Analisis Litbang “Kompas”: Karakter Presiden Idaman “Wong Cilik”
“Wong cilik” kerap disapa calon-calon presiden menjelang pemilu. Namun belum tentu mereka akan didukung oleh “wong cilik”. Lantas, seperti apa sesungguhnya karakter presiden idaman “wong cilik” ini?
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
Bagaimana wong cilik atau masyarakat lapis bawah menilai kelayakan seorang tokoh menjadi presiden dapat dicermati dari jawaban mereka saat ditanya alasan di balik penilaian itu. Namun sebelum itu, perlu disadari istilah wong cilik sendiri nampaknya mengalami pergeseran pemaknaan dalam konteks politik modern di Indonesia.
Ada semacam simplifikasi bahwa wong cilik adalah masyarakat miskin atau mereka yang termasuk kelas bawah. Padahal jika dilihat dari kebudayaan Jawa yang memunculkan konsep ini, wong cilik sejatinya adalah kelompok masyakarat yang hidup sederhana, belum tentu miskin. Wong cilik lebih dipandang sebagai posisi yang berseberangan dengan model hidup priyayi, bangsawan, atau golongan elite.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Meskipun nampak adanya reduksi, memahami wong cilik sebagai masyarakat miskin tetap dapat dipertanggungjawabkan dengan kerangka pikir relasi kuasa. Kaum lapisan bawah adalah mereka yang powerless, tidak memiliki daya kuasa sehingga terpinggirkan. Dengan begitu masyarakat miskin bisa menjadi realita wong cilik saat ini, sebab akses dan kuasanya terbatas serta mereka makin terpinggirkan.
Dengan begitu bagaimana lapisan masyarakat ini menilai kelayakan seseorang menjadi presiden, bisa dilihat dari persepsi publik kelas sosial bawah maupun berpendidikan dasar. Kelas sosial yang dimaksud ialah kelas ekonomi yang dilihat dari pengeluaran keluarga per bulan dan daya listrik di rumah. Namun sebelum melihat secara detil bagaimana golongan masyarakat ini menilai kelayakan seseorang menjadi presiden, penting untuk melihat alasan publik menilai kelayakan tersebut.
Kelayakan
Dari hasil survei Litbang Kompas Juni 2022, dengan sedikit mengesampingkan siapa sosok yang dipilih, sebanyak 37,9 persen responden menyatakan ketegasan dan wibawa seorang tokoh menjadi alasan publik menilainya layak menjadi presiden. Selanjutnya memiliki pribadi sederhana dan merakyat menjadi alasan kedua dengan persentase 24,7 persen.
Memiliki pengalaman dan prestasi sebagai pemimpin menjadi alasan ketiga dengan angka 18,3 persen. Menariknya kejujuran dan keadilan serta pendidikan yang tinggi berturut-turut menjadi berikutnya dengan persentase minim, yakni 6,2 persen dan 1,8 persen.
Hasil ini menunjukkan bahwa ketegasan dan kewibawaan seorang tokoh masih menjadi faktor terpenting publik menilai kelayakan seseorang menjadi presiden. Jika dipandang dengan perspektif sedikit negatif, ketegasan dan kewibawaan seorang pemimpin bisa menjerumuskan sebuah pemerintahan pada sistem yang otoriter.
Untunglah publik menempatkan juga kesederhanaan dan sikap yang merakyat menjadi indikator penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Artinya seorang yang ingin menjadi pemimpin di negeri ini diharapkan publik tak hanya tegas dan berwibawa, namun juga sederhana nan merakyat.
Harapan publik terhadap sosok pemimpin secara umum ini menunjukkan kecenderungan yang sama saat data di atas dibedah dari kacamata wong cilik. Tak kurang dari 40,4 persen responden kelas sosial bawah menyatakan ketegasan dan wibawa seorang tokoh menjadi alasan penting untuk menilai kelayakannya menjadi presiden. Dengan potret yang sama, sebesar 40,5 persen responden berpendidikan dasar menyatakan alasan yang sama.
