Analisis Litbang “Kompas”: Agus Yudhoyono dan Strategi Penegasian Kinerja Jokowi
Dalam ruang sempit politik, memilih beroposisi dengan pemerintahan menjadi strategi jitu AHY dan Partai Demokrat dalam menarik dukungan publik.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Jalan politik yang harus dilalui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak selalu mulus. Benar memang, dalam mengkonsolidasikan kekuatan internal partai, keberhasilan mulai dirasakan. Sebagai ketua umum partai, misalnya, saat ini ia mampu menyatukan segenap kekuatan kader guna mengejar capaian lebih baik dalam Pemilu 2024 mendatang. Ajang Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat, beberapa waktu lalu menegaskan soliditas kepemimpinannya.
Keberhasilan lainnya, meningkatkan pengaruh politik Demokrat pada para pemilih. Beberapa hasil survei opini publik, termasuk yang dilakukan Litbang Kompas, membuktikan hal ini, sejalan dengan adanya pergerakan positif terhadap elektabilitas Partai Demokrat. Pada survei Juni 2022 lalu, misalnya, dalam kepemimpinan Agus Yudhoyono, Demokrat mampu meraih 11,6 persen dukungan pemilih. Pada tahun sebelumnya (April 2022) masih didukung sekitar 7 persen pemilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Akan tetapi, keberhasilan mengkonsolidasikan kekuatan internal saja dirasakan masih belum cukup. Kali ini Agus Yudhoyono justru dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, bagaimana memosisikan Demokrat sebagai prediktor politik yang berpengaruh signifikan dalam persaingan politik Pemilu 2024.
Sebagai prediktor politik, tidak hanya tuntutan keberhasilan meningkatkan dukungan pemilih pada partai saja. Sebagaimana diamanatkan Rapimnas Demokrat, memanggungkan sosok Agus Yudhoyono, kader utama partai, dalam kontestasi Pilpres 2024 pun menjadi tuntutan keberhasilan. Itulah mengapa, guna memuluskan jalan politik Demokrat dan dirinya, berbagai strategi jitu politik dalam berkomunikasi dengan massa pemilih maupun membangun kekuatan koalisi perlu dikemas.
Persoalannya, di tengah semakin sempitnya ruang politik Demokrat, strategi apa lagi yang dilakukan?Menarik mencermati pidato politik Agus Yudhoyono terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, yang semakin menempatkan dirinya bersama Demokrat sebagai oposan terhadap kebijakan pemerintah.
Terkait upaya pemerintahan Jokowi dalam menaikkan harga BBM misalnya, Agus Yudhoyono bersama Demokrat menentangnya. "Sesungguhnya ada banyak cara untuk menyelamatkan fiskal selain menaikkan harga BBM. Misalnya, dengan melakukan realokasi anggaran, penentuan prioritas, termasuk penundaan sejumlah proyek nasional yang tidak sangat mendesak," ungkap Agus Yudhoyono.
Agus Yudhoyono juga sempat menyinggung kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagai bantalan sosial akibat pengurangan subsidi BBM, yang disebutnya sebagai produk kebijakan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang terbukti berhasil dalam menyangga daya beli masyarakat. "BLT produk kebijakan SBY yang dulu ditentang sebagian kalangan justru sekarang ditiru dan terbukti menjadi penyangga utama daya beli masyarakat," ungkap Agus Yudhoyono.
Menjadi oposisi terhadap kebijakan pemerintah sebenarnya bukan kali ini saja dilakukan. Sebagai partai politik yang tidak berada dalam barisan kekuasaan pemerintahan, Demokrat kerap berseberangan pandangan dengan pemerintah.
Bahkan, merujuk pada momen persaingan politik jelang Pemilu 2019 lalu pun kritik terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla juga disampaikan dalam orasi politik Agus Yudhoyono (Kompas, 11/06/2018). Dalam orasi politiknya saat itu, Agus mengangkat sejumlah isu antara lain terkait daya beli masyarakat, ketersediaan lapangan kerja, serta masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia dan diskriminasi yang dirasakan tenaga kerja lokal. Masih dalam orasinya, Agus Yudhoyono juga mempertanyakan kelanjutan ”revolusi mental” yang gencar digaungkan Jokowi saat Pemilu 2014.
