Analisis Litbang “Kompas” : Menyoal Ketimpangan Pendidikan di Banten
Pendidikan masih menjadi isu krusial di wilayah Banten. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci untuk pembenahan dan peningkatan kualitas pendidikan di wilayah ini.
Banten terus mencatatkan peningkatan pembangunan pendidikan. Namun, capaian itu belum merata di semua wilayah. Perhatian khusus dari pemangku kebijakan untuk mendongkrak kualitas pendidikan perlu diberikan ke wilayah Lebak.
Peningkatan kualitas pembangunan manusia di Provinsi Banten tergambar dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada 2021, IPM Banten mencapai angka 72,72. Jika dibandingkan dengan capaian pada 2020, capaian pembangunan ini meningkat 0,27 poin.
Indeks pembangunan manusia ini dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak. Untuk dimensi pengetahuan dilihat melalui indikator harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah.
Banten terus mencatatkan peningkatan pembangunan pendidikan.
Angka Harapan Lama Sekolah di Banten pada 2021 mencapai 13,02 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa anak-anak yang telah berusia 7 tahun pada 2021 memiliki peluang untuk bersekolah hingga bangku diploma.
Jika dibandingkan satu dekade lalu angka Harapan Lama Sekolah ini meningkat selama dua tahun. Pada 2010 angka Harapan Lama Sekolah warga Banten baru mencapai 11,02 tahun. Peningkatan Harapan Lama Sekolah ini menjadi petunjuk semakin banyaknya penduduk Banten yang dapat mengenyam bangku sekolah.
Indikator lain ialah Rata-rata Lama Sekolah. Angka Rerata Lama Sekolah di Banten pada 2021 mencapai 8,93 tahun. Capaian ini mengindikasikan bahwa rata-rata pendidikan yang ditamatkan hingga kelas IX.
Angka Harapan Lama Sekolah di Tangerang Selatan mencapai 14,66 tahun dan Rata-rata Lama Sekolah mencapai 11,82 tahun. Sedangkan capaian paling rendah terdapat di Kabupaten Lebak dengan angka Harapan Lama Sekolah sebesar 11,98 tahun serta Rata-rata Lama Sekolah ialah 6,41 tahun.
Fenomena yang sama juga terjadi dalam capaian Indeks Pembangunan Manusia. Secara umum IPM tertinggi juga dicapai oleh Kota Tangerang Selatan dengan skor 81,60. Sedangkan IPM terendah dimiliki Kabupaten Lebak (64,03). Selisih 17,57 poin ini mengindikasikan perlunya upaya nyata dalam pemerataan kesejahteraan. Apalagi, angka tersebut belum kunjung terdongkrak dalam lima tahun terakhir.
Hingga kini, Lebak menjadi wilayah dengan capaian IPM paling rendah di Banten. Di level nasional pun, Lebak berada di posisi ke-464 dan masuk jajaran bawah IPM kabupaten dan kota di Indonesia. Dari sisi pendidikan, rata-rata lama sekolah di Lebak adalah 6,41 tahun. Angka tersebut berselisih 2,52 tahun lebih rendah dari rerata lama sekolah Provinsi Banten.
Kondisi di Lebak ini kontras jika dibandingkan dengan wilayah lainnya seperti Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan dengan rerata lama sekolah lebih dari 10 tahun. Artinya, kondisi pendidikan di Lebak masih jauh dari program wajib belajar 12 tahun.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Harapan Pendidikan Tinggi yang Inklusif dan Transparan
Lebak
Ketimpangan kembali nampak dari sisi partisipasi sekolah. Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada 2018 Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 16-18 tahun di Lebak adalah 49,4 persen.
Berselisih hampir 19 persen lebih rendah dari rerata di Banten yang mencapai 68,35 persen. Kabupaten Pandeglang yang berada di urutan kedua terbawah bahkan masih mencatatkan APS sebesar 55,01 persen.
APS yang lebih rendah tercatat pada kategori usia 19-24 tahun. Di Lebak, APS kelompok usia adalah 4,63 persen atau hanya seperlima dari rerata APS di Provinsi Banten yang mencapai 20,42 persen. Tingginya APS di Banten hanya disokong oleh sejumlah wilayah, yakni Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.
Tak pelak, partisipasi sekolah yang timpang di provinsi ujung barat Pulau Jawa ini membuat Banten berada di jajaran bawah dalam aspek partisipasi sekolah. Pada 2021, APS pada kelompok usia 16-18 ada di level 68,94 persen atau lebih rendah 4,15 persen dibandingkan capaian nasional. Sementara itu, APS pada kelompok usia 19-24 tahun tercatat ada pada 21,59 atau lebih rendah 4,02 persen.
Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi sarana penunjang pendidikan dan akses pendidikan. Data Neraca Pendidikan Daerah Kabupaten Lebak pada 2019 menunjukkan ada 1.859 satuan pendidikan dengan 9.067 ruang kelas di Lebak.
Kondisi ruang kelas yang masih banyak yang rusak. Untuk jenjang SD ada 1.387 ruang kelas yang rusak sedang dan rusak berat. Sementara untuk jenjang SMP ada 375 ruang kelas yang rusak dan SMA/SMK terdapat 106 ruang kelas yang kurang layak.
Di luar masih banyak ditemukannya sarana pendidikan yang yang kurang mendukung, rasio tenaga pendidik dengan siswa juga menjadi tantangan peningkatan kualitas pendidikan di Lebak. Kekurangan guru di tingkat SD Negeri mencapai 1.016 guru. Sedangkan di tingkat SMP Negeri dan SMA Negeri masing-masing 1.343 guru dan 297 guru.
Data-data tersebut menyumbang narasi penting dalam upaya memfokuskan kerja-kerja demi pemerataan pendidikan. Kabupaten Lebak perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemangku kebijakan dan mendapatkan formulasi solusi demi mendongkrak kualitas pendidikan.
Faktor lain yang tidak kalah penting dan turut menjadi pengaruh adalah kondisi Lebak yang masuk kategori daerah miskin di Provinsi Banten. Apalagi di saat pandemi, kemiskinan semakin menjadi beban di daerah ini.
Pada tahun 2019, sebelum pandemi, jumlah penduduk miskin tercatat ada 107.930 jiwa atau 8,30 persen dengan garis kemiskinan sebesar Rp 298.201 per kapita per bulan. Tahun 2020 atau awal pandemi, jumlahnya merangkak naik menjadi 120.830 jiwa atau 9,24 persen dengan garis kemiskinan sebesar Rp 334.50 per kapita per bulan.
Baca juga : Kisah Para Pejuang Pendidikan di Pelosok Kabupaten Lebak
Alokasi
Peningkatan kualitas pendidikan ini terus menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak. Salah satunya melalui dukungan anggaran pendidikan. Pendanaan pendidikan dalam APBD 2019 mencapai Rp 2.678,52 miliar.
Alokasi anggaran pendidikan ini mencapai 21,23 persen dari postur APBD. Melihat trennya, alokasi anggaran ini terus menunjukkan peningkatan. Pada 2016 persentase anggaran pendidikan ini masih mencapai 13,93 persen.
Sebagaimana skema anggaran pendidikan nasional, dukungan dana APBD ini dialokasikan untuk menghasilkan manusia unggul dan berdaya saing global.
Secara mendasar, anggaran pendidikan ini menekankan pada lima aspek tujuan, yaitu meningkatkan akses pendidikan, meningkatan kualitas sarana penunjang pendidikan, menguatkan relasi muatan pendidikan dengan pasar kerja, pemerataan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Upaya pemerintah ini juga disambut antusias warga Lebak untuk terus berkembang. Keinginan ini juga dilakukan oleh komunitas adat Baduy yang saat ini masih belum sepenuhnya menerima pendidikan formal secara terbuka.
Masyarakat Adat Baduy berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Desa ini merupakan wilayah paling besar dengan luas area 29 persen dan populasi 14,43 persen dari Leuwidamar.
Meski demikian, pendidikan tetap menjadi bagian dari keterbukaan selektif masyarakat Baduy. Arsip Kompas mencatat sejumlah warga Baduy Luar mencoba belajar membaca secara mandiri dari teks-teks yang berada di sekitar mereka, misalnya dari produk makanan dan minuman.
Pengamatan Kompas ketika mengunjungi pemukiman warga Baduy Luar pada pertengahan Juni 2022 lalu juga mendapati pemanfaatan teknologi telepon pintar oleh sebagian warga Baduy.
Sejumlah masyarakat menggunakan telepon pintar untuk berkomunikasi, tidak terkecuali dengan cara berkirim pesan dengan wisatawan yang hendak berkunjung ataupun menginap.
Tak pelak, kerja sama pemerintah dan masyarakat menjadi faktor penting untuk membenahi persoalan kualitas dan ketimpangan pendidikan, terutama di daerah-daerah tertinggal seperti halnya Lebak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Gelora Pengabdi Pendidikan di Pelosok Kabupaten Lebak