Survei Litbang “Kompas”: Prediksi Arah Penilaian Publik pada Kinerja Jokowi
Masa mendatang, keberhasilan ataupun kegagalan Presiden Joko Widodo merebut apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahannya sangat ditentukan oleh kepiawaiannya dalam mengendalikan jajaran kabinet.
Semakin tergerusnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan sebagaimana yang ditunjukkan dari hasil survei periodik Litbang Kompas, menjadi catatan paling mengkhawatirkan sepanjang tahun ini. Betapa tidak, sebelumnya, tatkala mengawali tahun 2022, apresiasi tinggi tersematkan pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Saat itu, kemampuannya membebaskan bangsa ini dari belenggu pandemi membuat tidak kurang dari 73,9 persen responden merasa puas.
Semakin spektakuler, capaian yang berhasil ia torehkan di awal tahun itu merupakan derajat kepuasan tertinggi yang pernah diraih semenjak periode kedua pemerintahannya. Akan tetapi, tidak kurang ironis, saat ini apresiasi justru merosot cukup signifikan. Kepuasan publik kini menjadi 62,1 persen, hampir mendekati posisi terendah sepanjang ia memerintah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Perubahan cukup signifikan semacam ini ditenggarai dua penyebab utama, yaitu peningkatan ketidakpuasan terhadap kinerja penegakan hukum di negeri ini dan persoalan tekanan perekonomian yang dihadapi masyarakat. Kinerja di bidang penegakan hukum, misalnya, saat ini tinggal separuh bagian responden saja yang menyatakan rasa puas mereka.
Padahal, awal tahun 2022, masih dua pertiga bagian responden yang menyatakan puas. Semua ini berkait dengan kian maraknya kasus-kasus penegakan hukum yang kali ini justru terjadi pada aparat penegak hukum di negeri ini. Kasus-kasus yang mengaitkan para petinggi kepolisian, hakim, kepala daerah, membuat ketidakpuasan publik semakin meningkat.
Pada sisi perekonomian, sama problematiknya. Hasil survei mengungkapkan, hanya sekitar 50,8 persen responden saja yang menyatakan rasa puas terhadap kinerja kabinet dalam mengatasi kondisi perekonomian negeri. Padahal, pada survei periode Januari 2022 lalu, tidak kurang dari 64,8 persen yang mengungkapkan rasa puas mereka.
Dari berbagai bidang persoalan ekonomi yang dikeluhkan, upaya pemerintah dalam mengendalikan harga barang kebutuhan dan jasa terbilang paling banyak dipersoalkan. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), menjadi sasaran ketidakpuasan masyarakat. Hampir dua pertiga (62 persen) responden yang mengeluhkan persoalan pengendalian harga barang dan jasa.
Di tengah arus penurunan kepuasan yang dihadapi, menjadi persoalannya selanjutnya apakah kecenderungan semacam ini akan terus-menerus berlanjut?
Apabila dikaitkan dengan konteks situasi yang tengah dihadapi bangsa ini, sikap pesimistik mudah terekspresikan. Bagaimana tidak, belakangan ini berbagai ancaman maupun tantangan persoalan global dan dalam negeri semakin riil dirasakan. Terkait ancaman global, misalnya, perlambatan ekonomi dunia, krisis pangan, energi, dan keuangan potensial semakin memperberat beban kinerja pemerintahan.
Di sisi lain, dari sisi internal, semakin dinamisnya agenda perpolitikan jelang Pemilu 2024 menjadi tantangan yang tidak kalah krusial dihadapi. Terlebih, keberadaan kabinet pemerintahan yang ditopang oleh beragam kekuatan partai politik, yang kini tengah berancang-ancang menjalankan agenda politik penguasaan elektoralnya.
Dihadapkan kondisi yang cenderung pesimistik semacam itu, hanya pada kepiawaian Presiden Joko Widodo dalam mengkonsolidasikan segenap anggota kabinetnya saja yang mampu mereduksi kekhawatiran. Konsolidasi yang dimaksud, bagaimana segenap anggota kabinet yang terbentuk dengan keragaman warna politik itu dapat bersatu padu dalam komando kepemimpinan presiden dalam mengatasi tekanan global dan dalam negeri.
Dua skenario
Pengalaman politik masa lampau, tatkala bangsa ini dipimpin oleh para presiden pendahulu Jokowi dapat menjadi pelajaran sekaligus pijakan. Tekanan-tekanan persoalan, khususnya ekonomi dan politik, yang dihadapi dan bagaimana berespons terhadap persoalan tersebut tampaknya berelasi dengan tinggi ataupun rendahnya derajat apresiasi publik. Bahkan, pada gilirannya, dinamika apresiasi publik yang berlangsung turut mempengaruhi jalannya nasib pemerintahan.
Membaca arah penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, setidaknya dapat dipetakan dalam dua skenario kemungkinan yang terjadi. Pertama, skenario keberhasilan, yang ditandai oleh semakin meningkatnya apresiasi publik dan selanjutnya Presiden Joko Widodo mampu mengakhiri kepemimpinannya dengan gemilang. Kondisi demikian tecermin pada hasil survei di masa mendatang yang berbalik arah dari penurunan yang terjadi saat ini menjadi peningkatan derajat kepuasan publik.
