Fluktuasi Poundsterling, Tanda Mendung di Penghujung Tahun
Anjloknya nilai tukar poundsterling menjadi salah satu gejala menguatnya potensi resesi global. Menjadi alarm penting, terutama bagi Indonesia untuk siap menghadapi gejolak ekonomi dunia ini.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Jatuhnya nilai poundsterling ke titik terendah semenjak tiga setengah dekade terakhir mengejutkan pasar global. Jatuhnya salah satu mata uang terkuat di dunia ini menjadi pertanda bahwa kondisi ekonomi masih akan diselimuti “mendung” hingga kuartil terakhir 2022. Meski situasi di Indonesia masih cukup terkendali, potensi resesi global ini tetap perlu untuk dimitigasi.
Pada Senin 26 September 2022 lalu, nila poundsterling jatuh ke titik terendah semenjak 1985 yakni di titik 1,0382 Dollar AS. Angka tersebut merupakan penurunan sebesar 3,6 persen semenjak hari di Kamis (22/9/2022), dan 21 persen dibandingkan dengan nilai mata uang tersebut pada awal 2022.
Jatuhnya nilai mata uang Inggris Raya ini disinyalir dipicu oleh kebijakan PM baru Inggris, Liz Truss. Di satu sisi, pertaruhan Truss untuk memangkas pajak bisa membentengi masyarakat yang tertekan akibat inflasi yang tinggi. Tak hanya itu, terjaganya daya beli warga dan pengusaha juga bisa membantu Inggris untuk bangkit lebih cepat.
Jatuhnya nilai poundsterling ke titik terendah semenjak tiga setengah dekade terakhir mengejutkan pasar global.
Namun di sisi lain, kebijakan tersebut dinilai terlalu berbahaya. Pemotongan pajak penghasilan maksimum dari 45 persen menjadi 40 persen, keringanan pajak pembelian properti, penangguhan kenaikan pajak berusaha hingga program subsidi BBM yang diumumkan PM Inggris pada Jumat (23/9/2022), praktis membuat lebih dari 50 miliar Dollar AS yang diproyeksikan masuk ke kas negara menguap. Tak heran, kebijakan yang paling ekstrem selama setengah abad ini mendapat reaksi yang cukup keras.
Anjloknya nilai poundsterling ini berdampak luas. Salah satu imbas dari penurunan ini ialah turunnya harga obligasi (gilt). Keruntuhan harga ini tercermin dari kenaikan imbal balik yang cukup tinggi di semua jenis surat utang.
Misalnya, tingkat bunga gilt jangka dua tahun naik sebesar 54 basis poin menjadi 4,533 persen. Lebih lanjut, gilt jangka lima tahun juga mengalami kenaikan imbal balik sebesar 44 basis poin menjadi 4,503 persen.
Kedua jenis gilt tersebut tengah berada di titik terendahnya semenjak krisis finansial 2008 silam. Selain itu, turunnya nilai obligasi dengan tingkat kedalaman ini juga telah lebih dari dua dekade tidak terjadi.
Sebelumnya, penurunan paling signifikan, di atas 50 basis poin, sempat terjadi pada krisis di 1991. Tidak hanya itu, lebih tingginya imbal balik pada obligasi dengan jangka waktu yang lebih pendek juga bisa menjadi pertanda akan rontoknya kepercayaan terhadap aset tersebut (inverted yield curve).
Fluktuasi nilai mata uang Inggris ini memang erat dengan situasi krisis. Sebelumnya, turbulensi pada mata uang Inggris ini sempat terjadi saat kisruh Brexit mencapai titik didih di Oktober 2016.
Saat itu, nilai poundsterling rontok hingga 8 persen dalam sehari menjadi 1,145 Dollar AS. Angka ini merupakan penurunan sebesar 28 persen dari titik puncak sebelumnya.
Tak hanya pada masa Brexit, anjloknya nilai mata uang juga sempat dialami Inggris pada 1992 ketika peristiwa “Black Wednesday” terjadi. Saat itu, Inggris memaksa memasukkan poundsterling ke mekanisme sistem moneter Uni Eropa yang membuat mata uang tersebut mengalami devaluasi tajam dalam waktu singkat. Parahnya, langkah ini diambil ketika inflasi sedang tinggi, tiga kali lebih tinggi dari inflasi Jerman, dan produktifitas yang rendah.