Kritik terhadap pemerintah kali ini yang menyoroti persoalan kenaikan harga BBM bisa jadi tergolong jitu. Bagaimanapun, isu kenaikan BBM merupakan persoalan yang dihadapi seluruh warga negara dan langsung memengaruhi pola kehidupan keseharian mereka. Dengan memilih isu kenaikan BBM yang memberatkan rakyat, Agus Yudhoyono dan Demokrat menempatkan dirinya pada garis depan perjuangan rakyat.
Memilih berada dalam barisan penentang kebijakan pemerintah tampaknya tidak hanya sekadar berbeda pilihan kebijakan politik. Sebagai bagian dari strategi politik, Demokrat menyadari benar posisinya sebagai oposisi yang harus dimaksimalkan. Memaksimalkan peran sebagai oposisi pemerintahan dengan sendirinya semakin membuka ruang penguasaan terhadap para pemilih ataupun warga masyarakat yang memang berseberangan pandangan dengan pemerintahan saat ini.
Persoalannya kini, dengan berperan sebagai oposisi terhadap kebijakan pemerintah, seberapa besar peluang politik yang dapat ditingkatkan?
Berkaca pada hasil survei, terkait dengan evaluasi terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi-Amin, celah ketidakpuasan tergolong signifikan jumlahnya. Penelusuran dari setiap periode survei, tidak kurang sepertiga bagian masyarakat yang cenderung menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.
Pada survei di bulan Juni 2022, setidaknya sebesar 32,9 persen responden yang menyatakan ketidakpuasan mereka dan sebaliknya dua pertiga bagian (63,8 persen) menyatakan kepuasan terhadap kinerja pemerintah.
Jika dielaborasi, kelompok yang tidak puas pada kinerja pemerintah bertumpu pada kalangan yang memang bukan menjadi pemilih Jokowi-Amin dalam Pilpres 2019 lalu. Namun, tidak sedikit pula berasal dari kalangan yang belum pernah memilih ataupun juga mereka yang tercatat sebagai pemilih Jokowi-Amin.
Dengan pemilahan semacam itu, tampak jelas jika potensi peningkatan dukungan masih terbuka pada kalangan yang memang bukan menjadi pendukung pemerintah. Selain itu, yang perlu juga dicermati, sejalan dengan terjadinya perubahan kebijakan pemerintah (peningkatan harga BBM) yang berimplikasi pada semakin membesarnya ketidakpuasan publik, maka potensi dukungan akan menjadi semakin besar lagi jika Demokrat mampu menguasai peningkatan kalangan yang merasa tidak puas.
Potensi perubahan dukungan tidak hanya terjadi pada kalangan yang terpilah sebagai pendukung ataupun bukan pendukung Jokowi-Amin. Apabila dielaborasi berdasarkan pilihan partai politik pun, peluang peningkatan dukungan masih terbuka.
Pada kalangan responden yang terkelompokkan sebagai pendukung partai-partai koalisi pemerintah, kecuali pendukung PDI-P dan Perindo, masih cukup signifikan ketidakpuasan tergambarkan. Para pemilih Partai Golkar, misalnya, tercatat sebanyak 41,9 persen yang merasa tidak puas pada kinerja pemerintah. Begitu pula pada PAN dan Hanura. Sementara itu, pada Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP tercatat sepertiga bagian yang tidak puas.
Bagi Demokrat, keberadaan kelompok masyarakat yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah justru sejalan dengan orientasi partai yang memilih berseberangan langkah dengan kebijakan pemerintah. Fakta semacam inilah yang sekaligus menjadi peluang bagi Agus Yudhoyono dalam meningkatkan posisi pengaruh politiknya. (LITBANG KOMPAS)