Kebutuhan Perumahan Prajurit TNI Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Menjamin kesejahteraan prajurit TNI secara optimal, terutama terkait kebutuhan dasarnya, tak bisa ditawar-tawar oleh negara. Kesejahteraan akan mendukung kerja-kerja TNI dalam mengemban tugas negara.
Peran utama TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan menjadi krusial dalam konteks kedaulatan negara Indonesia. Untuk bisa menjalankan peran tersebut secara maksimal, negara selayaknya menjamin kebutuhan dasar anggota TNI, salah satunya tempat tinggal.
Tempat tinggal sebagai kebutuhan dasar prajurit TNI yang semestinya terpenuhi demi mendukung tugas-tugasnya sejatinya sudah mendapat perhatian dari pemerintah.
Tercatat pada akhir tahun 2017, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan perlunya evaluasi terkait fasilitas seperti perumahan untuk mendukung penugasan prajurit TNI. Presiden menekankan prioritas bagi mereka yang bertugas di kawasan timur Indonesia atau wilayah perbatasan.
Peran utama TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan menjadi krusial dalam konteks kedaulatan negara Indonesia.
Marsekal Hadi Tjahjanto, Panglima TNI kala itu, menanggapi pernyataan Presiden tersebut dengan nada yang sama. Menurut dia, untuk mendukung kenyamanan prajurit, kebutuhan tempat tinggal adalah perkara penting (Kompas, 15/12/2017). Dalam laporannya kala itu, KSAD dan KSAL menyampaikan bahwa setiap tahun dibangun lebih dari 1.000 rumah untuk setiap angkatan.
Setahun berselang, pada November 2018, Presiden Jokowi kembali membahas persoalan kepemilikan rumah untuk abdi negara, termasuk prajurit TNI, dalam sebuah rapat terbatas.
Dalam pengantar rapat yang dihadiri beberapa menteri dan pejabat lembaga, termasuk Panglima TNI, itu Jokowi menyebut setidaknya ada 275.000 prajurit TNI yang masih belum memiliki rumah (Kompas, 8/10/2018).
Baca juga : Menjaga Asa Prajurit TNI
Rumah susun
Pada tingkat pelaksanaan di lapangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai pelaksana program pembangunan rumah untuk prajurit TNI melaporkan telah membangun 114 menara (tower) rumah susun TNI di 24 provinsi sejak tahun 2015 hinga 2018.
Dari sekian menara yang dibangun, ada 4.267 unit yang bisa dihuni. Selain rumah susun tersebut, Kementerian PUPR juga membangun 1.994 unit rumah khusus bagi anggota TNI, terutama yang bertugas di perbatasan atau pulau terdepan dan terpencil.
Dengan demikian, mengacu pada data dari Kementerian PUPR ini, ada sekitar 6.261 unit hunian yang dibangun khusus untuk TNI dalam kurun waktu 2015-2018.
Di satu sisi, angka ini sudah sebanding dengan laporan KSAD dan KSAL sebelumnya bahwa lebih kurang ada 1.000 rumah dibangun tiap tahunnya.
Namun, di sisi lain, perlu dicermati juga, jika Presiden menyatakan ada 275.000 prajurit TNI yang belum memiliki tempat tinggal, maka baru 2 persen kebutuhan rumah prajurit terpenuhi. Angka yang masih sangat minim dari segi jumlah.
Masih dengan data dari Kementerian PUPR, beberapa kota/kabupaten yang menjadi lokasi pembangunan rumah susun bagi prajurit TNI adalah di Jakarta Timur, Minahasa, Gorontalo, dan Palu.
Rumah susun yang berada di Cililtan, Jakarta Timur, terdiri atas enam lantai dan dapat menampung 415 keluarga dengan anggaran pembangunan Rp 147 miliar. Rumah susun ini sudah dihuni sejak tahun 2019 dengan sasaran anggota TNI Kodam Jaya.
Sementara itu, untuk rusun yang berada di Minahasa, Gorontalo, dan Palu, semuanya masih dalam pembangunan dan proses serah terima. Rusun yang berada di Minahasa dibangun dengan sasaran anggota TNI yang bertugas di Makodam XIII/Mdk Kota Manado. Anggaran rusun tiga lantai ini senilai Rp 19,4 miliar.
Sementara itu, anggota TNI yang bertugas di Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone Kodam XIII/Merdeka menjadi sasaran pembangunan rusun yang berlokasi di Kabupaten Gorontalo. Rusun satu menara ini dibangun dengan nilai total anggaran Rp 21,5 miliar.
