Mengurangi Emisi Karbon melalui Pembangunan Wilayah Perdesaan
Sejumlah langkah mitigasi dilakukan untuk menekan emisi karbon dan mencegah degradasi lingkungan. Caranya, melalui jalur pendidikan, konsumsi yang selektif, dan didukung kebijakan dari pemerintah.
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Iring-iringan warga melintasi lahan pertanian kentang saat menuju sumber mata air untuk berdoa bersama dalam tradisi nyadran di Desa Kledung, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (7/10/2022). Tradisi itu berkaitan dengan ritual pada sejumlah sumber yang selama ini memenuhi kebutuhan warga. Selain itu, juga merupakan acara budaya sebagai ungkapan syukur warga atas berkah dan rezeki yang melimpah dari semesta.
Selain wilayah perkotaan, kawasan perdesaan juga turut aktif menyumbang emisi karbon yang dilepas ke atmosfer bumi. Kontribusi emisi karbon yang dihasilkan masyarakat desa umumnya berasal dari pola pangan, energi listrik, pertanian, dan peternakan. Untuk menanganinya, dibutuhkan perencanaan pembangunan yang tepat di kawasan rural.
Emisi karbon yang dihasilkan wilayah perdesaan juga berefek signifikan bagi lingkungan seperti halnya daerah perkotaan. Tren penambahan suhu global tentu akan berdampak pada banyak sisi kehidupan masyarakat perdesaan. Adanya fenomena cuaca ekstrem turut meningkatkan risiko gagal panen, penurunan jumlah ternak, anjloknya produksi daging dan susu, serta kerentanan kehidupan bagi penduduk desa akibat paparan krisis iklim.
Tren penambahan suhu global yang mencapai 1,1 derajat celsius sepanjang periode 1901 hingga 2020 membawa perubahan besar terhadap ekologi, termasuk kehidupan manusia. Dampak yang muncul tidak hanya seputar kenaikan muka laut atau cuaca ekstrem, melainkan ancaman besar terhadap eksistensi banyak spesies makhluk hidup di bumi.
Iklim yang terus berubah mencatatkan banyak kerugian sistem ekologi. Apalagi, telah terjadi peningkatan signifikan kadar karbon hingga 40 persen sejak mulainya revolusi industri. Artinya, manusia berperan besar terhadap percepatan perubahan iklim itu. Dilihat berdasarkan tipologi tempat tinggal penduduk maka ada dua area yang menyumbang emisi, yaitu perkotaan dan perdesaan.
Berdasarkan studi dalam laporan ”The Future of Urban Consumption in a 1.5 Celcius World” (2021), perkotaan besar di seluruh dunia mampu menyumbang sedikitnya 10 persen emisi karbon global. Sedikitnya ada enam pola konsumsi yang diperhitungkan, mulai dari pakaian hingga aktivitas penerbangan.
Pembangunan dan kemajuan wilayah perkotaan menuntut banyak perubahan bagi lingkungan. Salah satunya berupa dorongan migrasi besar penduduk dari desa ke kota. Konsentrasi penduduk di kawasan urban yang kian melonjak tinggi berimbas pada efek buangan emisi karbon yang kian besar. Hal ini merupakan konsekuensi dari bertambahnya berbagai konsumsi masyarakat perkotaan.
Lantas, seberapa besar kontribusi wilayah desa terhadap besaran emisi karbon yang dirilis ke sistem atmosfer bumi? Sebuah studi yang berjudul ”Urban and rural carbon footprints in developing countries” (2022) menyebutkan desa-desa yang banyak terkonsentrasi di negara berkembang menyumbang cukup signifikan pada buangan emisi karbon.
Secara umum, emisi karbon di kota 45 persen jauh lebih tinggi dari desa. Namun, saat dibedah lebih detail menggunakan kategori pendapatan per kapita ternyata hasilnya berbeda. Wilayah desa dengan pendapatan yang besar ternyata jauh lebih tinggi menghasilkan karbon dari wilayah kota dengan pola pendapatan yang sebanding.
Perhitungan rata-rata hingga tahun 2020 menunjukkan bahwa emisi karbon di wilayah perdesaan yang memiliki kondisi ekonomi maju mencapai 12,38 ton karbon dioksida ekuivalen. Sementara itu, wilayah perkotaan dengan kategori ekonomi maju, emisinya selisih 2,49 ton karbon dioksida ekuivalen lebih rendah dari perdesaan.
Studi tersebut menggambarkan kondisi di negara-negara berkembang yang memiliki pola konsumsi sangat heterogen dan sulit dipisahkan dengan tegas antara wilayah kota dan desa. Studi lain yang berjudul ”Understanding the impact of lifestyle on individual carbon-footprint” (2014), menegaskan penyumbang emisi karbon terbesar di wilayah desa adalah bahan bakar untuk memasak, khususnya LPG.
Hal tersebut cukup berbeda dengan pola yang terjadi di Indonesia. Dalam dokumen IPPC yang berjudul ”Climate Change 2022: Mitigation of Climate Change” (2022), rumah tangga di perdesaan Indonesia menyumbang emisi karbon paling banyak berasal dari sektor pangan, termasuk sampah makanan.
Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 2021, sampah makanan per rumah tangga Indonesia mencapai 115-184 kilogram per tahunnya. Makanan terbuang paling banyak adalah padi-padian, sementara konsumsi paling tidak efisien dan akhirnya menambah sampah adalah sayuran. Emisi karbon dari sampah makanan saja menyumbang 7,3 persen dari total emisi nasional.
