Menjaga Spiritualitas Kesaktian Pancasila
“To study history is to build history," mempelajari sejarah adalah membuat sejarah, demikian ungkap sejarawan Arnold Toynbee.
Dalam lintasan sejarah bangsa, sejumlah peristiwa telah menguji eksistensi kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dasar negara Pancasila. Sebagai modal perekat bangsa, spiritualitas Pancasila sakti harus terus dijaga oleh seluruh komponen bangsa.
Salah satu ujian eksistensi kebangsaan yang dialami bangsa Indonesia ialah Gerakan 30 September. Gerakan ini merupakan peristiwa pengkhianatan atau pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia dan pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Indonesia pada 1965.
Atas tindakan ini, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 kemudian membubarkan PKI beserta semua organisasi yang bernaung di bawahnya. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan sejumlah hal, termasuk menjaga persatuan bangsa demi terwujudnya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
Pemerintah kemudian juga menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan sejak 1967 ini didasarkan pada keberhasilan bangsa Indonesia menghimpun daya juang untuk menumpas dan menggagalkan pengkhianatan PKI. Penetapan Hari Kesaktian Pancasila ini juga dimaksudkan untuk lebih mempertebal dan meresapkan keyakinan akan kebenaran serta kesaktian Pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.
Dua peristiwa tersebut, baik upaya pemberontakan maupun keberhasilan bangsa menggagalkan pengkhianatan PKI, dapat dilihat dalam dua dimensi besar narasi kebangsaan, yaitu aspek sejarah dan modal bangsa di masa depan. Dalam aspek sejarah kebangsaan, peristiwa itu tragedi politik sekaligus juga tragedi persatuan bagi bangsa Indonesia.
Berpijak dari keputusan pembubaran PKI, Gerakan 30 September telah mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban rakyat. Upaya pemberontakan ini diwarnai dengan aksi-aksi yang meresahkan rakyat, seperti penyebaran fitnah, hasutan, adu domba, hingga usaha penyusunan kekuatan bersenjata. Kemampuan gerakan menghimpun kekuatan bersenjata ini membawa korban dari jajaran perwira TNI AD, yaitu tujuh pahlawan revolusi yang gugur di Jakarta dan dua perwira di Yogyakarta.
Gerakan ini juga terjadi saat kondisi negara dan rakyat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Buku Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi (1998) karya mantan Gubernur Bank Indonesia Radius Prawiro memperlihatkan pada masa-masa itu ekonomi Indonesia dilanda krisis. Pada 1961, nilai tukar rupiah masih di angka Rp 186,67 per dollar AS. Namun, kurs terus merosot hingga Rp 14.083 per dollar AS pada 1965. Inflasi pada 1966 melonjak tinggi hingga 650 persen.
Selain itu, Gerakan 30 September juga dilakukan pada masa Indonesia sedang terlibat konfrontasi terhadap Malaysia sejak 1964. Gagasan pembentukan negara baru Malaysia oleh Pemerintah Inggris dinilai Presiden Soekarno sebagai langkah imperialis untuk mengepung Indonesia.
Dari gambaran di atas, dampak kerugian pemberontakan ini bukan hanya jatuhnya korban jiwa, melainkan juga menambah beban politik, ekonomi, dan keamanan masyarakat Indonesia. Walau memberikan catatan kelam dari aspek sejarah, tragedi ini juga memberikan modal berharga bagi bangsa Indonesia untuk bertahan dan berkembang di masa depan. Modal yang dimaksud ialah perjuangan bangsa untuk menggagalkan Gerakan 30 September.
Daya rekat
Keberhasilan bangsa Indonesia mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila menjadi bukti bahwa jiwa persatuan masih menjadi kekuatan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai perjuangan dan persatuan bangsa ini juga menjadi modal bersama saat berjuang meraih kemerdekaan.
Daya juang bangsa ini sekaligus juga menjadi gambaran keinginan bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai unsur perekat masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam latar belakang suku, agama, adat istiadat, dan budaya.
Kekuatan Pancasila sebagai unsur pemersatu ini sudah dirumuskan sejak awal pendirian negara Indonesia. Merujuk buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Bung Karno menegaskan tujuan kemerdekaan Indonesia ialah mendirikan suatu negara untuk semua komponen bangsa. Menurut Bung Karno, fondasi awal yang dijadikan dasar buat negara Indonesia ialah dasar kebangsaan. Kebangsaan yang dimaksud bukan dalam arti sempit, yaitu satu golongan, melainkan seluruh manusia Indonesia.
Soekarno kemudian merumuskan dasar-dasar kebangsaan, internasionalisme, kesejahteraan, ketuhanan, dan mufakat sebagai dasar negara. Bung Karno kemudian memberi nama dasar-dasar tersebut Pancasila. Untuk mengenang momentum kebangsaan tersebut, pada 2016 pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.