Untuk alasan dari sisi kepribadian yang sederhana dan merakyat, sebanyak 21,8 persen responden kelas bawah setuju dengan itu dan tak kurang dari 22,4 persen responden berpendidikan dasar sepakat dengan itu. Sementara itu sebanyak 17,2 persen responden kelas bawah dan 16,6 persen responden berpendidikan dasar menilai alasan pengalaman dan prestasi sebagai pemimpin penting menjadi tolok ukur kelayakan seseorang menjadi presiden.
Sampai pada tiga alasan teratas ini publik dengan latar belakang sosial ekonomi rendah dan pendidikan dasar menunjukkan kecenderungan yang sama. Bagi wong cilik seseorang layak menjadi presiden jika sosok tersebut tegas dan berwibawa namun sederhana dan merakyat, juga memiliki track record memuaskan dalam pengalamannya sebagai pemimpin.
Dalam dua alasan lainnya, yang angkanya relatif kecil, kecenderungan yang ditunjukkan kelas sosial bawah dan berpendidikan dasar tetap sama. Hanya 5,3 persen saja kejujuran dan keadilan seorang tokoh menjadi alasan kelas bawah menilai kelayakan seorang tokoh menjadi presiden. Dengan angka sedikit di atas, 6,4 persen responden berpendidikan rendah sepakat dengan hal ini.
Pendidikan tinggi seorang kandidat menjadi pertimbangan sangat kecil dalam dua golongan ini. Hanya 1,4 persen saja responden kelas sosial bawah dan 1,2 persen masyarakat berpendidikan dasar sepakat dengan hal ini.
Dari gradasi alasan menilai kelayakan seseorang menjadi presiden tersebut, nampak bahwa dalam politik secara khusus memilih pemimpin wong cilik berpikir dengan cara yang sangat praktis. Bagi wong cilik pemimpin itu yang penting punya wibawa, merakyat, dan berpengalaman.
Pamor pemimpin
Cara berpikir sederhana ini sekaligus menjelaskan kejujuran dan keadilan serta pendidikan yang tinggi dianggap tak terlalu penting. Kejujuran dan keadilan nampak menjadi konsep abstrak yang mungkin sulit dibayangkan untuk masyarakat lapis bawah. Dan pendidikan yang tinggi pun dipandang tak lantas menjamin seseorang bisa mumpuni sebagai seorang pemimpin dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis wong cilik.
Rakyat kecil sudah terbiasa dengan hidup pas-pasan bahkan kekurangan dan mereka pun sangat mungkin sudah paham menaikkan derajat kelas itu bukan perkara singkat dari soal waktu dan perkara siapa presidennya. Akan tetapi, paling tidak memandang presiden yang citranya tegas, sederhana, merakyat dan sudah berpengalaman memberikan rasa “nyaman” bagi masyarakat lapis bawah.
Pamor seseorang yang berpengalaman atau pernah memimpin ini dilihat wong cilik sebagai bentuk nyata kepemimpinan yang sudah teruji sebagai pelayan masyarakat. Walaupun masih dalam lingkup pemerintahan yang lebih kecil, pamor sang pemimpin (wibawa dan merakyat) sudah dapat dilihat dari pancaran sikap, ucapan, dan kebijakan yang pernah dijalankan.
Akhirnya, mencitrakan diri sebagai pribadi yang tegas dan berwibawa serta sederhana dan merakyat di satu sisi masih menjadi cara jitu untuk mengambil hati wong cilik. Apalagi jika citra ini ditambah dengan track record memuaskan sebagai pemimpin, baik bupati, wali kota, dan juga gubernur. Pamor sosok tersebut akan makin bersinar di kalangan masyarakat bawah.
Namun di sisi lain, jika pencitraan itu murni sekadar memuat agenda pemenangan pemilu, masyarakat bawah kembali lagi hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk mengumpulkan dukungan elektoral. Kedekatan dengan wong cilik yang ditonjolkan dalam kampanye akhirnya tak bermakna apa-apa. Wong cilik akan tetap dengan kesusahaan dan keterbatasannya yang mendapat penghiburan semu dari pemimpin idamannya, namun sebenarnya tak berdiri di pihaknya. (LITBANG KOMPAS)