Aremania dan Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang
Seharusnya, tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia.
Indonesia sedang berduka atas insiden kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Ujian kini menerpa sepak bola tanah air, para pemain, penggemar, dan terutama lembaga yang menaunginya. Padahal, sepak bola itu indah, tapi penyelenggaraan yang tidak profesional justru merusaknya.
Sepak bola kini bukan sekadar olahraga yang berujung menang dan kalah bagi tim yang berlaga, melainkan telah melibatkan, menghubungkan, dan mengikat banyak orang. Nils Havemann dalam ceramah bertajuk “die gesellschaftliche Bedeutung des Fußballs in Deutschland”, menegaskan bahwa sepak bola adalah kultur. Selayaknya kultur, dalam sepak bola terdapat perayaan, kepercayaan, gaya hidup, tradisi, dan terutama kumpulan individu yang menghidupinya.
Kultur inilah yang juga tidak dapat dilepaskan dari Aremania, kelompok pendukung tim Arema yang saat ini sedang berduka. Kehadiran sepak bola di Malang ibarat “otot” yang membalut tubuh seorang lelaki. Olahraga rakyat ini menjadi keseharian yang disenangi sekaligus dianggap sebagi ruang ekspresi kejantanan, ksatria, sekaligus kebersamaan bagi para pendukungnya. Sejak 1994, Aremania telah mengibarkan benderanya di tiap laga Arema yang membawa kebanggaan sepak bola bagi warga Kota Malang.
Aremania berdiri dengan menjejak kelamnya sejarah kekerasan antargeng di sudut-sudut kota pada awal era 1970-1980-an. Kala itu, seperti wilayah urban lainnya, Kota Malang dipenuhi fenomena kelompok-kelompok anak muda yang bergerombol dan sering terlibat perkelahian antargeng. Sebut saja, Argom (Armada Gombal), Prem (Persatuan Residivis Malang), Saga (Sumbersari Anak Ganas), Van Halen (Vederasi Anak Nakal Halangan Enteng), Arpanja (Arek Panjaitan), Arnak (Armada Nakal), dan sebagainya.
Menariknya ketika Persatuan Sepakbola Arema (PS Arema) berdiri pada 1987, geng-geng ini mulai mengalihkan perhatiannya ke Stadion Gajayana. Lorong-lorong gang kota mulai ditinggalkan dan kelompok-kelompok anak muda ini menemukan tempat berekspresi yang spontan. Sepak bola telah menjadi media pendamai di luar lapangan hijau dan secara alami membentuk mereka menjadi kelompok baru yang bernaung dalam satu nama: Aremania.
Baca juga: Hujan Duka hingga Buzzer Polisi dalam Tragedi Kanjuruhan
Meski mengibarkan nama yang sama, Aremania berjalan sebagai organisasi yang tak memiliki struktural. Tidak ada istilah pimpinan sentral hingga sekarang, yang ada hanyalah koordinator wilayah (korwil) untuk mengatur sekumpulan anggota Aremania. Wilayah cakupan korwil bukanlah kecamatan atau kelurahan, melainkan kawasan atau gang sehingga terdapat peta imajiner baru yang hanya berlaku bagi mereka.
Berbeda dengan kelompok pendukung klub sepak bola lainnya, Aremania tidak memiliki hubungan struktural dengan pengurus Yayasan Arema. Semua pendanaan, aturan, dan gerakan diatur oleh korwil. Seiring perkembangan, fenomena Aremania turut melebar ke arah kepentingan ekonomi, sosial dan politik, hingga keamanan.
Kesadaran kolektif
Kelahiran Aremania lebih didorong oleh kesadaran kolektif dengan dasar persamaan emosi untuk menyatukan identifikasi. Kesadaran kolektif ini kian dikuatkan dengan hadirnya simbol Ongis Nade (Singo Edan) dengan dominasi warna biru yang menggambarkan sifat ksatria, keperkasaan, dan kepahlawanan. Entah dari mana asalnya, singa (binatang) yang tidak pernah ada di Jawa tiba-tiba muncul sebagai simbol Arema.
Pada 1937, pemerintah kolonial Belanda menetapkan simbol Kota Malang yang terdiri dari tiga singa. Satu singa terletak di dalam perisai serta dua lainnya berdiri memegang perisai yang berwarna kuning emas. Namun, gambar singa dalam simbol kolonial tersebut bukanlah rujukan Arema. Salah satu pencetus PS Arema, Lucky Acub Zaenal mengatakan bahwa simbol singa untuk Arema lantaran terbentuk pada 11 Agustus 1987 yang berhubungan dengan rasi bintang singa (Leo).
Kembali pada kesadaran kolektif, Aremania juga menjadi bentuk perlawanan di awal berdirinya. Kala itu, Pemerintah Kota Malang hanya memperhatikan Persema Malang, sedangkan Arema cenderung diabaikan. Perlawanan Aremania ditunjukkan dengan mendukung mati-matian Arema dan membiarkan Persema sunyi dukungan. Imbasnya, sempat ada dikotomi sepak bola plat merah (Persema) dan sepak bola plat kuning (Arema).