Skenario keberhasilan ini telah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sepanjang lima tahun berkuasa (2004-2009) sisi lebih pemerintahan Yudhoyono yang terungkap adalah kemampuannya membalikkan kondisi dari penurunan apresiasi publik menjadi peningkatan yang terjadi secara drastis hanya satu tahun terakhir masa kekuasaannya (Kompas, 19/10/2009).
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas berkala setiap triwulan, apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah tampak terkait erat dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah.Sepanjang memerintah, fakta menunjukkan bahwa apresiasi publik terhadap kinerjapemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial cenderung lebih rendah dibandingkan dengan apresiasi terhadap bidang politik keamanan dan penegakan hukum.
Relatif lebih rendahnya apresiasi publik ini terjadi pada setiap penetapan kebijakan tidak populer, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan menaikkan harga BBM pada bulan Oktober 2005 disambut publik dengan respons negatif. Jika hasil jajak pendapat sebelum kebijakan kenaikan harga menunjukkan 48,1 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi, tiga bulan berikutnya hanya 32,4 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
Menariknya, setahun jelang kekuasaannya berakhir, pada Desember 2008, Presiden Yudhoyono mengeluarkan kebijakan penurunan harga BBM. Inilah menjadi titik kunci peningkatan popularitas pemerintahan Yudhoyono. Hasil pengumpulan opini publik pada bulan ke-51 pemerintahan Yudhoyono menunjukkan, hampir 60 persen responden yang menyatakan kepuasan mereka atas kinerja perekonomian.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakanbersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah. Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya.
Peningkatancitra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 65 persen. Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini,
menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya.
Kedua, skenario kegagalan yang ditandai oleh semakin menurunnya apresiasi publik dan berlangsung terus-menerus hingga Presiden Joko Widodo mengakhiri masa jabatannya. Kondisi demikian tecermin pada hasil survei di masa mendatang yang menggambarkan penurunan kepuasan publik berkelanjutan dari sejak saat ini. Berkaca pada era pemerintahan sebelumnya, apa yang terjadi pada Presiden KH Abdurahman Wahid menggambarkan kondisi tersebut.
Semenjak triwulan awal pengangkatan Presiden KH Abdurrahman Wahid, kepuasan publik terhadap kinerja presiden tergolong relatif tinggi, mencapai separuh bagian responden. Begitu pula, saat itu keyakinan publik terhadap sosoknya dalam mengatasi bangsa diyakini tidak kurang dari tiga perempat bagian responden.
Akan tetapi, sejalan dengan dinamika politik yang justru melahirkan banyak ketegangan semasa pemerintahannya, kinerja dan keyakinan publik menjadi pudar. Ironisnya, berjalannya waktu tidak sekalipun Presiden KH Abdurrahman Wahid mampu membalikkan kondisi ketidakpuasan menjadi kepuasan. Hingga akhir kekuasaannya dilengserkan, ketidakpuasan membayangi bagian terbesar masyarakat.
Konsolidasi
Terdapat pula pengalaman Presiden Megawati Soekarnoputri dan periode kedua jabatan kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat Presiden Megawati menggantikan kedudukan KH Abdurrahman Wahid, kepuasan publik di triwulan awal pemerintahan tampak besar. Akan tetapi berjalannya waktu, penurunan kepuasan publik tidak terhindarkan dan terjadi merata pada berbagai bidang persoalan, seperti ekonomi, kesejahteraan sosial, politik dan keamanan, maupun penegakan hukum.
Hingga memasuki bulan ke-27 usia pemerintahan Megawati, ketidakpuasan publik belum juga menurun dan bahkan cenderung meningkat. Hal yang sama terhadap keyakinan publik yang juga cenderung menurun. Namun memasuki tiga tahun usia pemerintahan hingga jelang berakhirnya tugas kepresidenannya, pandangan publikmulai berbalik ke arah positif.
Begitu pula, tingkat keyakinan publik saat itu yang beranjak lebih baik ketimbang jajak pendapat periode tiga bulan dan enam bulan sebelumnya. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya itu tidak tampak spektakuler dan tergolong terlambat. Hasil tersebut tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.
Periode kedua jabatan kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono pun bertutur kisah yang tidak jauh berbeda. Selepas pengangkatannya sebagai presiden untuk kedua kalinya, kinerja pemerintahan cenderung menurun. Terjadi memang beberapa lonjakan kepuasan. Akan tetapi, jelang berakhirnya kekuasaan kepresidenannya, derajat kepuasan dan keyakinan yang diekspresikan publik tidak sebesar masa awal pemerintahannya.
Dari dua skenario arah penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan, tentu saja harapan agar terjadinya skenario keberhasilan menjadi tujuan. Hal demikian tentu saja bukan perkara mustahil, sepanjang Presiden Jokowi mampu mengerahkan segenap kepiawaiannya dalam mengatur ritme kerja segenap anggota kabinet pemerintahan di saat kondisi yang tidak mudah ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Survei Litbang “Kompas”: Konsolidasi Kabinet Menjadi Tuntutan