Urbanisasi
Perhitungan emisi karbon memang tidak lepas dari intensitas kegiatan individu di lokasi tertentu. Hal tersebut sangat ditentukan tingkat perekonomian, pembangunan infrastruktur, hingga kualitas sumber daya manusia. IPCC mencatat bahwa makin berkembangnya suatu wilayah, maka emisi karbon akan ikut meningkat.
Salah satu fenomena kewilayahan yang terkait dengan kemajuan perekonomian secara luas adalah urbanisasi. Secara umum, urbanisasi dikenal dengan proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dengan urbanisasi, terjadi pergeseran atau perubahan yang turut mengembangkan kawasan perkotaan. Muncul pembangunan secara signifikan yang diimbangi dengan perkembangan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat. Alhasil, pola konsumsi masyarakat turut naik tajam dan berimbas pada kenaikan emisi karbon.
Dengan urbanisasi tersebut, jumlah penduduk wilayah perkotaan kian bertambah banyak. Akibatnya, terjadi perubahan tipologi antara desa dan kota. Berdasarkan data PBB, sedikitnya 58 persen atau 4,8 miliar penduduk dunia akan menempati wilayah kota pada tahun 2025. Angka tersebut bertambah 10 persen di tahun 2050 sehingga proporsi penduduk perkotaan mencapai hampir 70 persen atau 6,7 miliar orang. Sebaliknya, kawasan desa kian sepi dan cenderung akan terus ditinggalkan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pemandangan metropolitan Jakarta menjelang malam, Rabu (13/9). Penggunaan data dan informasi geospasial yang terintegrasi dengan data dasar lain seharusnya menjadi acuan dalam perencanaan kota. Dengan laju urbanisasi yang tinggi, penggunaan data yang detail akan menjadi pengarah kebijakan.
Tekanan penduduk yang membesar di wilayah kota itu berimbas pada perubahan lingkungan dan peningkatan emisi karbon. Kondisi tersebut menggambarkan urgensi perencanaan pembangunan yang matang sedari awal. Apabila menunggu terlalu lama, pekerjaan rumah untuk mengatasi permasalahan ekologi makin berat.
Berdasarkan laporan IPCC 2022, persoalan ekologi yang terjadi di sejumlah negara itu beraneka rupa. Kontribusi emisi karbon rumah tangga di negara-negara barat didominasi sektor transportasi dan sampah domestik. Rumah tangga di Amerika Serikat lebih banyak menghasilkan emisi karbon yang bersumber dari penggunaan energi listrik dan konsumsi daging. Kondisi di AS ini tidak jauh berbeda dengan wilayah Asia yang sumber emisi karbonnya juga didominasi oleh pola konsumsi energi listrik dan makanan.
Opsi pengendalian
Walaupun diperkirakan wilayah perdesaan akan semakin sepi karena migrasi penduduknya, tetap saja kawasan rural ini tidak lepas dari efek emisi karbon yang kian membebani ekologi perdesaan di masa depan. Kawasan perdesaan tetap berisiko besar terdampak perubahan iklim sehingga tingkat kegagalan panen dan ancaman kelaparan tetap tinggi.
Perekonomian masyarakat desa yang sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, maka faktor alam memiliki peranan penting dalam menopang keberhasilan usaha tani tersebut. Stabilitas iklim, cuaca, kelembaban, suhu udara, dan paparan sinar matahari sangat berpengaruh besar pada keberhasilan produksi tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan juga hortikultura. Komoditas pertanian secara umum ini dapat terpengaruh apabila ada perubahan stabilisasi kondisi faktor alam. Sayangnya, kondisi faktor alam itu rentan terganggu adanya krisis iklim yang tengah berlangsung secara global saat ini.
Demi menekan laju emisi karbon dan menahan perburukan ekologi karena perubahan iklim, ada sejumlah langkah yang dapat diambil sebagai opsi pengendalian. Opsi pertama, memperkuat pendidikan dan pengetahuan kelestarian lingkungan, khususnya perubahan iklim.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sepeda listrik dalam beberapa waktu ini melengkapi fasilitas pada sejumlah ruang publik di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/10/2022). Tren kendaraan listrik ini tumbuh seiring dengan kebutuhan transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Setiap orang perlu memahami bahwa sejumlah kegiatan yang dilakukan punya sumbangsih terhadap permasalahan global, yaitu perubahan iklim. Semakin dalam pengetahuan tentang iklim, semakin memungkinkan seseorang melakukan penyesuaian cara hidup dan konsumsi agar lebih efisien dan menekan emisi karbon.
Opsi berikutnya adalah mengatur pola konsumsi rumah tangga. Semakin banyak menggunakan produk barang dan jasa yang ramah lingkungan, maka harapannya turut memperkecil efek buangan emisi karbon. Selain itu, juga menghindari pemborosan dengan tidak pernah menyisakan makanan dan minuman serta memilih produk yang memiliki masa pakai yang panjang. Semakin hemat dan efisien maka efek emisi karbon juga kian kecil.
Terakhir, pemerintah mulai dari pusat hingga daerah dan desa harus meningkatkan rumusan arah pembangunan dengan melibatkan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Perencanaan pembangunan didasarkan pada semangat mendorong perbaikan kehidupan masyarakat sekaligus mengedepankan prinsip pengelolaan kelestarian lingkungan secara berkelanjutan.
Dengan majunya perekonomian desa dan kota serta lestarinya lingkungan di kedua kawasan itu, kemungkinan besar hasrat untuk bermigrasi penduduk desa ke perkotaan akan semakin minim. Desa dapat mengoptimalkan sumber ekonomi agrarisnya dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan. (LITBANG KOMPAS)