Sebagaimana penetapan Hari Kesaktian Pancasila, penetapan Hari Lahir Pancasila bertujuan membangkitkan kesadaran nasional bangsa Indonesia terhadap dasar negara yang menjadi landasan kehidupan berbangsa yang majemuk. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara harus diketahui asal-usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu, juga dari generasi ke generasi. Tujuan akhirnya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam lintasan perjuangan bangsa, daya rekat ini terbukti menumbuhkan kesadaran bersama untuk meredam bentuk-bentuk upaya pemberontakan, separatisme, ataupun penggantian ideologi negara seperti pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, pembentukan RMS, dan pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965.
Upaya menjaga kesadaran berbangsa ini masih diperlukan bangsa Indonesia, mengingat sejumlah tantangan serupa masih terjadi hingga saat ini. Bentuk separatisme yang masih menebar aksi teror ialah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di wilayah Papua dan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sulawesi Tengah. Sepanjang Januari 2022-Agustus 2022, ada 47 serangan teror KKB Papua di sepuluh kabupaten di Papua. Aksi teror itu membuat 8 prajurit TNI/Polri meninggal dan 14 orang lainnya luka-luka. Teror juga membawa korban dari warga sipil, yaitu 30 orang meninggal.
Bentuk gangguan lain terhadap eksistensi berbangsa saat ini datang dari keterbelahan masyarakat. Polarisasi ini muncul dari residu Pilpres 2019 yang terus berdampak pada perbedaan opini di antara dua kubu yang dulu berseberangan dalam pilihan presiden. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Agustus 2022 mengungkapkan, 55,2 persen responden menyebut masyarakat sipil terbelah dalam menanggapi persoalan politik, pemilu, atau pencapresan.
Sakti
Karena itu, kesaktian Pancasila yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia tetap diperlukan untuk mengatasi polarisasi masyarakat pada sentimen politik tertentu. Suasana keresahan yang dibangun PKI sebelum Gerakan 30 September yaitu penyebaran fitnah, hasutan, atau hoaks kini juga banyak ditemukan di ruang-ruang publik, terutama media sosial. Demikian pula dengan politik adu domba untuk kepentingan politik. Politik adu domba ini harus diwaspadai terutama jika menyasar perpecahan di TNI.
Dalam perspektif yang lebih luas, semangat Pancasila sakti juga dibutuhkan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ke arah yang lebih baik. Belum pulihnya situasi ekonomi rakyat sebagai dampak pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi dunia akibat gejolak perang Ukraina-Rusia membuat daya tahan ekonomi negara sedang mengalami tekanan. Suasana ekonomi yang penuh ketidakpastian juga mudah digunakan untuk melakukan provokasi seperti yang pernah dilakukan Gerakan 30 September.
Melihat begitu banyak tantangan yang dihadapi bangsa saat ini, semangat Pancasila sakti harus dikembangkan dengan cara-cara kreatif dan mampu menjawab persoalan yang relevan dengan zaman sekarang. Konsep sosialisasi nilai- nilai Pancasila sudah selayaknya tak dilakukan dengan doktrin ideologi seperti yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.
Yang terpenting ialah teladan pengamalan dari para elite pejabat negara dan pemerintah daerah. Di tengah situasi krisis ekonomi, kebijakan yang berpihak kepada rakyat harus lebih banyak diberikan untuk mencegah terpuruknya kesejahteraan sosial. Elite juga harus lebih banyak memberikan teladan dan sikap negarawan dengan mengutamakan kepentingan negara dan dialog dengan semua kalangan untuk mencegah perpecahan (polarisasi) di masyarakat.
Teladan lain yang dibutuhkan ialah komitmen pemberantasan korupsi. Meski sudah banyak pejabat yang ditangkap KPK, perilaku korup masih terus terjadi di Indonesia. Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, rektor, panitera, hingga hakim agung akhir-akhir ini menjadi batu sandungan dalam upaya pembangunan demokrasi di Indonesia.
Indeks Persepsi Korupsi 2021 masih mencatat skor Indonesia lebih rendah dari rata- rata global, yakni 43. Adapun skor rata-rata di Asia Pasifik 45. Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei.
Teladan para elite politik dan pemerintahan ini dibutuhkan sebagai langkah awal menguatkan kembali spiritualitas Pancasila sakti. Temuan jajak pendapat Litbang Kompas pada 24-29 Mei 2022 menyebutkan, Pancasila cenderung dinilai relatif lebih baik penerapannya di masyarakat dibandingkan di tingkat elite.
Baca juga: Lumpuhnya Pancasila
Sebanyak 66 persen responden menyebutkan, nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan lebih baik di masyarakat umum. Sementara di tingkat pejabat/ elite, hanya 42 persen responden yang menjawab baik. Komitmen masyarakat dan terutama elite/pejabat terus dibutuhkan untuk menjaga kesaktian Pancasila sesuai cita-cita para pendiri negara ini.
Sejarah Gerakan 30 September yang gagal telah menempa jiwa persatuan bangsa Indonesia untuk terus mempertahankan Pancasila. Dari sejarah eksistensi bangsa, Indonesia juga dapat membuat sejarah (build history) dengan menghadirkan semangat Pancasila sakti menjadi bangsa yang bebas dari korupsi dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perwujudan Nyata Pancasila