Gaya Hidup Pro-lingkungan Anak Muda Belum Terbentuk
Generasi muda belum secara optimal menerapkan gaya hidup yang pro terhadap masa depan lingkungan. Gaya hidup anak-anak muda ini justru belum menempatkan lingkungan sebagai faktor penting yang harus dipelihara.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Generasi muda punya peran penting menggaungkan gaya hidup pro-lingkungan. Sayangnya, sejumlah perilaku sehari-hari anak muda Indonesia belum selaras dengan semangat global penyelamatan bumi tersebut.
Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang mengukur tingkat kepedulian anak muda terhadap lingkungan dalam kebiasaan sehari-hari. Survei yang khusus ditujukan pada responden berusia 17-35 tahun ini menemukan bahwa gaya hidup pro-lingkungan belum sepenuhnya terbentuk di tengah gen X dan gen Z.
Dua aktivitas pro-lingkungan masih rendah diaplikasikan, misalnya dalam penggunaan moda transportasi publik dan pemilahan busana. Secara umum, baru 3 dari 10 anak muda yang bijaksana dalam mengarusutamakan pertimbangan lingkungan dalam dua perilaku tersebut.
Bijaksana memilih transportasi baru konsisten diterapkan oleh 11,5 persen responden. Sementara, 17,5 persen melakukannya dalam frekuensi sering.
Kelompok ini menyebut telah mengutamakan penggunaan transportasi publik alih-alih transportasi pribadi. Beberapa di antaranya juga mengurangi memakai moda transportasi jika tidak benar-benar dibutuhkan. Hampir separuh dari responden (48,2 persen) masih jarang menggunakan transportasi umum dan 22,8 persen mengaku tidak pernah.
Masih tingginya anak muda yang belum mengutamakan penggunaan transportasi umum menjadi catatan penting di tengah upaya penurunan produksi gas rumah kaca. Apalagi, pemerintah terus berupaya menyediakan transportasi publik yang semakin baik.
Di sisi lain, masyarakat dari latar belakang ekonomi atas dan menengah atas, cenderung belum memilih transportasi umum. Sebanyak 61,9 persen responden dari kalangan atas jarang menggunakan transportasi umum, sedangkan 35,5 persen juga mengaku hal yang sama dari kalangan masyarakat bawah.
Dalam hal memilah pakaian, separuh gen X dan gen Z belum terlalu mempertimbangkan untuk menghemat pembelian baju baru. Bahkan, 19 persen lainnya mengaku tidak pernah memedulikan hal ini. Padahal, alternatif untuk tetap modis dapat diupayakan dengan membeli baju bekas (thrifting), menyewa, dan memodifikasi baju lama.
Baru 8,9 persen yang mengaku selalu bijak saat menambah koleksi pakaian. Sebanyak 22 persen juga terpantau sering melakukan langkah-langkah alternatif untuk tetap fashionable. Kelompok ini dapat dikatakan telah memasukkan pertimbangan lingkungan dalam gaya hidup sehari-hari.
Bijaksana dalam memilah baju yang dikenakan berkontribusi dalam penyelamatan lingkungan. Baju siap pakai yang terpajang di butik dan lapak virtual telah melalui proses panjang yang mengkonsumsi banyak energi dan menghasilkan berbagai residu. Bahkan, saat tak terjual atau tak terpakai pun, baju jadi beban bagi bumi.
Dana Thomas dalam ”Fashionopolis: The Price of Fast Fashion and The Future of Clothes (2019)” menyebut, industri fashion telah menjadikan bumi sebagai korban. Industri ini menyumbang hampir 20 persen pencemaran air dari total pencemaran yang dihasilkan oleh berbagai industri.
Proses produksi setidaknya melepaskan 10 persen emisi karbon. Sebagai gambaran, 1 kilogram kain setidaknya menghasilkan 23 kilogram gas rumah kaca. Energi listrik yang dibutuhkan juga fantastis. Untuk satu buah kaus katun, setidaknya dibutuhkan 25,3 kilowatt listrik.
World Wide Fund for Nature (WWF) turut memperkirakan jumlah air yang dibutuhkan untuk produksi kain. Setidaknya dibutuhkan hingga 2.700 liter air untuk menanam pohon kapas hingga dapat digunakan untuk memproduksi satu kaus. Kebutuhan air tersebut sama dengan jumlah air yang dikonsumsi satu individu selama tiga tahun.
Dengan penggunaan kain sintetis pun, baju masih memiliki risiko merusak lingkungan. Baju dari kain sintetis melepaskan serat mikro ke dalam air saat produksi dan saat dicuci. Serat ini berpotensi tertelan oleh ikan dan moluska dan masuk ke rantai makanan manusia.
Dengan kesadaran pada besarnya energi yang diperlukan untuk memproduksi produk-produk fashion, generasi muda diharapkan lebih bijak dalam menambah koleksi lemari mereka. Apalagi, dengan masifnya ajakan untuk memilih sustainable fashion, alternatif berbusana semakin beragam.
Meskipun gaya hidup berkelanjutan dalam hal fashion dan transportasi belum terbentuk, generasi muda menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi dalam penghematan energi. Kesadaran pada pembatasan penggunaan produk plastik juga telah membaik.
Sebanyak 35,6 persen responden mengaku selalu menerapkan kebiasaan mencabut kabel pengisi daya setelah usai dipakai, mengurangi penggunaan listrik, dan menghemat air. Selain itu, 40,7 persen responden mengaku sering melakukan hal tersebut. Jika digabungkan, 3 dari 4 responden telah berlaku bijaksana dalam pemanfaatan energi.
Dalam hal kesadaran pada produk plastik, hampir separuh generasi muda tidak lagi bergantung pada plastik. Sebanyak 17,6 persen responden mengaku selalu dan 27,1 persen mengaku sering menerapkan perilaku bijak dalam penggunaan plastik. Praktiknya dalam bentuk menggunakan tas belanja dan botol minum yang dapat digunakan kembali, serta mendaur ulang produk plastik.
Kesadaran pada produk plastik menjadi perilaku yang paling populer di tengah masyarakat secara umum. Jajak pendapat pada September 2022 turut merekam perilaku membawa botol minum, menggunakan kantong belanja pakai ulang, dan menggunakan sedotan non-plastik menjadi kebiasaan yang paling sering diterapkan dalam keseharian (Kompas, 2 Oktober 2022).
Perilaku sadar produk plastik dapat pula dikombinasikan dengan perilaku nol sampah. Konsep nol sampah menekankan pada upaya untuk meminimalkan buangan sampah, mulai dari hulu saat produksi hingga hilir saat digunakan sehari-hari.
Prinsip yang terus coba digalakkan adalah 5R, yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan ulang), recycle (mendaur ulang), replace (mengganti), dan rot (membusukkan sampah).
Harapannya, kebiasaan berkesadaran lingkungan tidak hanya terbatas pada reduksi energi dan produk plastik. Generasi muda perlu memperluas kesadaran lingkungan pada aspek-aspek lainnya dalam kehidupan.
Apalagi, tujuh dari sepuluh anak muda meyakini bahwa manusia memiliki andil besar dalam kerusakan bumi. Sudah tidak ada lagi waktu untuk menunda perjuangan menjaga bumi. (LITBANG KOMPAS)