Aroma perlawanan kelas sosial juga tercium di Aremania yang mayoritas berisi anak-anak muda pewaris kultur arek (Arek Malang). Menurut Ron Harley, sosiolog asal Australia, subkultur masyarakat Jawa Timur menjadi tiga yaitu mataraman, arek, dan pendalungan. Berangkat dari spirit perlawanan inilah, mereka menerapkan sistem egaliter primordial layaknya kelompok suporter yang muncul dari akar rumput.
Baca juga: Doa Aremania untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Perlawanan ini juga memengaruhi gerakan sosial yang terjadi dalam kelompok. Mereka lebih patuh terhadap korwil daripada pejabat sipil maupun aparat militer. Misalnya, terjadi kerusuhan di dalam atau luar stadion, maka seruan aparat tidak akan digubris. Sebaliknya, jika korwil atau sesepuh Aremania yang berseru, maka seluruh anggota langsung patuh.
Penggunaan bahasa keseharian juga menjadi alat perlawanan sekaligus proses identifikasi para anggotanya. Bahasa walikan (balikan) yang kata-katanya dieja dari belakang menjadi semacam “bahasa eksklusif” di antara arek Malang dan para pendatang.
Aremania sudah menjadi semacam subkultur yang memiliki ikatan persamaan emosi yang guyub di antara komunitas itu. Dengan modal itulah, Aremania kerap menjadi incaran untuk kepentingan pihak tertentu, termasuk kepentingan politik. Di masa awal reformasi, mereka pernah hendak dipergunakan oleh pemerintah kota menjadi alat untuk menghadang gerakan kelompok-kelompok reformasi.
Tentu saja, kini pihak Arema lebih berhati-hati agar tidak terkoptasi oleh kelompok manapun. Aremania tidak memiliki golongan-golongan priayi yang bisa memanfaatkan anggota demi kepentingan politik atau ekonomi. Independensi sebagai bagian dari masyarakat terus dipertahankan karena keberpihakan pada kepentingan politis justru akan meruntuhkan spirit kelompok dari dalam.
Aremania juga terus membenahi diri berhadapan dengan kericuhan di stadion yang kerap terjadi. Mereka merasa bahwa aksi-aksi anarkis di stadion dilakukan oleh Aremania yang belum paham kultur yang telah lama ditanamkan, misalnya pendukung atau penonton biasa. Bisa juga, dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin merusak citra Aremania atau mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka sesungguhnya Aremania adalah bentuk rasionalitas kota bagi para warganya. Ada ikatan emosional dan etika yang berlaku di antara sesama anggotanya. Komunitas ini solid dan telah menyatukan warga Kota Malang di manapun mereka berada.
Berduka
Berdasarkan pantauan Litbang Kompas melalui aplikasi Talkwalker pada 2 Oktober 2022 sore hari, kata kunci “#PrayForKanjuruhan” telah menghasilkan 77,9 ribu percakapan dengan interaksi 529 juta interaksi pengguna media sosial. Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan telah menjadi perhatian publik. Media massa luar pun tidak luput menyoroti tragedi sepak bola ini dalam pemberitaan di situsnya masing-masing.
Baca juga: Mencari Keadilan untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Secara garis besar, ada tiga hal yang menjadi narasi di media sosial terkait insiden ini. Pertama, warganet saling tunjuk dalam mencari pihak yang paling bersalah dalam tragedi yang menelan ratusan korban dari kubu Aremania. Kedua, tersebarnya video kericuhan di stadion yang diawali masuknya Aremania ke dalam lapangan. Ketiga, penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan yang dinilai penyebab utama jatuhnya para korban hingga meninggal.
Dalam situasi berkabung, tidak etis untuk terus menyalahkan pihak lain ataupun merasa pihaknya paling benar. Namun, PSSI sebagai lembaga tertinggi sepak bola Indonesia tetap perlu bertanggung jawab dengan bertindak cepat untuk mengevaluasi serta mengambil keputusan demi masa depan persepakbolaan Indonesia. Aparatur keamanan juga diharapkan melakukan evaluasi karena publik mengarahkan sorotan besar ke institusi ini terutama berkaitan dengan penembakan gas air mata.
Dalam catatan Harian Kompas (25/4/2001), polisi juga melepaskan gas air mata sebanyak empat kali ke tribune para suporter Persija (The Jak Mania). Aksi tersebut langsung membuyarkan penonton di tribune timur dan barat, serta menghentikan jalannya pertandingan antara Persija dan Persib. Alasan penembakan gas air mata itu untuk mencegah pendukung Persija mendekati kubu pendukung Persib.
Dalam aturan FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Safety dan Security Regulations) Pasal 19 poin B dituliskan bahwa senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan). Artinya penggunaan gas air mata kepada penonton tidak diperbolehkan, sekalipun dengan alasan keamanan. Hal inilah yang perlu menjadi bahan evaluasi aparat keamanan.
Kini, Singo Edan telah berhenti mengaum, tertunduk lesu, dan berduka. Melihat guyubnya Aremania, maka salah satu tragedi sepak bola terbesar di dunia ini turut melukai seluruh warga kota. Seluruh masyarakat Malang dan juga Indonesia turut berdukacita. (LITBANG KOMPAS)