Pemilu 2024, Momentum Meningkatkan Keberdayaan Perempuan
Partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam politik masih belum optimal. Hal ini berakibat pada rendahnya akses perempuan untuk terlibat dalam proses kebijakan publik.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Keterlibatan perempuan di parlemen sebagai salah satu dimensi pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Angka keterlibatan perempuan dalam parlemen tersebut masih begitu rendah dibandingkan dengan dua komponen pembentuk IDG lainnya.
Indeks Pemberdayaan Gender merupakan indeks yang melihat keberdayaan perempuan dan menunjukkan peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik berdasarkan tiga hal, yaitu keterlibatan perempuan di parlemen, sumbangan pendapatan perempuan, serta perempuan sebagai tenaga profesional.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, sebagaimana dipublikasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dalam Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2021, ketimpangan pemberdayaan jender masih terjadi di Indonesia.
Jika dilihat dari trennya selama sepuluh tahun terakhir, terlihat capaian IDG menunjukkan tren positif setiap tahun. Tahun 2020, IDG mencapai 75,57, meningkat 0,33 poin dibandingkan tahun 2019, dan meningkat 6,43 poin dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya.
Keterlibatan perempuan di parlemen sebagai salah satu dimensi pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih menjadi pekerjaan rumah.
Namun, masih terlihat adanya ketimpangan yang besar jika ditelusuri angka per provinsi. Bahkan, hanya lima provinsi yang mencatatkan capaian IDG di atas garis nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Perlu menjadi catatan, capaian Indeks Pemberdayaan Gender semua provinsi di wilayah Indonesia bagian barat berada di bawah rata-rata nasional.
Dari tiga komponen pembentuk IDG, posisi terendah adalah persentase keterlibatan perempuan di parlemen, yaitu di angka 21,09. Berikutnya adalah sumbangan pendapatan perempuan sebesar 37,26 persen dan persentase perempuan sebagai tenaga profesional sebesar 48,76 persen.
Kontribusi perempuan sebagai tenaga profesional tidak hanya muncul di perkotaan, tetapi juga di perdesaan, antara lain tergambar dari meningkatnya perempuan desa dalam kepemimpinan desa.
Tercatat sebanyak 4.120 perempuan desa menjadi kepala desa atau 5,5 persen dari total kepala desa di seluruh Indonesia. Perempuan desa juga terlibat sebagai perangkat desa, yakni sebanyak 149.891 orang atau 22,1 persen dari perangkat desa seluruh Indonesia.
Selain itu, 17,7 persen atau83.698 perempuan desa terlibat sebagai ketua ataupun anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Bahkan, 10 persen desa yang dipimpin perempuan kepala desa masuk kategori desa mandiri dan 31 persen sebagai desa maju.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin, bahkan berprestasi. Keterlibatan perempuan di desa sangat vital dalam semua tahapan pembangunan desa, mulai dari perencanaan hingga evaluasi pembangunan desa.
Hal ini menggambarkan bahwa perempuan desa semakin berkontribusi dalam semua lini, termasuk ranah ekonomi dan politik. Kontribusi perempuan desa ini mendapat apresiasi dengan diperingatinya Hari Perempuan Desa Sedunia setiap tanggal 15 Oktober.
Sebagai komponen pembentuk IDG dengan capaian paling rendah, keterlibatan perempuan di parlemen perlu didorong agar semakin banyak perempuan yang mau ambil bagian dalam ranah politik. Hal tersebut penting agar perempuan semakin memiliki posisi tawar yang kuat dalam mengawal kebijakan-kebijakan, khususnya bagi pembangunan kaumnya.
Salah satu upaya untuk meningkatkan peran perempuan sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR.
Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tercantum kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian ataupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Namun, kuota 30 persen perempuan di parlemen belum pernah tercapai.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, keterwakilan perempuan di parlemen terus meningkat dari Pemilu 1999 hingga 2019. Dari hanya 9 persen, kini proporsinya menjadi 20,9 persen.
Namun, belum tercapainya kuota 30 persen menunjukkan masih terjadi ketimpangan jender dalam lembaga perwakilan Indonesia. Padahal, potensi sumber daya perempuan Indonesia cukup besar dalam komposisi jumlah penduduk.
Rendahnya capaian keterlibatan perempuan di parlemen sebagai salah satu pembentuk IDG dipengaruhi oleh rendahnya capaian dimensi tersebut di tingkat provinsi.
Tercatat di hampir tiga perempat provinsi, kontribusi keterlibatan perempuan di parlemen masih di bawah garis capaian nasional. Bahkan, tiga provinsi menunjukkan keterlibatan perempuan di parlemen yang sangat rendah, yaitu Nusa Tenggara Barat (1,56 persen), Kepulauan Bangka Belitung (4,44 persen), dan Sumatera Barat (4,62 persen). Angka ini masih jauh dari kuota yang diharapkan.
Sementara sembilan provinsi dengan keterlibatan perempuan di panggung politik di atas capaian nasional adalah Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Maluku, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah. Adapun Kalimantan Tengah adalah satu-satunya provinsi yang sudah memenuhi kuota, yaitu 33,33 persen.
Kondisi ketimpangan jender dalam dimensi pemberdayaan di tataran global juga memperlihatkan posisi Indonesia dengan skor 17,4 atau masih di bawah rata-rata dunia sebesar 24,6. Sementara dalam lingkup kawasan ASEAN, keterlibatan perempuan Indonesia di parlemen berada di posisi keenam, di bawah Kamboja, Singapura, Vietnam, Laos, dan Filipina.
Kontestasi politik pada tahun 2024 mendatang bisa menjadi momentum untuk mengatasi ketertinggalan peran serta perempuan dalam kancah perpolitikan nasional supaya perempuan semakin berdaya dan akan mendorong meningkatnya capaian Indeks Pemberdayaan Gender. Ini mengingat secara umum IDG masih sangat fluktuatif di tengah adanya pengarusutamaan jender di Indonesia.
Budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia bisa jadi merupakan salah satu hambatan bagi perempuan dalam memperjuangkan kesetaraannya dengan laki-laki, termasuk untuk duduk bersama dalam parlemen.
Di sisi lain juga diperlukan dukungan dari sesama perempuan untuk memilih perempuan calon anggota legislatif agar keterwakilan perempuan semakin banyak. DI samping kesungguhan partai untuk memperbanyak perempuan kader serta memberikan tempat dan kesempatan yang sama dengan kandidat laki-laki.
Oleh karena itu, pendidikan politik perlu digencarkan agar semakin banyak perempuan yang melek politik dan turut serta berperan aktif dalam parlemen untuk memperjuangkan aspirasi dari kaum perempuan bagi kemajuan bangsa.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah dibutuhkan upaya dan komitmen kuat dari pemerintah untuk mendorong partai politik benar-benar bisa mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana diamanatkan undang-undang. (LITBANG KOMPAS)