Dari ketiga peristiwa tersebut, dapat terlihat bahwa jatuhnya nilai Poundsterling menjadi salah satu tanda ketidakpastian ekonomi. Kejadian di 1985 bisa dibilang merupakan ekses dari resesi di awal dekade 1980an. Selaras, devaluasi poundsterling pada 1992 dan Oktober 2016 juga menunjukkan krisis ekonomi dan politik yang saat itu terjadi yakni krisis minyak dan Brexit.
Meskipun begitu, tak semua indikator ekonomi di Inggris saat ini berada di zona merah. Sebagai contohnya, tingkat pengangguran di Inggris masih cukup sehat di kisaran 3,7 persen pada Juli lalu.
Tingkat pengangguran tersebut bahkan merupakan yang paling kecil semenjak nyaris lima dekade terakhir. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa salah satu gejala resesi yang umum, yakni meroketnya angka pengangguran dalam waktu singkat, masih belum nampak di negara tersebut.
Anjloknya nilai tukar poundsterling ini semakin menguatkan gejala resesi yang ditakutkan akan segera datang. Kekhawatiran ini pun sempat disampaikan oleh Bank Dunia melalu laporannya pada pertengahan September lalu.
Berdasarkan laporan tersebut, nuansa kekhawatiran ini muncul di tingkat global, di mana kata kunci “Resesi” dan “Resesi Global” yang digunakan oleh para pengguna internet melonjak tajam hingga di level tertinggi pasca krisis finansial 2007-2008.
Bank Dunia sendiri melihat dua alasan di balik kemungkinan resesi dalam waktu dekat. Indikator pertama ialah pertumbuhan global yang melemah.
Bank Dunia mencatat, setiap resesi sejak 1970 selalu didahului oleh pelemahan pertumbuhan global di tahun sebelumnya. Terlebih lagi, kali ini perlambatan dialami oleh ekonomi utama termasuk AS, kawasan Euro dan China. Kedua, harga dan kepercayaan terhadap aset global telah menurun sejak awal 2022.
Jatuhnya nilai Poundsterling menjadi salah satu tanda ketidakpastian ekonomi.
Ketidakpastian ekonomi di penghujung tahun ini juga diperparah dengan tingkat inflasi yang masih relatif tinggi. Di AS, misalnya, inflasi masih sulit untuk ditekan hingga di bawah 8,2 persen. Padahal, The Fed sudah berupaya menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin sebanyak tiga kali selama 2022. Hal selaras juga dirasakan oleh Inggris yang terakhir mencatatkan inflasi di kisaran 9,9 persen.
Di Indonesia sendiri, ketidakpastian ekonomi ini harus disikapi dengan awas. Ancaman terdekat yang harus dimitigasi ialah tingkat inflasi yang melejit.
Pengukuran Bank Indonesia pada minggu keempat September memprediksi bahwa tingkat inflasi m-t-m mengalami kenaikan sebesar 1,1 persen. Artinya, tingkat inflasi y-o-y bisa nyaris menyentuh angka 5,8 persen.
Kenaikan inflasi ini utamanya memang didorong oleh BBM yang menyumbang 0,91 persen secara m-t-m. Meskipun begitu, barang konsumsi seperti rokok, telur, pasir, dan semen terpantau juga ikut terkerek mengikuti lonjakan harga bahan bakar.
Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa strategi pemerintah untuk membentengi masyarakat dari dampak pencabutan subsidi lalu masih belum optimal.
Memang, di satu sisi, Indonesia sesungguhnya memiliki modal yang cukup untuk mengarungi ketidakpastian ekonomi ini. Beberapa sektor seperti manufaktur masih perkasa setelah loyo selama dua tahun terakhir. Tak hanya itu, ekspor dari industri-industri pengolahan juga masih cukup kuat di tengah lesunya ekonomi dunia.
Namun, bukan berarti posisi Indonesia sudah aman. Apalagi, gejala perlambatan juga mulai nampak di beberapa sektor ekonomi. Hal ini salah satunya ditandai dengan gelombang PHK, yang sebagian besar dialami oleh perusahaan di bidang teknologi dan telekomunikasi.
Jangan sampai, momentum pertumbuhan yang baru dirasakan selama setahun terakhir akhirnya lewat akibat kegagalan pemerintah untuk memitigasi resesi ataupun inflasi tinggi. (LITBANG KOMPAS)