pemilih dari sembilan partai parlemen ini mencapai 35,9 persen. Artinya, ada potensi sepertiga lebih pemilih partai politik akan bergeser pilihan politiknya ke partai politik lain di pemilu nanti.
PAN dan PPP tercatat memiliki potensi volatilitas pemilih lebih tinggi. Hampir separuh pemilihnya masuk kategori lebih cair untuk berpindah pilihan. Meskipun dari sisi jumlah responden di survei ini pemilih kedua partai relatif tidak banyak, setidaknya hal ini bisa menjadi pola potensi pergeseran pemilih dari kedua partai ini. Sebagian besar pemilih PAN cenderung beralih pilihan ke Demokrat, sedangkan PPP lebih menyebar ke partai-partai berbasis pemilih Muslim, seperti PKB, PAN, dan PKS.
Sementara itu, dari partai politik papan atas dan menengah, yakni PDI-P, Gerindra, Partai Golkar, Demokrat, PKS, dan Nasdem, rata-rata potensi volatilitas pemilihnya 30 persen. Artinya sepertiga dari pemilih partai-partai ini berpeluang berpindah pilihan atau bergeser untuk memilih parpol lain.
Ada kecenderungan pemilih-pemilih partai berbasis nasionalis lebih bergeser pada partai-partai politik yang memiliki karakter yang sama. Sebaliknya, seperti halnya yang terjadi pada pemilih PPP, pemilih-pemilih berbasis massa pemilih Islam juga bergeser pada partai-partai berbasis pemilih yang sama.
PDI-P, misalnya, sebagian pemilihnya bergeser ke Gerindra, Partai Golkar, dan Nasdem. Hal yang sama dijumpai pada persebaran pemilih Partai Golkar yang cenderung sebagian bisa berpindah ke Gerindra dan Nasdem. Menariknya, pemilih Gerindra cenderung lebih dekat dengan PKS. Hal ini terlihat hampir seperlima pemilih Gerindra berpeluang bergeser ke PKS. Memori kedekatan Gerindra dan PKS yang berada di luar pemerintahan pada periode pertama era Joko Widodo bisa jadi turut memengaruhi preferensi pilihan pemilih.
Selain potensi volatilitas dan loyalitas yang sejauh ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kedekatan identitas kepartaian antara pemilih dan partai politik, fenomena kedua yang juga menjadi tantangan partai mempertahankan raihan elektoralnya adalah siapa calon presiden yang akan mereka usung.
Artinya, loyalitas pemilih partai politik berpeluang kembali ”terganggu” dengan faktor calon presiden yang diusung partai politik. Ada kecenderungan, loyalitas pemilih partai politik kembali turun jika sosok calon presiden yang diusung partai pilihannya tersebut tidak dikehendaki atau tidak sesuai dengan harapan pemilih.
Survei Kompas pada Oktober ini merekam, dari sembilan partai politik parlemen yang sudah dipastikan lolos menjadi peserta Pemilu 2024, selain memiliki potensi penurunan loyalitas pemilih rata-rata mencapai 35,9 persen, loyalitasnya berpotensi kembali menurun rata-rata sekitar 21 persen jika sosok calon presiden yang mereka usung tidak disukai pemilihnya.
Dengan sistem pemilu serentak antara memilih calon anggota legislatif partai politik dan memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, potensi terjadinya pilihan terpisah akan berpeluang besar terjadi. Apalagi survei juga menangkap adanya potensi ”perlawanan” dari pemilih partai jika harapan mereka terhadap sosok calon presiden yang diidamkan tidak sesuai dengan calon presiden pilihan partai yang ia pilih. Perlawanan itu diwujudkan dengan beralih memilih partai politik lain yang rata-rata potensinya mencapai 38 persen.
Inilah dua tantangan yang tidak mudah bagi partai politik untuk bertarung memperebutkan simpati pemilih. Ancaman volatilitas pemilih karena rendahnya identitas kepartaian pemilih secara umum serta ancaman beralihnya pilihan pemilih partai karena calon presiden yang diusung tak sesuai dengan kehendak pemilihnya. Dua tahun menjelang pemilu, potensi pergeseran pemilih partai tetap akan dinamis seiring langkah-langkah partai menyiapkan calon presiden yang akan diusungnya.