Proyek rusun lain yang berada di Kota Palu mulai dibangun pada Juli 2021. Anggaran rusun satu menara yang bisa menampung 176 anggota TNI ini senilai Rp 16,9 miliar. Rumah susun ini dibangun guna menyasar anggota TNI yang bertugas di Korem 132 Tadulako Kota Palu. Pada 29 September 2022, rusun ini diresmikan oleh Kementerian PUPR.
Baca juga : Tabah Hadapi Keterbatasan demi Seragam Loreng
Kredit
Selain pembangunan yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, untuk membantu prajurit segera memiliki rumah, TNI AD menjalin kerja sama dengan PT Bank Tabungan Negara (BTN).
Perjanjian kerja sama ini dimulai pada April 2021. Dari pihak TNI, nota kesepakatan ditandatangani oleh Jenderal Andika Perkasa yang kala itu menjabat KSAD.
Model pembiayaan yang disusun adalah pengelolaan KPR dengan mengoptimalkan Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD). KPR TWP AD ini memberikan suku bunga 5,25 persen dengan jangka waktu hingga 30 tahun.
BTN menargetkan bisa mengalirkan kredit mencapai 1.500-2.000 unit rumah per tahun. Plafon kredit yang bisa diajukan maksimal Rp 250 juta. Dengan mengasumsikan bunga selama 30 tahun tersebut flat (tetap), maka dengan harga rumah Rp 250 juta, seorang prajurit mencicil sekitar Rp 1,4 juta per bulan.
Jika skema pembiayaan ini coba diambil oleh seorang prajurit tamtama dengan pangkat tertinggi kopral kepala, misalnya, lebih kurang perhitungannya akan sebagai berikut.
Rata-rata gaji pokok seorang prajurit berpangkat kopral kepala sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Jika cicilan untuk rumahnya sebesar Rp 1,4 juta per bulan, itu artinya 56 persen dari gaji pokoknya habis untuk biaya mencicil rumah.
Dengan begitu, sisa gaji pokok Rp 1,1 juta per bulan menjadi sangat minim untuk biaya hidup sebulan. Tidak sampai Rp 40.000 per hari untuk mencukupi kebutuhan lain.
Menjadi masuk akal pula jika prajurit TNI sangat membutuhkan tunjangan seperti uang lauk-pauk dan tunjangan keluarga serta tunjangan pendidikan anak.
Tanpa ada kepastian menerima tunjangan di luar gaji pokok, skema pembiayaan KPR yang bertujuan meringankan beban kebutuhan dasar malah menjadi problem baru. Tak pelak, kehidupan sejahtera pun menjadi hal yang harus diperjuangkan.
Meskipun begitu, skema TWP AD ini pun perlu dikawal secara ekstra. Pasalnya, tabungan wajib ini pernah menjadi lahan korupsi yang diduga terjadi sejak tahun 2013 hingga 2020.
Pada awal tahun 2022, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan bahwa kasus ini harus segera diselesaikan. Kerugian yang disebabkan oleh korupsi TWP AD ini diduga sedikitnya Rp 200 miliar.
Baca juga : HUT Ke-77 TNI dan Perang Modern
Kesejahteraan
Baik dari skema pengadaan rumah maupun pengelolaan, sampai di sini masih ditemukan keprihatinan. Di satu sisi pemerintah dan petinggi TNI tampak setiap tahun memberikan perhatian terhadap terjaminnya kebutuhan tempat tinggal bagi TNI.
Namun, di sisi lain, target pembangunan dan pengelolaan tabungan bisa lebih diperjelas lagi. Dapat dihitung secara pasti berapa banyak anggota TNI sasaran yang ingin dipenuhi kebutuhan tempat tinggalnya dan berapa lama target tersebut akan dipenuhi.
Tunjangan yang mencukupi pun niscaya menjadi hal yang wajib dipenuhi jika prajurit TNI dituntut fokus pada tugas-tugasnya secara profesional.
Jika melihat tugas-tugas pokok TNI, perannya sangat vital dalam hal menjaga keutuhan bangsa dan negara serta menegakkan kedaulatannya. Tugas ini secara spesifik dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, seperti mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, hingga mengatasi aksi-aksi terorisme.
Artinya, seorang prajurit dituntut untuk siap bertaruh nyawa dalam tugas-tugasnya. Dengan demikian, menjamin kesejahteraannya dimulai dari kebutuhan-kebutuhan hidup dasar, terutama tempat tinggal, rasanya tak bisa ditawar-tawar oleh negara.
Apa yang sudah diwacanakan beberapa waktu belakangan ini oleh pemerintah dan petinggi TNI untuk menjamin kesejahteraan prajurit memiliki tempat tinggal yang layak harus terus dikawal mulai dari perencanaan hingga realisasinya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Butuh Komitmen Kuat untuk Bangun Kemandirian Industri Pertahanan